
Artist: James Barry (1741‑1806) | Title: Divine Justice
From: A Series of Etchings by James Barry, Esq. from his Original and Justly Celebrated Paintings, in the Great Room of the Society of Arts | Date c.1802 | MediumEtching and line engraving on paper | Dimensionsimage: 752 x 504 mm | Collection: Tate
Pledoi Sufi
tuhan, benarkah sholatku
lebih baik dari tidurku?
jika dalam terjaga
aku tak dapat melihatmu
sedang, pada tidurku
tak seorang pun tahu
aku mendekapmu
Purbalingga, Mei 2008
Pledoi Penyair
malam menunjamkan kedewasaannya
begitu ramun, serupa harpa dawai siter
memetik sendiri kemerduaannya
membentuk notasinotasi
mengirim sakramen paling sunyi
menyihir sajakku jadi doa
yang paling doa yang paling sepi
Purbalingga, Mei 2008
Pledoi Puisi
bukan, bukan kecupan
yang selalu tertinggal di dada usai bercinta
lantaran kau kian berjelaga
setelah merah padam, bukan?
bukan, bukan luka
yang selalu nyeri di leher sejarah
lantaran kau tak pernah merasa terluka
meski sejarah mengandung serapah
bukan, bukan ciuman yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi tanpa diksi
Purbalingga, Mei 2008
Pledoi 2
Puncak kebahagiaan adalah airmata
akadku padamu
di dadamu kutulis puisi
lengkap dengan sajadah
dan airmata
seperti pemburu yang mengeja anak panah
di dadamu kutemukan yang melebihi jantung
dari puncak airmata
Purbalingga, Februari 2008
Pledoi 3
Seperti Malam
kangen
seperti malam
batinku telah larut
oleh mimpi
tentangmu
berkalikali
Purbalingga, Februari 2008
Pledoi 4
Kebencian
seperti hujan
cinta selalu saja
tumbuh dari kebencian
tubuh yang menggigil
batin yang basah
seperti hujan
cinta adalah kebencian
yang membatu
di dada
sehingga
aku benci
membencimu
Purbalingga, Februari 2008
Pledoi 5
Mengais Cahaya
saat segala cahaya lindap
justru di situ aku melihat
bayangan diri ini mengendapendap
mengais cahaya direnruntuhan
tubuhku
Purbalingga, Maret 2008
Pledoi 6
Meditasi Tepi Laut
di kelam hari
di tepi laut
aku tak menemukan apapun
selain ombak pecah
yang gaduh
membuatku merasa
paling sunyi
Purbalingga, Maret 2008
Pledoi 7
Di Kelam Hari
entah siapa yang memulai
sehingga tercipta percakapan
yang kian batin
dan kau bertanya
kenapa kupilih laut serupa kiblat
dan pantai sajadah yang menghampar
dan pasir butir tasbih
wiridku debur ombak
yang selalu pecah di keheningan
yang terus berulang
mendaratkan ciuman sepi
Purbalingga, Maret 2008
Pledoi 8
Nusakambangan
melompati laut
mengejar matahari senja
pada matamu kakiku tersangkut prasangka
dan waktu menjatuhkan ingatanku
tak ada yang lebih ibu
tak ada yang lebih anak
tak ada yang lebih ayah
tak ada yang lebih sayang
tak ada yang lebih rindu
tak ada yang kian dendam
tak ada yang lebih rendezvous
setelah tali buritan terikat daratan
yang paling ombak
yang kian pantai
yang paling romantis
adalah nusakambangan
Cilacap, Maret 2008
Teguh Trianton lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Kini menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMK Widya Manggala Purbalingga. Tulisannya berupa puisi, artikel dan esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Koran Sore Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah Yogyakarta, Buletin Sastra Literra Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll.
NB : puisi-puisi diatas diambil dari laman www.oase.kompas.com dan www.penyairnusantarajawatengah.blogspot.com
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment