Blogroll

Saturday, January 18, 2014

Sastra(wan) dan Ekonomi

 photo soviet_poster_tp09_0_zps334a7e3e.jpg
 Fig.1  I’m bored at home; I’m happy in the crêche!
Soviet poster 1930s
© London School of Economics and Political Science 2007 Coll Misc 0719-16

Oleh Umar Fauzi Ballah

Ada sebuah perbincangan yang menjadi laten dalam beberapa "pemikiran" penulis kita dewasa ini—walaupun dugaan ini telah terjadi jauh sebelum ini—yakni pemuatan karya di media cetak. Dalam berlomba-lomba agar karya itu dimuat, faktor honorarium dari media menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan. Fenomena itu yang tidak sedikit dibicarakan di sosial media, misalnya, di grup Facebook, "Sastra Minggu."
Faktor ekonomi sebagai wilayah oportunis pada dasarnya tidak hendak berlawanan dengan wilayah kesusastraan sebagai produk yang lahir dari wilayah idealisme. Sebagai sebuah produk kesenian, harga bagi sebuah karya adalah salah satu wujud apresiasi. Hal ini berlaku dalam bidang seni apa pun. Setidaknya, hal ini untuk mengukuhkan fitrah bahwa aspek ekonomi adalah salah satu kebutuhan primer manusia.
Selain faktor honor sebagai bentuk pemuasaan diri, pemuatan karya di media cetak adalah kepuasaan itu sendiri. Karena itu, dan ini biasa dialami penulis pemula, mereka senang-senang saja ketika karya mereka dimuat walaupun honor tidak mereka dapatkan yang entah bisa terjadi karena proses birokrasi atau kecurangan pihak media atau memang tidak ada dana untuk ketentuan pemuatan tersebut.
Media cetak tidak dapat dipungkiri adalah penasbih seseorang bisa disebut sastrawan, baik itu penyair maupun pengarang. Sampai di sini sudah terjadi pengelompokan dan kelas-kelas sebagaimana konsep Karl Marx. Dahulu, pada tahun 1980-an, ada anggapan bahwa belum sastrawan jika karyanya belum dimuat majalah Horison. Anggapan ini kemudian dipecah oleh Nirwan Dewanto yang mengalihkannya pada media harian semacam koran Kompas sebagaimana pernyataan Nirwan dalam buku Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993:
“Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di (majalah sastra) Horison. Sungguh mengagetkan, begitu kita menyadari tiba-tiba, bahwa ‘kesehatan’ sastra kita amat bergantung kepada para redaktur cerpen itu. Tapi juga menggembirakan, kalau dengan itu para penulis cerpen dibebaskan dari (sebagian) tradisi sastra yang membelenggu.”
Fenomena dan mainstream ini terus berlanjut sampai saat ini. Dan, hari Minggu adalah hari sastra Indonesia. Maman Mahayana menyebutnya sebagai hari cerpen Indonesia. Sastra Indonesia memang terus berada dalam mitos-mitos tersebut sampai saat ini. Akan tetapi, lebih dari itu, dugaan saya adalah mitos itu tercipta bukan hanya pada relasi kekuasaan, melainkan juga relasi ekonomi.
Kompas, misalnya, memang dengan sadar telah menciptakan sebuah inovasi bagi tradisi kepengarangan yang masih kukuh sampai saat ini, yakni membukukan cerpen terbaik selama rentang setahun. Pada dasarnya, ini adalah tradisi turunan di mana Horison pun pernah melakukan hal serupa walaupun dalam bentuk yang lebih general.
Lalu, benarkah asumsi Nirwan 20 tahun yang lalu itu? Kenyataannya memang demikian. Suka tidak suka kondisi itu terus berlanjut. Pengarang-pengarang ternama di Indonesia mengirimkan karya terbaik mereka ke koran Kompas. Apakah kerja redaktur kemudian dipengaruhi nama-nama besar tersebut? Kita tidak bisa dengan serampangan menjawabnya dengan kemungkinan tersebut.
Kemungkin yang bisa saya buat adalah dengan melihatnya dalam relasi ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa media ini: Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos adalah penguasa media nasional yang jangkauannya pada masyarakat lebih luas, pun dalam hal penghonoran.
Saya membayangkan pada kerja seorang sastrawan yang produktif. Begitu kerja selesai, selanjutnya pada proses penerbitan karya, dalam hal ini pemuatan ke media. Anggaplah seorang pengarang menciptakan dua buah cerpen. Seorang pengarang bisa dipastikan memahami bahwa karya berjudul A lebih baik daripada karya berjudul B.  Maka, wajarlah bahwa karya A itu akan dikirim ke koran yang mutu dan honornya juga baik. Dengan demikian, bisa dibayangkan bahwa sebuah koran sekelas Kompas pada dasarnya menerima karya dari pengarang-pengarang yang karyanya sejak awal terseleksi pengarangnya sendiri sebagai yang terbaik. Tentu saja, dugaan ini masih perlu diteliti lebih intens. Misalnya, kita bisa membandingkan kualitas cerpen seorang pengarang yang sama ketika karyanya dimuat di Kompas atau Jawa Pos dan media yang lain. Pembacaan itu sebenarnya lebih mudah mengingat beberapa buku cerpen mencantumkan riwayat pemuatan.
Selain itu, faktor estetika atau tampilan koran juga punya andil besar. Dalam pemuatan puisi, hal ini akan lebih terasa. Sebuah koran yang kurang memperhatikan pentingnya tipografi akan membuat tampilan sebuah puisi berubah dari tipografi yang semula dihadirkan penyair. Dari pembacaan ini, kita bisa tahu bahwa karya seni, seperti puisi yang memperhatikan detail penulisan, ternyata bisa rusak oleh tata letak koran yang serampangan. Dari sini, tampaklah kerja intelektual seorang redaktur dan lay outer. Dalam kerangka yang lebih besar, bisa kita baca manakah media yang betul-betul memiliki kepekaan budaya.
Relasi ekonomi dengan kualitas karya tidak bisa dipisahkan. Sebuah media yang besar dan dengan dukungan keuangan yang besar telah menciptakan sebuah ruang yang nyaman bagi pemuatan karya seperti cerpen dan puisi tanpa diganggu kehadiran, misal, keterdesakan oleh iklan. Pengarang sebagai kreator tentu akan mempertimbangkan hal tersebut sehingga wajarlah bila pengarang memilih media tertentu untuk karyanya yang dianggap bermutu.
Berbicara mainstream sastra koran, dahulu pernah ada Surabaya Post yang dianggap bermutu dengan honor yang cukup besar pada zamannya. Bersamaan dengan "bangkrutnya" Surabaya Post, nasib kualitas karya sastra di sana pun turut raib. Dari sini saya pun menduga bahwa tumbangnyaHorison bisa karena faktor honorarium yang sudah “tidak berkualitas.” Hasilnya, beberapa pengarang memilih mengirimkan karyanya pada media yang lebih baik. Bukankah ini sama halnya dengan analogi seni rupa? Sebuah lukisan yang berkualitas, tentu akan mendapatkan harga yang pantas, baik secara ekonomi maupun sejarahnya.
Saya tidak hendak melakukan proses berpikir generalisasi. Peran atau selera redaktur tidak bisa dipisahkan. Namun, saya tetap percaya bahwa estetika tetap memunyai nilai universal, pun terlepas dari sudut pandang politik sastra Indonesia.
Setidaknya, ada sebuah pemakluman dari kisah hidup Chairil Anwar. Konon, puisinya yang kemudian disebut saduran awalnya adalah sebuah proses penerjemahan yang dilakukan Chairil Anwar. Namun, karena keterdesakan ekonomi di mana honor sebagai penerjemahtidak lebih besar dari karya asli, dia pun membelot sekian derajat untuk menghapus karya tesebut sebagai terjemahan menjadi karya dirinya.


*) Umar Fauzi Ballah pengajar di Ganesha Operation Sumenep
    dan pengelola Lembar SARBI.

    Twitter @uf_ballah.
 


 

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post