Ilustrasi oleh Ryan aka Mighty Monkey untuk SARBI
Oleh Mochammad Asrori*
Aku sedikit kaget ketika ia
perlahan membimbing Bapak untuk bertahmid menyebut yang Esa karena menduga
telah tiba saatnya Bapak menghembuskan nafas penghabisan. Rupanya ada beberapa
hal yang berubah darinya. Apa karena ia sudah beristri? Mungkin, tapi ternyata
malam itu belum waktunya Bapak pergi. Saat racauan Bapak reda, ia mengajak
semuanya keluar dari bangsal perawatan. Ia menyuruh istrinya dan Sumi, istri bapak,
untuk pulang beristirahat dan kembali esok pagi. Sedang kami tetap tinggal
menjaga Bapak.
Di luar bangsal, kami merokok
bersama sepanjang malam. Ia dengan rokok lintingannya, dan aku dengan rokok
kretek kesayanganku. Ia keluarkan tembakau yang disimpan dalam kantong plastik
khusus. Dengan gerakan teratur tembakau itu ia linting dengan kertas rokok,
hingga di akhir proses, ia jilat ujung kertas rokok sebagai perekat. Suatu
upacara tersendiri baginya. Lagipula malam ini memang dingin sekali.
Kini ia sudah menjadi perokok berat.
Kuperhatikan ini dari jari telunjuk dan tengahnya, bagian yang biasa digunakan
menjepit rokok, yang berwarna kecoklatan. Baru kali ini aku menemui jari orang
yang coklat karena merokok. Mungkin reaksi yang sama dengan bibir atau gigi orang
menjadi gelap karena banyak merokok.
”Heran masih melihatku setia
melinting rokok?” tanyanya tiba-tiba. Rupanya ia memperhatikan juga pandangan
wajahku yang tak lepas dari gerakan ritualnya.
”Di Jakarta ternyata ada juga
rokok lintingan,” jawabku sekenanya.
”Tanya sana-sini lah,”
Aku tidak tahu kapan pertama kali
ia merokok, tapi aku ingat kapan pertama kali aku melihatnya melinting rokok.
Waktu itu ia makin berat saja membeli rokok eceran yang harganya terus naik.
Aku kebagian imbas sebagai suruhannya ke toko Pak Wan, penjual aneka macam
tembakau dan barang dagangan sebangsanya, seperti pipa cerutu, kertas rokok,
dan rokok-rokok lintingan yang sudah jadi dalam plastik.
Aku tak ingat berapa hari sekali
aku ke toko itu, tapi yang jelas begitu tembakaunya habis ia akan langsung
mengulurkan uang agar aku segera berangkat. Jaraknya tidak jauh, sekitar sekilo
yang kutempuh dengan sepeda. Jalanan saat itu belum ramai seperti sekarang,
dimana akses jalan menjadi padat seiring makin maraknya perumahan dan
berdirinya kampus perkuliahan. Kepadatan yang kemudian menjalar, bukan hanya
tumbuh di jalan, tapi juga di dalam kampung karena warga berlomba membangun tempat
kos bagi para mahasiswa atau kuli-kuli bangunan. Tidak ada bedanya.
Rumah sakit lengang, tapi lampu
di atas kami benderang betul.
”Tidak ada proyek?” Ia membuka
pembicaraan. Ia masih berpikir aku seperti dirinya dan kebanyakan warga kampung
di sini yang dari dulu sebagian besar mencari rejeki menjadi tukang dan kuli
bangunan. Tapi ia benar.
”Baru selesai, belum ada lagi.”
Dia mulai ngobrol macam-macam hal
di tempat barunya, mulai dari rumah kontrakannya, pernikahannya, istrinya,
keluarga istrinya, dan beberapa tips persoalan pertukangan. Jika aku berminat,
dia juga mengajakku mengadu nasib di sana. Ia pulang setelah lima tahun lebih
bekerja di Jakarta tanpa pernah pulang. Bapak sakit keras, dan memang ia datang
untuk itu.
Ia datang bersama istrinya yang
baru dinikahinya lima bulan lalu. Bisa dibayangkan, pengantin baru melakukan
perjalanan untuk menemui Bapak yang sudah sekarat. Kemungkinan besar mereka
akan menjadi saksi saat nafas Bapak megap-megap seperti orang yang jatuh
tenggelam dalam lubuk sungai, lalu lemas setelah mengejan panjang tanda telah
menyeberang ke alam lain. Semalam saja mereka sudah menjadi saksi racauannya.
. Setelah beberapa tempo kelengangan,
hembusan asap rokoknya menjadi lebih panjang dari sebelumnya, tanpa menoleh
padaku ia membuka lagi pembicaraan.
”Bagaimana keadaan di sini?
Kulihat Sumi lagi bunting,”
Aku hampir saja tersedak oleh
asap rokok. Tapi memang Sumi, istri bapak, sedang hamil. Kupikir karena fokus kepada
Bapak, Sumi luput dari perhatiannya. Ternyata tidak.
”Yah benar. Ia hamil lima bulan,”
”Lima bulan? Hah, jadi waktu aku
menikah Bapak malah... Ah Bapak, Bapak, masih sempat-sempatnya kau bikin anak
lagi.” Ia mengucapkannya sambil tertawa panjang.
Sambil memandangku, ia berkata
lagi, ”Jadi kita akan punya adik lagi?”
Aku hanya tersenyum, ”Yah,
mungkin, sepertinya begitu,”
Tiba-tiba tawanya reda, raut mukanya berubah. Aku belum sadar benar
apa penyebabnya. Tapi wajahnya yang meremehkan tadi berubah tampak emosi. Apakah
karena jawabanku.
”Mungkin? Yah mungkin, sepertinya
begitu,” ia menirukan jawabanku, ia tertawa hambar. ”Pasti dalam hatimu kau
meralat pertanyaanku, bukannya kita bakal punya adik lagi, tapi kau akan punya
keponakan lagi, begitu?”
Rupanya benar. Ini karena
jawabanku. Ia menatapku lama tanpa berpindah haluan. Padahal aku sama sekali
tidak bermaksud menggiring pembicaraan ke arah yang ia maksud. Jawabanku
hanyalah pretensi ketidakpercayaan semata bahwa Sumi bisa hamil, bukannya
pretensi untuk mengatakan perbedaan ”punya adik lagi” dan ”keponakan lagi”
seperti yang diucapkannya.
”Baiklah, tak masalah jika kau menganggap
akan memiliki keponakan lagi,” lanjutnya. Ia berdiri mengerak-gerakkan pinggangnya.
Mengusir sisa remuk perjalanan yang masih melekat di tubuhnya. ”Aku tahu,
pastilah berat bebanmu di rumah saat aku pergi.”
Beban berat? Aku sendiri tak tahu
apakah yang aku rasakan merupakan beban berat, atau sekedar ikut merasakan malu
berat. Saat
ia pergi memang keadaan sangat kacau di rumah. Saat itu Sumi juga hamil.
Mungkin ini yang membuatnya tertawa tadi. Dulu saat kepergiannya Sumi sedang
hamil, dan sekarang saat ia pulang setelah sekian lama, Sumi juga sedang hamil
lagi.
Saat Sumi hamil dulu, Bapak
segera mendesaknya menikahi Sumi. Orang-orang kampung cuma tahu ia yang paling
dekat dengan Sumi, dan aku yang baru belasan tahun juga tahu ia menyukai Sumi. Tapi ia menolak. Ia
membantah bukan ia yang menghamili Sumi. Ketika hal ini mulai terendus
orang-orang dan Bapak semakin keras memaksanya untuk mengikuti proses
pernikahan yang sudah ditetapkan, ia memilih kabur.
Tapi walau ia
kabur, Sumi tetap menikah. Andai aku tidak terlalu muda, Bapak pasti sudah
memaksaku untuk menikahi Sumi. Tapi entah juga, yang jelas Bapaklah yang
kemudian menikahi Sumi, toh tak ada salahnya ia mengakhiri masa duda panjangnya
dan ada yang merawat saat ia uzur.
”Dulu saat kau
pergi, orang-orang kampung semua bisik-bisik, sama juga soal kepulanganmu saat
ini,”
”Oh ya, apa kata
mereka?”
”Macam-macam,”
”Aku yang tidak
tahu malu?”
”Tidak juga, sama
ketika kau tertawa saat tahu Sumi hamil. Mereka menganggap hal ini lelucon yang
menghibur. Katakanlah omongan, ’bekas milik Bapak di pakai anak biasa, tapi
bekas anak di pakai Bapak, baru luar biasa!’ Memalukan sekali bukan? Mereka
begitu bersemangat mengorek kembali apapun.”
”Bagaimana mereka
bisa enteng sekali membuka mulut. Jika aku pulang kemari beberapa bulan yang
lalu, pasti semakin ngap-ngap suara mereka.”
Aku diam tidak
menanggapi komentarnya, karena yang terjadi sebenarnya tetap saja sama. Semua
sudah kadung menjadi lelucon. Mereka berasumsi bahwa ia sebenarnya telah sempatkan beberapa
kali pulang ke kampung diam-diam dan bertemu dengan Sumi. Mereka pikir
bagaimana Bapak yang ringkih dan sakit-sakitan itu masih bisa memberikan
keturunan kepada Sumi. Aku menyimpan komentar ini, kasihan juga melihatnya berpikir ia akan terus
menjadi bulan-bulanan omongan orang.
Ia melangkah ke sudut pekarangan
rumah sakit. Mungkin ia sedang meredakan kekesalan, atau sedang menyusun
kata-kata yang pas untukku sebagai rangkuman singkat masa lalu. Sebenarnya aku
tidak berniat sama sekali menyinggung masalah kepergiannya dulu. Walaupun aku
ingin bicara dari hati ke hati antara dua saudara kandung mengenai jalan cerita
sebenarnya, karena selama ini, sama seperti orang-orang kampung, aku hanya tahu
ia kabur setelah menghamili Sumi.
Ia menjentikkan batang rokok
lintingannya ke tanah dan menginjaknya. Ia kembali ke arahku dan kembali duduk
di sampingku. Ia keluarkan tembakau lagi dari kantong plastik khususnya. Masih
dengan upacara yang sama, ia melinting dengan kertas rokok dan di akhir
pelintingan ia jilat ujung kertas rokok sebagai perekat. Rokok sudah menjadi
kebutuhan vital baginya.
”Bagaimana Indra? Apakah dia
mendapat perlakuan yang baik?”
Aku memandangnya. Indra adalah jabang
bayi yang kemudian lahir dari rahim Sumi. Secara otomatis ia diposisikan
sebagai adik karena Sumi dinikahi oleh Bapak. Lucu juga awalnya. ”Yah, dia
tumbuh sehat. Jarang sakit. Sudah bisa kusuruh beli rokok kretek di warung
samping. Akhirnya aku punya pesuruh untuk beli rokok.”
Ia tersenyum. ”Mungkin dahulu
yang terpikir padaku hanya ketidakadilan yang ditimpakan kepadaku. Aku pacar
Sumi, lalu Sumi hamil. Tapi aku tidak menghamilinya. Aku juga tidak ingin tahu
siapa. Aku terlanjur muak dan patah arang. Malu, sama seperti Bapak atau
sepertimu. Kadang aku menyesal juga. Jika aku menikahi Sumi, persoalannya tentu
akan beres. Tidak akan ada yang menganggapnya lelucon. Hanya hubungan dua
pemuda yang hamil sebelum nikah.”
Yah ia benar. Kungkungan antara
siapa sebenarnya yang pengecut dan siapa sebenarnya orang yang bertanggung
jawab membuat kabur pandangan. Seorang anak, bagaimanapun merupakan satu
anugerah. Apakah yang terpental dan memutuskan keluar untuk bertanggung jawab
adalah sang pengecut? Apakah yang bertahan dan tabah menerima berbagai sengat
dari mulut-mulut adalah sang penanggung jawab yang jantan?
Saat ia mulai menyedot rokoknya,
aku ingin sekali bertanya, ”Apa benar Indra bukan anakmu?” Karena hingga detik
ini pun ia masih mengatakan Indra bukan anaknya. Aku ingin sekali memojokkannya
dengan beberapa kalimat sehingga ia mengakui perbuatannya. Mengakui bahwa ia
yang menghamili Sumi. Mengakui bahwa Indra adalah anaknya. Tapi pertanyaan itu
kutelan dalam hati.
Ya kutelan benar pertanyaan itu,
karena sebenarnya jika pertanyaan itu terlontar dan ia menjawab jujur bahwa
Indra adalah anaknya, maka aku akan berkata padanya, ”Sebenarnya yang benar
adalah kita tidak sedang menunggu adik lagi, tapi kaulah yang sedang menunggu
keponakan baru, karena Sumi mengandung anakku. Ya, aku, pria pengecut yang
ingin merasakan kedewasaan, dan ternyata dari bekas pacarmu dulu, yang juga ibu
tiriku, aku merasakannya.”■
Mochammad Asrori, lahir di Surabaya, 24 Juni 1980. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Menulis berbagai genre sastra di luar
aktivitas sebagai guru. Email: roristory@gmail.com
Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment