Blogroll

Thursday, January 23, 2014

Puisi-Puisi Teguh Trianton

 photo T06564_10_zpscf871189.jpg
Artist: James Barry (1741‑1806) | Title: Divine Justice
From:  A Series of Etchings by James Barry, Esq. from his Original and Justly Celebrated Paintings, in the Great Room of the Society of Arts | Date c.1802 | MediumEtching and line engraving on paper | Dimensionsimage: 752 x 504 mm | Collection: Tate
Pledoi Sufi

tuhan, benarkah sholatku
lebih baik dari tidurku?

jika dalam terjaga
aku tak dapat melihatmu

sedang, pada tidurku
tak seorang pun tahu
aku mendekapmu

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi Penyair

malam menunjamkan kedewasaannya
begitu ramun, serupa harpa dawai siter
memetik sendiri kemerduaannya

membentuk notasinotasi
mengirim sakramen paling sunyi
menyihir sajakku jadi doa
yang paling doa yang paling sepi

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi Puisi

bukan, bukan kecupan
yang selalu tertinggal di dada usai bercinta
lantaran kau kian berjelaga
setelah merah padam, bukan?

bukan, bukan luka
yang selalu nyeri di leher sejarah
lantaran kau tak pernah merasa terluka
meski sejarah mengandung serapah

bukan, bukan ciuman yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi tanpa diksi

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi 2
Puncak kebahagiaan adalah airmata


akadku padamu
di dadamu kutulis puisi
lengkap dengan sajadah
dan airmata

seperti pemburu yang mengeja anak panah
di dadamu kutemukan yang melebihi jantung
dari puncak airmata

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 3
Seperti Malam

kangen

seperti malam
batinku telah larut
oleh mimpi
tentangmu
berkalikali

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 4
Kebencian


seperti hujan
cinta selalu saja
tumbuh dari kebencian

tubuh yang menggigil
batin yang basah

seperti hujan
cinta adalah kebencian
yang membatu
di dada

sehingga
aku benci
membencimu

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 5
Mengais Cahaya


saat segala cahaya lindap
justru di situ aku melihat
bayangan diri ini mengendapendap
mengais cahaya direnruntuhan
tubuhku

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 6
Meditasi Tepi Laut

di kelam hari
di tepi laut
aku tak menemukan apapun
selain ombak pecah
yang gaduh
membuatku merasa
paling sunyi

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 7
Di Kelam Hari


entah siapa yang memulai
sehingga tercipta percakapan
yang kian batin

dan kau bertanya
kenapa kupilih laut serupa kiblat
dan pantai sajadah yang menghampar
dan pasir butir tasbih

wiridku debur ombak
yang selalu pecah di keheningan
yang terus berulang
mendaratkan ciuman sepi

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 8
Nusakambangan

melompati laut
mengejar matahari senja
pada matamu kakiku tersangkut prasangka
dan waktu menjatuhkan ingatanku

tak ada yang lebih ibu
tak ada yang lebih anak
tak ada yang lebih ayah

tak ada yang lebih sayang
tak ada yang lebih rindu
tak ada yang kian dendam
tak ada yang lebih rendezvous

setelah tali buritan terikat daratan

yang paling ombak
yang kian pantai
yang paling romantis
adalah nusakambangan

Cilacap, Maret 2008

Teguh Trianton lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Kini menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMK Widya Manggala Purbalingga. Tulisannya berupa puisi, artikel dan  esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Koran Sore Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah Yogyakarta, Buletin Sastra Literra Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll.

NB : puisi-puisi diatas diambil dari laman www.oase.kompas.com dan www.penyairnusantarajawatengah.blogspot.com 

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post