Title: Disasters of War, Date 1993 | Medium: Plastic, polyester resin, synthetic fibres, wood and guitar strings | Dimensionsdisplayed: 1300 x 2000 x 2000 mm | Collection: Tate
Esai Arfan Fathoni*
Ya.
Itulah kutipan yang cukup terngiang dalam otak saya saat melihat pementasan
Putu Wijaya di acara Reuni Emas JBSI Unesa sekitar dua tahun lalu. Sekejap,
saya jadi teringat tentang kisah Kerajaan-keraajan yang ada di Indonesia.
Ternyata, sejarah di tanah air ini tak lebih dari sejarah penghancuran. Sebut
saja yang paling fenomenal Kerajaan Majapahit. Kebesaran Majapahit tak lebih
dari keberhasilan kerajaan tersebut menguasai(menghancurkan) kerajaan-kerajaan
kecil di Nusantara. Hal itu pun berulang ketika Majapahit Runtuh. Tak satu pun
dari sisa kejayaannya yang tersisa. Pun yang ada hanya puing-puing yang coba
untuk direvitalisasi kembali.
Suatu
ketika ada sebuah ramalan (maaf penulis lupa ramalan siapa) yang menyebutkan
jika yang akan manjadi raja-raja di Tanah Jawa adalah keturunan dari Ken Dedes.
Akhirnya ramalan tersebut terjadi. Ken Dedes diperistri Tunggul Ametung dan
akhirnya Tunggul Ametung sendiri mati di tangan Ken Arok dengan senjata keris
Mpu Gandring. Ken Arok pun bertahta jadi raja Singosari. Namun, kutukan keris Mpu
Gandring juga membunuh Ken Arok.
Terus
apa hubungannya dengan Indonesia? Runtuhnya rezim (era) kita tak lebih karena
kasus-kasus, sebut saja korupsi. Selain karena terjadi Pemberontakan G30S PKI,
era Soekarno tidak lebih dari era yang korup. Rakyat susah sedang para pejabat
makan enak. Orde ini lantas tumbang oleh Orde baru yang menjanjikan
kesejahteraan. Namun sekali lagi ,Orde Baru juga runtuh oleh hal serupa, tapi
dengan kondisi yang berbeda. Selanjutnya, hadir Habibie yang sedikit lain tapi
tetap tumbang. Dilanjut oleh era Gus Dur yang juga harus lengser karena kasus
Brunei gate. Megawati yang masih keturunan Soekarno juga harus kalah dalam
pemilu karena kasus penjualan Indosat dan korupsi kroni-kroninya yang mayoritas
saat ini sudah masuk penjara. Dan saat era Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam
iklan kampanyenya selalu berkata "KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI,"
ternyata hanya iklan retorika dalam kampanye belaka.
Kembali
ke masalah tumbangnya rezim per rezim, saya mencoba mengambil istilah Budiman
Soedjatmiko. Budiman menandaskan bahwa tumbangnya rezim demi rezim saat ini tak
lebih dari "Kutukan Keris Mpu Gandring" di mana rezim yang berkuasa
harus tumbang dengan senjata sama yang dipakai untuk menumbangkan rezim
sebelumnya.
Kasus Nazarudin
Kenapa
saya bersepakat dengan "Kutukan Keris Mpu Gandring?" Bagaimana tidak,
saat Soekarno didakwa korup, ia segera ditumbangkan oleh kekuatan pemuda.
Ternyata pengganti Soekarno justru lebih korup. Seolah deja vu, Jenderal Besar
Soeharto juga harus tumbang oleh kekuatan pemuda seperti Anas Urbaningrum
(Ketua PB HMI), Dita Indah Sari (PRD) dan pemuda lainnya. Yang menarik, saat
ini kedua orang yang saya sebut sedang dekat dengan kekuasaan. Anas pernah
menjadi ketua partai pemenang pemilu, sedangkan Dita saat ini menjadi Staf
Khusus kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pun pelengseran Anas dari
kursi ketua umum Partai Demokrat karena namanya disebut oleh Nazarudin sebagai
penerima uang APBN untuk pemenangan dirinya pada pemilihan Ketua Umum Partai
Demokrat.
Ah
kok semakin melebar? Kembali ke masalah "Kutukan Keris Mpu Gandring,"
jika memang terbukti Anas dkk menerima APBN, kutukan itu sekali lagi bakal
terbukti. Penumbang kekuasaan juga tumbang oleh sesuatu yang sama digunakan
menumbangkan Status Quo.
Jadi,
tidak salah kiranya apa yang diungkapkan Putu Wijaya pada monolognya perihal
Sejarah Pasti Berulang, Hanya Pelakunya yang berbeda. Salam!
* Arfan
Fathoni, penikmat dan pengamat politik, seni, budaya, dan sastra.
Sekarang menjadi pemimpin Lembar SARBI
0 comments:
Post a Comment