Fig.1 I’m bored at home; I’m happy in the crêche!
Soviet poster 1930s
© London School of Economics and Political Science 2007 Coll Misc 0719-16
Soviet poster 1930s
© London School of Economics and Political Science 2007 Coll Misc 0719-16
Oleh Umar Fauzi Ballah
Ada sebuah perbincangan yang menjadi laten dalam
beberapa "pemikiran" penulis kita dewasa ini—walaupun dugaan ini
telah terjadi jauh sebelum ini—yakni pemuatan karya di media cetak. Dalam berlomba-lomba agar karya itu dimuat, faktor
honorarium dari media menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan. Fenomena itu yang tidak sedikit
dibicarakan di sosial media, misalnya, di
grup Facebook, "Sastra Minggu."
Faktor ekonomi sebagai wilayah oportunis pada dasarnya
tidak hendak berlawanan dengan wilayah kesusastraan sebagai produk yang lahir
dari wilayah idealisme. Sebagai sebuah produk kesenian, harga bagi sebuah karya
adalah salah satu wujud apresiasi. Hal ini berlaku dalam bidang seni apa pun.
Setidaknya, hal ini untuk mengukuhkan fitrah bahwa aspek ekonomi adalah salah
satu kebutuhan primer manusia.
Selain faktor honor sebagai bentuk pemuasaan diri,
pemuatan karya di media cetak adalah
kepuasaan itu sendiri. Karena itu, dan ini biasa dialami penulis pemula, mereka
senang-senang saja ketika karya mereka dimuat walaupun honor tidak mereka
dapatkan yang entah bisa terjadi karena proses birokrasi atau kecurangan pihak
media atau memang tidak ada dana untuk ketentuan pemuatan tersebut.
Media cetak tidak dapat dipungkiri adalah penasbih
seseorang bisa disebut sastrawan, baik itu penyair maupun pengarang. Sampai di
sini sudah terjadi pengelompokan dan kelas-kelas sebagaimana konsep Karl Marx.
Dahulu, pada tahun 1980-an, ada anggapan bahwa belum sastrawan jika karyanya
belum dimuat majalah Horison.
Anggapan ini kemudian dipecah oleh Nirwan Dewanto yang mengalihkannya pada
media harian semacam koran Kompas
sebagaimana pernyataan Nirwan dalam buku Pelajaran
Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993:
“Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di
Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra,
bukan di (majalah sastra) Horison.
Sungguh mengagetkan, begitu kita menyadari tiba-tiba, bahwa ‘kesehatan’ sastra
kita amat bergantung kepada para redaktur cerpen itu. Tapi juga menggembirakan,
kalau dengan itu para penulis cerpen dibebaskan dari (sebagian) tradisi sastra
yang membelenggu.”
Fenomena dan mainstream
ini terus berlanjut sampai saat ini. Dan, hari Minggu adalah hari sastra
Indonesia. Maman Mahayana menyebutnya sebagai hari cerpen Indonesia. Sastra
Indonesia memang terus berada dalam mitos-mitos tersebut sampai saat ini. Akan
tetapi, lebih dari itu, dugaan saya adalah mitos itu tercipta bukan hanya pada
relasi kekuasaan, melainkan juga relasi ekonomi.
Kompas, misalnya, memang dengan sadar telah menciptakan
sebuah inovasi bagi tradisi kepengarangan yang masih kukuh sampai saat ini,
yakni membukukan cerpen terbaik selama rentang setahun. Pada dasarnya, ini
adalah tradisi turunan di mana Horison
pun pernah melakukan hal serupa walaupun dalam bentuk yang lebih general.
Lalu, benarkah asumsi Nirwan 20 tahun yang lalu itu?
Kenyataannya memang demikian. Suka tidak suka kondisi itu terus berlanjut.
Pengarang-pengarang ternama di Indonesia mengirimkan karya terbaik mereka ke
koran Kompas. Apakah kerja redaktur
kemudian dipengaruhi nama-nama besar tersebut? Kita tidak bisa dengan
serampangan menjawabnya dengan kemungkinan tersebut.
Kemungkin yang bisa saya buat adalah dengan melihatnya
dalam relasi ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa media ini: Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos
adalah penguasa media nasional yang jangkauannya pada masyarakat lebih luas, pun dalam hal penghonoran.
Saya membayangkan pada kerja seorang sastrawan yang
produktif. Begitu kerja selesai, selanjutnya pada proses
penerbitan karya, dalam hal ini pemuatan ke media. Anggaplah seorang pengarang
menciptakan dua buah cerpen. Seorang pengarang bisa dipastikan memahami bahwa
karya berjudul A lebih baik daripada karya berjudul B. Maka, wajarlah bahwa karya A itu akan dikirim
ke koran yang mutu dan honornya juga baik. Dengan demikian, bisa dibayangkan
bahwa sebuah koran sekelas Kompas
pada dasarnya menerima karya dari pengarang-pengarang yang karyanya sejak awal
terseleksi pengarangnya sendiri sebagai yang terbaik.
Tentu saja, dugaan ini masih perlu diteliti lebih intens. Misalnya, kita bisa
membandingkan kualitas cerpen seorang pengarang yang sama ketika karyanya
dimuat di Kompas atau Jawa Pos
dan media yang lain. Pembacaan itu sebenarnya lebih mudah mengingat beberapa
buku cerpen mencantumkan riwayat pemuatan.
Selain itu, faktor estetika atau tampilan koran juga
punya andil besar. Dalam pemuatan puisi, hal ini akan lebih terasa. Sebuah
koran yang kurang memperhatikan pentingnya tipografi akan membuat tampilan
sebuah puisi berubah dari tipografi yang semula dihadirkan penyair. Dari
pembacaan ini, kita bisa tahu bahwa karya seni, seperti puisi yang
memperhatikan detail penulisan, ternyata bisa rusak oleh tata letak koran yang
serampangan. Dari sini, tampaklah kerja intelektual seorang redaktur dan lay outer.
Dalam kerangka yang lebih besar, bisa kita baca manakah media yang betul-betul
memiliki kepekaan budaya.
Relasi ekonomi dengan kualitas karya tidak bisa
dipisahkan. Sebuah media yang besar dan dengan dukungan keuangan yang besar
telah menciptakan sebuah ruang yang nyaman bagi pemuatan karya seperti cerpen
dan puisi tanpa diganggu kehadiran, misal, keterdesakan oleh iklan. Pengarang
sebagai kreator tentu akan mempertimbangkan hal tersebut sehingga wajarlah bila
pengarang memilih media tertentu untuk karyanya yang dianggap bermutu.
Berbicara mainstream
sastra koran, dahulu pernah ada Surabaya
Post yang dianggap bermutu dengan
honor yang cukup besar pada zamannya. Bersamaan dengan "bangkrutnya" Surabaya Post, nasib kualitas karya sastra di
sana pun turut raib. Dari sini saya pun menduga bahwa “tumbangnya” Horison bisa karena faktor honorarium yang sudah “tidak
berkualitas.” Hasilnya, beberapa pengarang memilih mengirimkan karyanya pada
media “yang lebih baik.” Bukankah
ini sama halnya dengan analogi seni rupa? Sebuah lukisan yang berkualitas,
tentu akan mendapatkan harga yang pantas, baik secara ekonomi maupun sejarahnya.
Saya tidak hendak melakukan proses berpikir
generalisasi. Peran atau selera redaktur tidak bisa dipisahkan. Namun, saya
tetap percaya bahwa estetika tetap memunyai nilai universal, pun terlepas dari
sudut pandang politik sastra Indonesia.
Setidaknya, ada sebuah pemakluman dari kisah hidup
Chairil Anwar. Konon, puisinya yang kemudian disebut saduran awalnya adalah
sebuah proses penerjemahan yang dilakukan Chairil Anwar. Namun, karena
keterdesakan ekonomi di mana honor sebagai penerjemahtidak lebih besar dari karya
asli, dia pun membelot sekian derajat untuk menghapus karya tesebut sebagai
terjemahan menjadi karya dirinya.
*) Umar
Fauzi Ballah pengajar di Ganesha Operation Sumenep
dan pengelola Lembar SARBI.
Twitter @uf_ballah.
0 comments:
Post a Comment