Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Friday, September 21, 2012

DENGAN MATA KEPALA SENDIRI

Photobucket

R.A. Hartyanto*
        Dengan mata kepala sendiri, Fadly melihat bagaimana malaikat itu mengakhiri hidup tuannya. Orang bilang karena stroke, tapi baginya tetap saja malaikat tadi yang mengakhiri hidup tuannya. Tak ada sayap, tak ada lingkaran di atas kepalanya, bajunya pun juga tak berwarna putih seperti yang biasa dilambangkan kesucian. Yang Fadli tahu, dia datang dan pergi secepat kita menarik nafas dan menghembuskannya kembali.
Ф
        Fadli hanya seorang supir pribadi, sekolah dasar baginya ialah pendidikan tertinggi. Pernah mencuri dan masuk bui saat keluarganya mati kelaparan akibat gempa bumi, selanjutnya hidup di panti sampai remaja sampai ada yang mengadopsi sampai pekerjaan dia cari sampai akhirnya diangkat jadi sopir pribadi.
        Sasongko, pengusaha besi tua, beranak lima wanita semua, istrinya tak ada, sudah mati katanya. Sekarang Sasongko hidup sebatangkara, sudah berumur lima puluh lima, kelima anaknya meninggalkannya pula. Anak pertama ikut suami kerja di Malaysia, anak kedua jadi istri tentara dinas di Papua, anak ketiga pengusaha batik di Jakarta, sedang anak keempat-kelima sampai saat ini tak ada yang tahu rimbanya.
Ф
        Nafasnya tersengal, matanya meronta tajam mengharap pembebasan. Sungguh Sasongko tidak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan seperti itu. Semakin parah penyakitnya, semakin mati syarafnya. Hanya erangan rasa sakit yang bisa dirasakannya, tak ada makanan yang bisa masuk melalui kerongkongan, semuanya harus melalui selang yang menancap di hidung juga mulut. Sementara tubuhnya yang lemah semakin menyusut. Pelipisnya juga semakin tirus. Sungguh tak ada kesempatan bagi Sasongko untuk tetap hidup. Fadly yang berada di samping tempat tidurnya hanya terdiam sambil sesekali menghela nafas panjang.
        Apa yang Fadly lihat saat itu, sama persis seperti saat kedua adiknya meninggal karena kelaparan, tatapan matanya kosong, kerutan di dahi semakin mengendur dan dia sudah tidak mengenali siapa-siapa bahkan sudah tak mampu mengingat apa-apa. Kepada Fadly pun Sasongko sudah tak mengenalinya. Seperti tanda-tanda orang bakal mati, mereka mulai tak mengenali siapa-siapa, dan tak mengingat apa-apa.
        “Saya mohon Tuan bersabar, Tuan harus kuat melawan penyakit ini”. Kata-kata yang selalu Fadly sampaikan ketika tuannya melepas erangan. Tapi kali ini kata-kata itu terdengar lebih berat, diiringi air mata di pipi sebelah kiri yang mendera lebih cepat dari air mata di pipi sebelahnya lagi. Yang dirasakannya semakin merinding saat nafas-nafas terakhir tuannya itu, dan dengan mata kepala sendiri Fadly melihat bagaimana Malaikat itu datang mengakhiri hidup tuannya. Tak ada sayap, tak ada lingkaran di atas kepalanya, bajunya pun juga tak berwarna putih seperti yang biasa dilambangkan kesucian. Yang Fadly tahu, dia datang dan pergi secepat kita menarik nafas dan menghembuskannya kembali
Ф
        Tak banyak kerabat yang datang dalam pemakaman tuan Sasongko, hanya beberapa tetangga serta rekanan usaha. Fadly sendiri sibuk menyiapkan segala sesuatunya mulai dari peti jenazah hingga membayar tukang gali kubur. Acara pemakaman memang tak perlu semeriah pesta pernikah tapi jumlah para ta’ziah bagi masyarakat setempat dipercaya menunjukkan seberapa luas pergaulan orang yang meninggal. Semakin banyak para ta’ziah yang datang berarti kehidupan sosial bermasyarakat orang yang meninggal sangat tinggi. Berarti pula banyak kenalan semasa hidupnya, dan baik pula tingkah pola semasa hidupnya.
        Sesuatu yang ajaib terjadi, selang beberapa menit jenazah dimasukkan ke dalam peti mati, ada bunyi gaduh dari dalam, seperti seseorang berusaha untuk keluar, spontan orang-orang melarikan diri. Serasa takut bercampur heran, Fadly yang mulai gemetar terpaksa membuka kembali peti mati itu.
        Didapatinya Tuan Sasongko yang kembali bernyawa, matanya yang keheranan bergerilya ke setiap sudut ruangan dan semakin membuat ricuh acara pemakaman yang sepertinya tidak jadi terlaksana itu. Rasa takut dalam diri Fadly telah dikalahkan oleh rasa tidak percayanya sendiri. Kembali dia mendekati peti setelah sebelumnya mendadak memalingkan diri.
        “Tuan tidak apa-apa ?” Ucapnya dengan nada bergetar. Mayat hidup itu hanya mengangguk seraya berusaha berdiri. Sementara Fadly masih meneruskan rasa tidak percayanya. Bagaimana Tuan Sasongko bisa berdiri jika mengingat penyakit yang diderita sebelumnya. Sepertinya tidak mungkin. Fadly harus menyimpan kembali rasa heran setelah kemudian Tuan Sasongko berkata, “Bawa aku ke kamar!”
Ф
        Pikiran Fadly tak surut mencari-cari jawaban, apa yang telah terjadi pada tuannya ? meski kini tuannya bisa berjalan dan bicara, tapi saat ditanya perihal kematiannya maka jawabnya hanya geleng kepala, sedang jika malam telah larut maka terdengar suara-suara dari kamarnya seperti orang gila berbicara dengan Tuhannya.
        Sementara itu tak ada yang tahu pengalaman singkat Sasongko di alam yang bernama baka, bahwa mungkin telah terjadi kekeliruan tentang kematiannya dan dia akan dijemput kembali setelah diberitahu bakal hari kematiannya.
        Hingga suatu sore masih dari dalam kamarnya, Sasongko meminta Fadly untuk membuat sebuah ruang kosong berdinding tebal dari bahan besi pilihan, tak ada celah tak ada lubang.
Ф
        Hari itu sampai juga, hari yang diketahui Sasongko sebagai bakal hari kematiannya, dijauhi semua hal yang kiranya dapat membahayakan dan merenggut nyawanya. Kali ini Sasongko benar-benar siap lari dari kematiannya, dia tidak ingin mati lagi hari ini, dia tidak ingin menemui malaikat yang akan menjemputnya hari ini, dia ingin lari, dia ingin sendiri. Dan masuklah Sasongko ke ruang besi itu, sendiri tanpa ada yang menemani. Pikirnya malaikat takkan mampu menembus dinding besi ini.
        Di luar, Fadly hanya mengamati kegilaan tuannya itu, mungkinkah dia bisa lari dari mati seperti beberapa waktu yang lalu ? Sepertinya tidak. Dengan mata kepala sendiri, Fadly melihat bagaimana malaikat itu mengakhiri hidup tuannya. Orang bilang karena kehabisan oksigen, tapi baginya tetap saja malaikat tadi yang mengakhiri hidup tuannya. Tak ada sayap, tak ada lingkaran di atas kepalanya, bajunya pun juga tak berwarna putih seperti yang biasa dilambangkan kesucian. Yang Fadly tahu, dia datang dan pergi secepat kita menarik nafas dan menghembuskannya kembali.
        Fadly hanya bergumam dalam hati bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kematian. Bagaimana cara kita akan mati bergantung pada bagaimana sikap kita melewati kematian sendiri, tak perlu lari dari kematian karena tak ada tempat untuk bersembunyi dari malaikat pengantar mati, sekalipun itu ruang tertutup tanpa lubang, malaikat tetap datang menyampaikan salam Tuhan. Maka ikhlaskan…!



Kalibutuh, 27 Oktober
Untuk abah Chambali yang meninggal dunia karena stroke
Setelah delapan tahun berjuang untuk hidup



*) RA Hartyanto, cerpenis muda, saat ini tinggal di Bangkalan


Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010


SAJAK-SAJAK DADANG ARI MURTONO

Photobucket


ihwal kerikil dan sedompol jambu air

kerikil
segalanya terasa jauh
bagi langkah yang hilang kayuh.

begitu basah
matanya yang memandang marah

kekasihnya di atas sana
dicumbu codot yang dahaga.

teramat lama ingin ia
menyentuh dan membuat jatuh cintanya

untuk menyenang-kenyangkan si anak
yang lapar dan tak kenal bapak.

sebab sungguh ia tahu
surga hanya terletak di atas bagi yang tak beribu.

seperti ia
yang senantiasa mendongak waktu berdoa

juga menyampaikan doa si anak
yang merunut surga di jejak kaki ibu sambil merangkak.

alangkah bahagia ia
ketika si anak memungut dan melemparnya

ke atas
ke tempat surga menunggu netas.

sedompol jambu air
seperti mintanya
tubuhnya gemuk penuh cinta

dan tak pernah ia pilah
kerikil atau codot yang lebih dulu singgah.

dan memang tak masalah ia
dua pencemburu itu selalu terburu mencumbunya.

serupa ayat yang merawatnya
ingin ia kuat dan rela

berakhir di yang lapar
dikunyah taring yang bergetar.

sungguh baginya
surga hanyalah doa

dari mereka yang bersyukur
telah membuatnya lebur

dan menjadikannya daging yang lain
daging dari adzan yang lebih dingin.


seperti cabai yang capai

dan kini tinggal rabuk lapuk
yang gagal menggapai
reranting yang rela cerai
dari ia.

alangkah masai senyumnya
ketika jatuh lalu terurai.

sungguh sengaja dipilihnya
luruh sepanjang jalan landai itu
sebab enggan ia bertikai
dengan latung yang tak kenal damai

sebab teramat lambat petani itu
merabai dan merasai
doa-doa yang penuh ia rangkai
di sekujur tubuh.

ia pilih menyemai bebijinya
walau tubuhnya segera terberai
dalam humus yang pernah ia cintai
yang pernah mencintai ia

agar suatu waktu
lebih banyak yang membiak
dan petani itu beroleh cinta
yang lebih jamak dan tak terjarak.

seperti itulah aku
menjatuhkan diri pada cintamu
lalu menjauhkan diri dari engkau.


kepada bunga yang sering membuat kita lupa

bahwa dedaun adalah surga yang mempertemukan humus dan cahaya, sepasang pencinta yang mengingatkan kita kepada adam dan hawa yang banyak bercinta setelah lama tak berjumpa lalu melahirkan warna, para putra yang hanya pandai meng-indahkan dan tak serupa para putra bapa kita yang mahir mengindahkan sabda, mereka tak perlu berebut kelopak yang akan dijejak dan sungguh tak usah saling membunuh untuk menyepuh merah yang cerah.

bahwa warna itu telah menyajakkan dirinya sejak mula kita belum mengenal aksara  dan jejaknya membentang panjang menjadi bait-bait yang seringkali gagal kita mengerti selain ia beserta tangkainya sekadar pembujuk cinta yang marah, serupa puisi-puisi kita yang pasrah menangisi lelah dan kalah memamah gelisah dengan sempurna.


*) Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto.


 Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010

SAJAK-SAJAK ANGGA PRIANDI

Photobucket


Kupilih Melati I dan II
Kupilih Melati I

Kupilih melati
meski mawar penuh getar
atau kamboja tetap berbinar

Kupilih melati
bukan anggrek atau brokoli
bukan wortel atawa sawi

Ya, melati
sederhana, tapi anggun
manis penuh senyum
murah, tapi meriah
tidak mahal, tapi tetap mewah

mahkotanya putih terbawa mimpi. Aku tertatih. Merintih. Perih.
ingin bercumbu pada harap di atap
ingin menyunting sampai aku sinting
memohon pada pohon agar melahirkan melati lagi
karena aku tak ingin melihatnya mati, apalagi sampai muncul duri

Kupilih melati
bukan kaktus atawa pinus
bukan cemara atawa derita
karena kuyakin, melati pasti bahagia.


Kupilih Melati II

Kucium aroma ranum setiap daun
: senyum
putiknya indah berhias mahkota

Melati selalu membawa berkah
menjadi saksi saat pernikahan
menebar harum saat pemakaman
atau sekadar penghias pada film-film setan

Melati,
tak beristri
tak bersuami
tapi melahirkan generasi yang tetap wangi

Melati,
menyimpan mimpi para kekasih
memberi angan setiap kerinduan
menyisipkan kedamaian di semua harapan

Kamar, 13 Desember 2009, 3.42 am.
: untuk melati di seluruh negeri

Ini Bukan Puisi
Preambul
: Meri

Aku yang masuk kerongkonganmu
saat bibir kita menyatu
lidah kita saling menyapa
hidung kita saling membau

aku masih ingat nafasmu
nadimu
irama jantungmu
lubang hidungmu
kelopak matamu yang kupandang begitu dekat, kau mengatupkannya

andai kulukis, tak kan selesai meski dengan semua warna
andai kubaca, lidahku akan tetap terbata
andai kuungkap, tak akan terwujud meski dengan segala bahasa
andai kucerita, tak akan percaya karena kau adalah terindah

izinkan jiwa kita bermain di nirwana
menyentuh kuldi pemisah Adam-Hawa
tapi jangan dimakan, Sayang

ingin kuterima himanga darimu
karena aku bukan seorang hipokrit

ini adalah preambul
kuharap bukan terka di akhir tikam.

Simpul Senyum
: bungaku

telah kurangkai simpul
telah kubungkus seikat senyum yang tertuang dalam telaga
saat petuah menempel pada butir-butir cemburu
yang kau hadiahkan untukku

kuiris tipis keju di hatiku
bergumul dengan tulang-tulang daun kemuning itu
Sayang, aku ingin merajam malam agar mentari dan bulan bisa bersetubuh
di lembah yang tertuang nama kita
ya, hanya nama kita
tak ada yang lain

tak ada padi atau kemangi
tak ada duku atau mengkudu
tak ada kekasihmu, hanya kau dan aku

seperti saat aku menyusun rindu
saat kau memunguti kisah yang berserakan
di lemari
di kolong resah
di meja penuh cinta

bahkan aku pun tak tahu
ternyata melati cemburu
pada kelelawar pemberi penawar
sebuah tungku berisi altar sejarah masa senja

usia semakin renta
tak inginku dia terluka
bahkan oleh senyumku sendiri

Kamar, 30 Desember 2009 3.40 am.

*) Angga Priandi, seorang buruh pendidik di Surabaya. Penikmat Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini sedang mempersiapkan Chika The Series sebagai satu terbitan utuh.


Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010




Monday, September 3, 2012

Irasionalitas dan Kekuasaan: Menziarahi Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo





Oleh Tri Shubhi A*

Indonesia, sobongkah batu yang dicampakkan dari surga ini, sedang merangkak, belajar mengerti arti demokrasi. Pemilihan Umum merupakan kendaraannya. Bahan bakarnya partisipasi politik rakyat. Pemilihan Presiden secara langsung merupakan tonggak asasi berdirinya demokrasi di Indonesia.
Dunia memuji, Indonesia berhasil menjalankan demokrasi. Pemilihan umum tahun 2004 berjalan relatif lancar tanpa kerusuhan. Presiden yang terpilih secara langsung dianggap menunjukan kecerdasan politik rakyat yang mulai meningkat. Konon rakyat tidak lagi terikat kekuatan partai, calon presiden yang berasal dari partai medioker pun ternyata bisa menang.
Setelah Pemilu 2004, beberapa daerah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung pula. Sekali lagi, Indonesia dianggap berhasil menjalankan demokrasi di tingkat daerah. Dunia kembali angkat topi dan tersenyum manis untuk Indonesia kita.
Hanya saja ‘sukses’ tersebut sepertinya ilusi belaka. Paling tidak sukses itu baru tercapai di tataran formal. Artinya masih sukses sebatas pelaksanaan Pemilu atau Pilkada saja. Sesungguhnya demokrasi di Indonesia masih tetap seperti dulu, seperti zaman orde baru. Demokrasi tanpa logika, politik irasional.
Harus digarisbawahi bahwa ukuran-ukuran keberhasilan demokrasi Indonesia yang selama ini diberlakukan merupakan ukuran formal belaka. Artinya keberhasilan itu masih diukur dengan angka dan statistik semata. Pada kenyataannya Pemilu dan juga Pilkada tetap saja gagal menghasilkan pemimpin yang dapat memperbaiki kondisi bangsa.
Rakyat masih saja memilih pemimpin dengan tendensi tertentu. Fanatisme terhadap suatu hal biasa menjadi landasan bagi rakyat dalam memilih seseorang. Uang tentu saja masih memegang peranan penting dalam dinamika politik kita. Hal lain yang tak bisa dilupakan: mistik!
Partisipasi rakyat? Rakyat memang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Rakyat memang menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi tetap saja, mereka (sebagian besar) memilih dengan menanggalkan logika. Datangnya rakyat ke TPS lebih tepat dikatakan sebagai mobilisasi politik oleh kekuatan politik (partai/kekuasaan), bukan partisipasi politik yang berlandaskan kesadaran.
Penyakit ini bukan penyakit sistem politik atau cara memilih, tetapi ini merupakan penyakit budaya. Penyakit ini bukan penyakit hari ini saja melainkan sudah lama dan mengendap bertahun-tahun. Kuntowijoyo ‘menggambar’ fakta-fakta ini dengan cukup apik dalam novelnya Mantra Pejinak Ular (Penerbit Kompas: 2000).
Bagaimana yang dinamakan politik dan politik yang bagaimana yang ada di Indonesia digambarkan melalui sepak terjang tokoh bernama Abu Kasan Sapari. Walau mengambil latar zaman Orde Baru tetapi cerita yang disajikan masih tetap relefan untuk dibahas. Politik kita yang irasional dan demokrasi kita yang tanpa logika digambarkan dalam beberapa bagian novel ini.
Hal pertama yang sangat berpengaruh dalam perpolitikan kita ialah kekuatan yang sering dinamakan mesin politik. Mesin politik ini yang biasanya mempertahankan keterbelakangan rakyat untuk kepentingan kelompoknya. Mereka memanfaatkan para kiai, pondok pesantren, tokoh masyarakat, pejabat dan apa saja yang dapat mendatangkan suara. Mesin politik ini pun tak segan untuk melakukan penipuan, manipulasi, dan cara-cara curang guna meraih kemenangan dalam pemilihan. Kunto menggambarkan tingkah mesin politik ini sebagai berikut:

Mesin Politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan waktu pelaksanaan pemilihan singkat saja, umpamanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik yang akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir,  orang-orangnya pasti lulus ujian, dan mesin politik itu weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. Menang sebelum pemilihan. (hlm 91).

Banyak kenyataan yang dapat disebut untuk membuktikan kutipan cerita di atas. Contohnya ulah mesin politik salah satu partai di sebuah desa, Ciamis, Jawa Barat. Desa itu sedikit terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kebetulan jalan di desa itu rusak berat. Beberapa hari sebelum Pemilu 2004 mesin politik sebuah partai datang ke desa itu membawa 2 buah drum aspal. Padahal aspal yang dibutuhkan untuk memperbaiki jalan kurang lebih 10 drum. Mereka mengatakan 8 drum sisanya akan diberikan setelah Pemilu berlangsung. Syaratnya partai mereka harus 100 % di desa itu. Semua berjalan lancar. Rakyat mendapatkan 8 drum aspal dan partai itu menang 100 %.
Begitu lah politik kita. Begitu lah ‘partisipasi’ rakyat kita. Nah jumlah angka pemilih yang cukup tinggi tentu saja tidak dapat menjadi ukuran tingginya partisipasi dan kesadaran politik rakyat kita. Oleh karena itu kesimpulan demokrasi berjalan dengan baik di Indonesia, harus ditinjau ulang.
Kekuatan kedua setelah mesin politik ialah uang. Kasus dana nonbudgeter Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang baru-baru ini muncul (untuk kemudian tenggelam lagi ditelan waktu) merupakan bukti nyata bagaimana uang memainkan peran yang penting dalam dinamika politik kita.
Sogokan dalam Pemilu atau Pilkada merupakan rahasia umum yang telah sekian lama dianggap lumrah. Partai atau calon yang waras ialah mereka yang menggunakan uang untuk mendapatkan suara. Mereka yang tidak waras ialah yang ‘mengemis’ kesadaran politik rakyat dalam pemilihan. Terbalik dan mengkhianati logika tampaknya, tetapi itulah kenyataan politik kita hari ini.
Hal seperti itu tak berbeda jauh dengan apa yang dikisahkan Kunto dalam novelnya. Walau berada dalam dimensi imajinasi (yang tentu saja memiliki banyak perbedaan dengan dunia nyata) tetapi Mantra Pejinak Ular  seolah bertutur tentang kenyataan menyebalkan itu. Perhatikan kutipan berikut ini:

…Soalnya ada kabar bahwa para botoh dari kota telah menjadikan pilihan lurah sebagai arena perjudian. Mereka menyuplai uang untuk kampanye, dan membagi uang pada tokoh-tokoh kunci… (halaman 96)

Rakyat kita masih banyak yang miskin. Konsekuensi dari kemiskinan adalah keterbelakangan dan kebodohan. Rakyat yang miskin dan bodoh ini tentu saja bersedia disogok barang Rp 50.000,- untuk memilih seorang calon atau sebuah partai dalam pemilihan. Sekali lagi, politik kita ialah politik tanpa rasional, demokrasi ini ialah demokrasi tanpa logika.
Kekuatan ketiga yang mempengaruhi dinamika politik kita ialah takhayul, mistik, atau khurafat. Ini bukan bualan. Banyak pejabat dan calon pejabat yang bersedia datang ke kuburan atau melakukan hal-hal mistis sejenis. Memang aneh, tetapi begitulah kenyataannya.
Hal-hal aneh dan tidak bisa dinalar ini justru menjadi hal yang sangat tidak aneh dalam dinamika perpolitikan kita. Laku atau ritual  tertentu sering kali dilakukan oleh seorang calon guna meraih kemenangan dalam pemilihan. Sebagian masyarakat kita memang masih mengandalkan mistik dalam berpikir. Pola mikir mistik ini masih digunakan dalam sistem politik yang (konon katanya) modern dan berlandaskan logika. Tak heran jika terjadi banyak kontradiktif dalam politik nasional kita.
Pensakralan seorang tokohan (baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal), isu-isu mistik yang tak pernah dibuktikan, dan ‘kicauan’ dukun senantiasa menghiasai dunia politik kita. Sekali lagi, hal ini justru menjadi sebuah keanehan yang sangat lumrah. Justru aneh kalau dalam sebuah pemilihan tak ada bau mistik. Dalam novel Kunto, laku politik yang irasional ini digambarkan sebagai berikut:

Pada hari-H, pagi sekali sebelum matahari terbit dan sebelum orang-orang datang, sesuai dengan anjuran dukun seorang calon lurah berangkat menuju sendang. Ia lalu mencopot pakaian dan menceburkan diri di sendang. Biasanya orang mandi dengan cara menciduk air sendang. Sebenarnya dingin juga mandi dengan cara itu. Tapi dia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia yakin betul akan memenangkan suara, karena dukun sudah menjamin…..

Dukun telah memilih gambar yang tepat, yaitu “obor”. Dia juga telah memenuhi saran dukun untuk nyekar di makam cikal bakal desa. (halaman 98).

Mungkin irasionalitas semacam ini sudah jarang ditemukan di perkotaan. Akan tetapi diam-diam banyak juga anggota DPR, DPRD, bahkan menteri yang masih percaya pada mistik. Kita tentu belum lupa kasus penggalian situs purbakala di daerah Bogor yang dilakukan oleh seorang menteri beberapa tahun lalu. Entah kenapa hal semacam ini begitu banyak terjadi di Indonesia. Pendidikan formal dan teknologi ternyata tak mampu mengikis semua itu.
Kekuatan keempat yang masih mempengaruhi politik kita iaitu kesenian. Dangdutan atau wayangan tentu masih sering ‘dipesan’ oleh kekuatan politik tertentu. Tentu saja saat ini yang pertama lebih sering ‘dipesan’ dari pada yang kedua. ‘Partisipasi’ kesenian dalam kancah perpolitikan kita digambarkan oleh Kunto dalam kutipan beriku ini:

Seorang calon lurah mengadakan wayangan semalam suntuk, dalangnya Abu Kasan Sapari. Pertunjukan wayang kulit dimulai. Tetapi, kursi-kursi  disediakan masih kosong, tenda yang dipasang seolah-olah tak berguna. Kursi-kursi depan hanya diisi tamu undangan dan kader. Kursi belakang yang disediakan bagi penonton umum nyaris kosong, ketika calon lurah berpidato. Juga ketika dia menyerahkan wayang pada Abu –upacara penyerahan wayang yang jelas-jelas meniru para pembesar yang diketahui melalui TV. Orang-orang ngumpet di rumah, barangkali sungkan kalau-kalau ketahuan kaki-tangan Mesin Politik. Menonton wayang berarti mengkhianati janji, sebab mereka sudah terima uang. Mereka hanya mendengarkan pidato calon lurah dari dalam rumah-rumah, karena pengeras suara yang keras dapat mencapai telinga mereka.
Namun, menjelang tengah malam, orang satu per satu keluar rumah, mula-mula dengan bungkus sarong. Bunyi gamelan sungguh tak terlawan. Setelah mereka yakin isu tentang adanya kaki tangan Mesin Politik ternyata hanya satu cara memenangkan pemilihan, mereka membuka sarong dan makin mendekat. Penonton makin lama makin banyak, akhirnya mbludag sampai jalanan. Bagi mereka yang memilih wayang, amanatnya jelas: Pilihlah Kipas, meskipun wayangnya sama sekali tak menyinggung. (halaman 95-96)

Posisi kesenian dalam politik memang rumit. Suatu pertunjukan kesenian tentu dapat menarik orang untuk datang. Ketika banyak orang sudah berkumpul, kampanye tentu mudah dilakukan. Salah satu prinsip pemilihan menyatakan bahwa yang banyak dipilihlah yang menang. Tak heran jika kesenian, yang dapat menarik banyak orang, seringkali aktif ‘berpartisipasi dalam kancah politik.
Sebagian orang berpendapat bahwa kesenian harus dijauhkan dari politik sisanya justru menggunakan kesenian untuk politik. Kunto menggambarkan kerumitan itu (mungkin juga menyatakan pendapatnya) sebagai berikut:

Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari selalu bertanya-tanya bagaimana mendudukan kesenian, supaya kesenian terbebas dari politik, atau sebaliknya politik dari kesenian, pendek kata keduanya terpisah: kesenian itu otonom. Kesenian adalah keindahan, sedangkan politik adalah kekuasaan. Biarlah orang lain mengotori politik, asal bukan kesenian. Mesin Politik mengotori hati nurani dengan jabatan, botoh dengan uang, dukun dengan klenik, dan ada kemungkinan kesenian mengotori hati nurani justru dengan keindahan. Mengotori dengan keindahan? Keindahan harus membuat orang bijaksana, mempertajam hati nurani, bukan membuat hati nurani tumpul. (halaman 99-100).

Kesenian memang merupakan keindahan. Keindahan selayaknya membuat orang menjadi bijaksana. Kesenian yang masuk ke dalam arus politik praktis yang tidak sehat bisa jadi telah kehilangan keindahannya.
Dinamika politik kita hari ini belum lah sehat. Demokrasi yang diagung-agungkan telah nyata tidak dapat menghasilkan pemimpin yang tepat bagi bangsa ini. Kualitas demokrasi kita tentu masih pada kedudukan demokrasi irasional. ‘Partisipasi’ politik rakyat masih diwarnai dengan kecurangan, uang, klenik, dan eksploitasi budaya bahkan agama.
Novel Mantra Pejinak Ular setidaknya dapat menjadi peringatan bagi kita untuk menunda kesimpulan “Demokrasi telah berjalan dengan baik di Indonesia”. Ada hal-hal lain di luar kesuksesan pelaksanaan Pemilu/Pilkada yang tidak dapat dihitung dengan angka atau pun statistik.

*) Tri Subhi Abdillah, mahasiswa FIB UI. Bergiat pada Komunitas Nuun.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2,  Oktober 2010 
      

Sajak-Sajak Nur Chasanah


Ilustrasi oleh Ferdi Afrar untuk SARBI 


Pitoe Petex Cilik

Terpontang panting mereka
di ketidakpantasan usia
Terbawa, akan ketidaksempurnaan
keadaan

Di mana yang dewasa melangkah
dengan gagah; Merebut yang
mereka punya

Merampas paksa
Hak-hak yang mereka damba

Terpontang panting mereka
dengan cambuk tawa
di tangan penguasa

Terdiam mereka…
dengan kepasrahan dalam ketidakadilan
Tercekik mereka…
oleh tali kemiskinan

Sayatan Sayatan Tajam

Burung nuri itu tertawa ngakak
Akan nasib kita
Di mana luka-luka itu buramkan mata
Dan menyeret-nyeret nyawa yang masih
tengkurap lemah

Mimpiku sirna
Hanya ada tawa renyah sang penguasa
Nyawaku, arwahku merajuk dan menari

Mencari belatung-belatung yang masih
Terkurung dalam kebebasan tak pasti
Mencari jawab atas arti
Kebebasan dan kemerdekaan

Prolog Bumi Koe

Penantian ini seakan tiada arti
Setelah sekian lama menunggu
Darahku tetap saja beku
Hanya mencekik dan berteriak
Tetes demi tetes
Mengguyur jalan setapak
…menjadi lautan nanah
Darahku ingin berontak
namun suaraku, hanya sampai
di ujung-ujung jeruji tak bergerak
air mata
memukul dan berteriak…
berontak!!
Dengan wadah letih dan amarah
Gejolak
Tawa itu…
Tawa itu…
Makin kencang terdengar
Makin lantang membisingkan
Aku, darahku, dan air mataku
Hanya diam dalam laku
Dan bisu 



*) Nur Chasanah, seorang penikmat sastra. Saat ini
tinggal di Jombang. Puisi-puisinya pernah tergabung
dalam antologi Eksekusi Kata (SR’04, 2006)

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post