Persuaan Orang Tamat
Jika
aku bangun, kau pun bangun. Tapi dengan rupa apa
kau
dibangkitkan? Sementara kelewang kita telah disarungkan.
Tapi
berdiamlah, bergeminglah untuk hikayat kejatuhan.
Agar
yang masih di darat dan tak terperangkap kegelapan
masih
mengenal bau darah, adab berhadapan, atau pencak galak
menantang
yang berulang berputar. Sungguh, beragam gerak seru
kini
aku lupakan.
Telah
tak kasat pandang semua di depan. Kau seteruku bukan?
Tapi
kau bukan yang dulu menungguku dan menyigapkan
kuda-kuda
menyerang. Aku juga tak ada itikad menuntaskan.
Benarlah,
telah berlalu semua gertakan macan, geliat naga,
sapuan
orang samun yang karib dengan tubuh kita berdua.
Kini
tinggal kutatap antariksa gimbal. Laut yang tak lebih
dari
semangkuk kari basi. Lupakan saja tiga langkah ke depan.
Tidak
juga harus kumentahkan semua sentakan. Tidak ada aku
atau
kau yang menyerang dulu.
Inilah
hikayat panjang menyimpan hentak perlawanan.
Kereta
ke negeri terbang sudah hilang dari ingatan.
Aku
bukan seteru lama yang lagi harus kau seru. Sebagaimana
kau
juga bukan yang dulu memampirkan sebilah parang di dadaku
dan
menggiringku ke tanah jauh.
(2013)
Syair Petarung Gering
pastilah
kau tak gentar terlempar pada laga paling muram. bukan bedebah banyak lagak
yang membuat ihwal seranganmu surut. bukan pula kompeni nyasar jalan yang bikin
keliaran tingkah kelewangmu beringsut.
pasti
pula tak ciut segala silat tingkah hewan di depan rombongan norak yang menunggu
nasib sial. sebab berpantang mundur kau dari semua hentakan penghadang yang
bergegas menebasmu, memisah antara kepala dan badanmu.
tapi
dengan angin nyungsep yang bertandang sembarangan di badan, gelagatmu pastilah
segemetar kucing kurus dikepung hujan. silakan saja bersiap dengan tendangan
tak tertangkap pandang.
tapi
cergaslah mencegah anasir keblinger itu. telah mahir ia menampar lambung lemah
tenaga. perkasalah dengan tohokan yang berumah di dada lawan. jantungmu benar
bakal dikageti sakal yang berputaran. berpusinglah, mual, dan keluarkan semua
kesialan.
taklah
elok tingkah demikian di depan seteru yang mengasah gobang
(2013)
Kepada
Jawara Klimis
“Boleh
saja kau nampang dengan kegarangan pendekar.
Mungkin,
jerilah semua yang memandang gebrakanmu
yang
membuat janda gemetar dari berdirinya.”
Tapi,
bagaimanakah bila kau menghadap pada cermin di depan?
Ia
yang gemar mencatat segala bayangan tentu akan menyerumu
dengan
bisik menyakitkan. Bisa pula ia menjawab pertanyaanmu
perihal
tampang siapa yang tergarang?
Tentunya,
kau bakal terpental bukan, seolah ia mengelak
dan
melancarkan satu sapuan rahasia yang berumah di dadamu.
Meski
telah dikenang engkau selaku yang menaklukkan cecunguk
nyasar,
benar pula mata yang memandang bahwa kau kurang
tertampak
sebagai pendekar. Dengan wajah bayi nan manis, mungkin
kau
mirip pelengkap pertarungan belaka. Ya, sekadar pelengkap
semenjana.
Orang yang dianggap pantas sebagai pelawat, lantas berlari
bersembunyi
di rerumput tinggi. Taklah salah yang demikian.
Bila
begitu, tak ada guna kau menyimpan segenap kebaikan kitab.
Bergurulah
pada hikayat kewingitan. Mendaraslah pada rupa
yang
tertata rumpang, nyungsang, dan tak lagi disawang tampan.
Pastinya,
rupa kegawatan pasti merawi tafsir muka kurang ajar.
Harus
berpindah rerambut pada sekitaran wajah yang polosan. Harus
bersarang
kumis tebal agar macan yang menantang merasa ia bersua
sang
kembaran. Taklah bergidik demit yang bersemayam
bila
yang dipandang sebatas muka klimis yang lebih wajar dicubit
dan
digelitik.
Sungguh,
tidak barokah bila jawara hanya memasang muka rupawan
di
depan sang penantang, yang memuntir kumis dan mengelus cambang
yang
memanjang.
(2013)
Pulang ke Pelukan
melintas di depan kuburan? adakah jalan
pintas
lebih ringkas pulang ke pelukan? bagaimana bila
kau
yang biasa menyandang nama jawara terdepan
harus
kencing di celana? tentulah kuda-kudamu
tersigap
bakal ngibrit ke pojokan. lafal istigfar
mutlaklah
luput diucap lidahmu yang tergagap.
benar
belaka kabar. penghalang pulang sesungguhnya
hanya
lubang yang mengancam ban. harus tuntas
lebih
cepat kesyahduan yang selaras lagi seimbang.
harus
kembali tingkah jantan pendekar pada kegicikan
dan
kegentaran. sebab bila kaki sudah berdiri pada
pertengahan
tanah paling lengang ini, segala ihwal sungil
selalu
serupa begundal mengagetkan. benarlah, semua
gerak
gelibat maupun yang merambat di hadapan
telah
melebihi sajak gelap yang menimbun kata mayat.
taklah
mempan dan akan mendal bila ajian
yang
keluar hanya bertandang pada yang tak punya
wujud
kasar. tak akan kabur dengan gertakan, batang
yang
menunggu madah bangkit yang akan bersarang
di
ingatannya. bukankah jurus mautmu kadaluarsa
bila
dilesat untuk pocong miring atau gerandong sinting
yang
gemar nyasar.
mungkin,
kau harus menepikan segala perilaku pendekar
bila
semua upaya tak lagi mempan. segala kitab khasiat silat
pasti
tamat. alangkah melambat langkahmu nan cepat.
sepeda
di tuntunan demikian berat bukan? ia seumpama
bagal
tak mau jalan. bila demikian, tentu benar belaka
kau meminta jalan pintas lebih ringkas
pulang ke pelukan.
(2013)
0 comments:
Post a Comment