Blogroll

Saturday, January 18, 2014

Puisi-Puisi Dody Kristianto di Koran Tempo, 29 Desember 2013

 photo korantempo29desember2013_zps9656467c.jpg

Persuaan Orang Tamat
Jika aku bangun, kau pun bangun. Tapi dengan rupa apa
kau dibangkitkan? Sementara kelewang kita telah disarungkan.

Tapi berdiamlah, bergeminglah untuk hikayat kejatuhan.
Agar yang masih di darat dan tak terperangkap kegelapan
masih mengenal bau darah, adab berhadapan, atau pencak galak
menantang yang berulang berputar. Sungguh, beragam gerak seru
kini aku lupakan.

Telah tak kasat pandang semua di depan. Kau seteruku bukan?
Tapi kau bukan yang dulu menungguku dan menyigapkan
kuda-kuda menyerang. Aku juga tak ada itikad menuntaskan.
Benarlah, telah berlalu semua gertakan macan, geliat naga,
sapuan orang samun yang karib dengan tubuh kita berdua.

Kini tinggal kutatap antariksa gimbal. Laut yang tak lebih
dari semangkuk kari basi. Lupakan saja tiga langkah ke depan.
Tidak juga harus kumentahkan semua sentakan. Tidak ada aku
atau kau yang menyerang dulu.

Inilah hikayat panjang menyimpan hentak perlawanan.
Kereta ke negeri terbang sudah hilang dari ingatan.

Aku bukan seteru lama yang lagi harus kau seru. Sebagaimana
kau juga bukan yang dulu memampirkan sebilah parang di dadaku
dan menggiringku ke tanah jauh. 

(2013)


Syair Petarung Gering
pastilah kau tak gentar terlempar pada laga paling muram. bukan bedebah banyak lagak yang membuat ihwal seranganmu surut. bukan pula kompeni nyasar jalan yang bikin keliaran tingkah kelewangmu beringsut.

pasti pula tak ciut segala silat tingkah hewan di depan rombongan norak yang menunggu nasib sial. sebab berpantang mundur kau dari semua hentakan penghadang yang bergegas menebasmu, memisah antara kepala dan badanmu.

tapi dengan angin nyungsep yang bertandang sembarangan di badan, gelagatmu pastilah segemetar kucing kurus dikepung hujan. silakan saja bersiap dengan tendangan tak tertangkap pandang.

tapi cergaslah mencegah anasir keblinger itu. telah mahir ia menampar lambung lemah tenaga. perkasalah dengan tohokan yang berumah di dada lawan. jantungmu benar bakal dikageti sakal yang berputaran. berpusinglah, mual, dan keluarkan semua kesialan.

taklah elok tingkah demikian di depan seteru yang mengasah gobang

(2013)

Kepada Jawara Klimis

“Boleh saja kau nampang dengan kegarangan pendekar.
Mungkin, jerilah semua yang memandang gebrakanmu
yang membuat janda gemetar dari berdirinya.”

Tapi, bagaimanakah bila kau menghadap pada cermin di depan?
Ia yang gemar mencatat segala bayangan tentu akan menyerumu
dengan bisik menyakitkan. Bisa pula ia menjawab pertanyaanmu
perihal tampang siapa yang tergarang?

Tentunya, kau bakal terpental bukan, seolah ia mengelak
dan melancarkan satu sapuan rahasia yang berumah di dadamu.

Meski telah dikenang engkau selaku yang menaklukkan cecunguk
nyasar, benar pula mata yang memandang bahwa kau kurang
tertampak sebagai pendekar. Dengan wajah bayi nan manis, mungkin
kau mirip pelengkap pertarungan belaka. Ya, sekadar pelengkap
semenjana. Orang yang dianggap pantas sebagai pelawat, lantas berlari
bersembunyi di rerumput tinggi. Taklah salah yang demikian.

Bila begitu, tak ada guna kau menyimpan segenap kebaikan kitab.
Bergurulah pada hikayat kewingitan. Mendaraslah pada rupa
yang tertata rumpang, nyungsang, dan tak lagi disawang tampan.
Pastinya, rupa kegawatan pasti merawi tafsir muka kurang ajar.

Harus berpindah rerambut pada sekitaran wajah yang polosan. Harus
bersarang kumis tebal agar macan yang menantang merasa ia bersua
sang kembaran. Taklah bergidik demit yang bersemayam
bila yang dipandang sebatas muka klimis yang lebih wajar dicubit
dan digelitik.

Sungguh, tidak barokah bila jawara hanya memasang muka rupawan
di depan sang penantang, yang memuntir kumis dan mengelus cambang
yang memanjang.

(2013)

Pulang ke Pelukan
melintas di depan kuburan? adakah jalan pintas
lebih ringkas pulang ke pelukan? bagaimana bila
kau yang biasa menyandang nama jawara terdepan
harus kencing di celana? tentulah kuda-kudamu
tersigap bakal ngibrit ke pojokan. lafal istigfar
mutlaklah luput diucap lidahmu yang tergagap.

benar belaka kabar. penghalang pulang sesungguhnya
hanya lubang yang mengancam ban. harus tuntas
lebih cepat kesyahduan yang selaras lagi seimbang.
harus kembali tingkah jantan pendekar pada kegicikan
dan kegentaran. sebab bila kaki sudah berdiri pada
pertengahan tanah paling lengang ini, segala ihwal sungil
selalu serupa begundal mengagetkan. benarlah, semua
gerak gelibat maupun yang merambat di hadapan
telah melebihi sajak gelap yang menimbun kata mayat.

taklah mempan dan akan mendal bila ajian
yang keluar hanya bertandang pada yang tak punya
wujud kasar. tak akan kabur dengan gertakan, batang
yang menunggu madah bangkit yang akan bersarang
di ingatannya. bukankah jurus mautmu kadaluarsa
bila dilesat untuk pocong miring atau gerandong sinting
yang gemar nyasar.

mungkin, kau harus menepikan segala perilaku pendekar
bila semua upaya tak lagi mempan. segala kitab khasiat silat
pasti tamat. alangkah melambat langkahmu nan cepat.
sepeda di tuntunan demikian berat bukan? ia seumpama
bagal tak mau jalan. bila demikian, tentu benar belaka
kau meminta jalan pintas lebih ringkas pulang ke pelukan.

(2013)       


 

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post