Blogroll

Monday, January 7, 2013

Musim Kedua!

Photobucket

Ilustrasi oleh Ryan aka Mighty Monkey untuk SARBI

Oleh Mochammad Asrori*

Aku sedikit kaget ketika ia perlahan membimbing Bapak untuk bertahmid menyebut yang Esa karena menduga telah tiba saatnya Bapak menghembuskan nafas penghabisan. Rupanya ada beberapa hal yang berubah darinya. Apa karena ia sudah beristri? Mungkin, tapi ternyata malam itu belum waktunya Bapak pergi. Saat racauan Bapak reda, ia mengajak semuanya keluar dari bangsal perawatan. Ia menyuruh istrinya dan Sumi, istri bapak, untuk pulang beristirahat dan kembali esok pagi. Sedang kami tetap tinggal menjaga Bapak.
Di luar bangsal, kami merokok bersama sepanjang malam. Ia dengan rokok lintingannya, dan aku dengan rokok kretek kesayanganku. Ia keluarkan tembakau yang disimpan dalam kantong plastik khusus. Dengan gerakan teratur tembakau itu ia linting dengan kertas rokok, hingga di akhir proses, ia jilat ujung kertas rokok sebagai perekat. Suatu upacara tersendiri baginya. Lagipula malam ini memang dingin sekali.
Kini ia sudah menjadi perokok berat. Kuperhatikan ini dari jari telunjuk dan tengahnya, bagian yang biasa digunakan menjepit rokok, yang berwarna kecoklatan. Baru kali ini aku menemui jari orang yang coklat karena merokok. Mungkin reaksi yang sama dengan bibir atau gigi orang menjadi gelap karena banyak merokok.
”Heran masih melihatku setia melinting rokok?” tanyanya tiba-tiba. Rupanya ia memperhatikan juga pandangan wajahku yang tak lepas dari gerakan ritualnya.
”Di Jakarta ternyata ada juga rokok lintingan,” jawabku sekenanya.
”Tanya sana-sini lah,” 
Aku tidak tahu kapan pertama kali ia merokok, tapi aku ingat kapan pertama kali aku melihatnya melinting rokok. Waktu itu ia makin berat saja membeli rokok eceran yang harganya terus naik. Aku kebagian imbas sebagai suruhannya ke toko Pak Wan, penjual aneka macam tembakau dan barang dagangan sebangsanya, seperti pipa cerutu, kertas rokok, dan rokok-rokok lintingan yang sudah jadi dalam plastik.
Aku tak ingat berapa hari sekali aku ke toko itu, tapi yang jelas begitu tembakaunya habis ia akan langsung mengulurkan uang agar aku segera berangkat. Jaraknya tidak jauh, sekitar sekilo yang kutempuh dengan sepeda. Jalanan saat itu belum ramai seperti sekarang, dimana akses jalan menjadi padat seiring makin maraknya perumahan dan berdirinya kampus perkuliahan. Kepadatan yang kemudian menjalar, bukan hanya tumbuh di jalan, tapi juga di dalam kampung karena warga berlomba membangun tempat kos bagi para mahasiswa atau kuli-kuli bangunan. Tidak ada bedanya.
Rumah sakit lengang, tapi lampu di atas kami benderang betul.
”Tidak ada proyek?” Ia membuka pembicaraan. Ia masih berpikir aku seperti dirinya dan kebanyakan warga kampung di sini yang dari dulu sebagian besar mencari rejeki menjadi tukang dan kuli bangunan. Tapi ia benar.
”Baru selesai, belum ada lagi.”
Dia mulai ngobrol macam-macam hal di tempat barunya, mulai dari rumah kontrakannya, pernikahannya, istrinya, keluarga istrinya, dan beberapa tips persoalan pertukangan. Jika aku berminat, dia juga mengajakku mengadu nasib di sana. Ia pulang setelah lima tahun lebih bekerja di Jakarta tanpa pernah pulang. Bapak sakit keras, dan memang ia datang untuk itu.
Ia datang bersama istrinya yang baru dinikahinya lima bulan lalu. Bisa dibayangkan, pengantin baru melakukan perjalanan untuk menemui Bapak yang sudah sekarat. Kemungkinan besar mereka akan menjadi saksi saat nafas Bapak megap-megap seperti orang yang jatuh tenggelam dalam lubuk sungai, lalu lemas setelah mengejan panjang tanda telah menyeberang ke alam lain. Semalam saja mereka sudah menjadi saksi racauannya.
. Setelah beberapa tempo kelengangan, hembusan asap rokoknya menjadi lebih panjang dari sebelumnya, tanpa menoleh padaku ia membuka lagi pembicaraan.
”Bagaimana keadaan di sini? Kulihat Sumi lagi bunting,”
Aku hampir saja tersedak oleh asap rokok. Tapi memang Sumi, istri bapak, sedang hamil. Kupikir karena fokus kepada Bapak, Sumi luput dari perhatiannya. Ternyata tidak.
”Yah benar. Ia hamil lima bulan,”
”Lima bulan? Hah, jadi waktu aku menikah Bapak malah... Ah Bapak, Bapak, masih sempat-sempatnya kau bikin anak lagi.” Ia mengucapkannya sambil tertawa panjang.
Sambil memandangku, ia berkata lagi, ”Jadi kita akan punya adik lagi?”
Aku hanya tersenyum, ”Yah, mungkin, sepertinya begitu,”
Tiba-tiba tawanya reda,  raut mukanya berubah. Aku belum sadar benar apa penyebabnya. Tapi wajahnya yang meremehkan tadi berubah tampak emosi. Apakah karena jawabanku.
”Mungkin? Yah mungkin, sepertinya begitu,” ia menirukan jawabanku, ia tertawa hambar. ”Pasti dalam hatimu kau meralat pertanyaanku, bukannya kita bakal punya adik lagi, tapi kau akan punya keponakan lagi, begitu?”
Rupanya benar. Ini karena jawabanku. Ia menatapku lama tanpa berpindah haluan. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud menggiring pembicaraan ke arah yang ia maksud. Jawabanku hanyalah pretensi ketidakpercayaan semata bahwa Sumi bisa hamil, bukannya pretensi untuk mengatakan perbedaan ”punya adik lagi” dan ”keponakan lagi” seperti yang diucapkannya.
”Baiklah, tak masalah jika kau menganggap akan memiliki keponakan lagi,” lanjutnya. Ia berdiri mengerak-gerakkan pinggangnya. Mengusir sisa remuk perjalanan yang masih melekat di tubuhnya. ”Aku tahu, pastilah berat bebanmu di rumah saat aku pergi.”
Beban berat? Aku sendiri tak tahu apakah yang aku rasakan merupakan beban berat, atau sekedar ikut merasakan malu berat. Saat ia pergi memang keadaan sangat kacau di rumah. Saat itu Sumi juga hamil. Mungkin ini yang membuatnya tertawa tadi. Dulu saat kepergiannya Sumi sedang hamil, dan sekarang saat ia pulang setelah sekian lama, Sumi juga sedang hamil lagi.
Saat Sumi hamil dulu, Bapak segera mendesaknya menikahi Sumi. Orang-orang kampung cuma tahu ia yang paling dekat dengan Sumi, dan aku yang baru belasan tahun juga tahu ia menyukai Sumi. Tapi ia menolak. Ia membantah bukan ia yang menghamili Sumi. Ketika hal ini mulai terendus orang-orang dan Bapak semakin keras memaksanya untuk mengikuti proses pernikahan yang sudah ditetapkan, ia memilih kabur.
Tapi walau ia kabur, Sumi tetap menikah. Andai aku tidak terlalu muda, Bapak pasti sudah memaksaku untuk menikahi Sumi. Tapi entah juga, yang jelas Bapaklah yang kemudian menikahi Sumi, toh tak ada salahnya ia mengakhiri masa duda panjangnya dan ada yang merawat saat ia uzur.
”Dulu saat kau pergi, orang-orang kampung semua bisik-bisik, sama juga soal kepulanganmu saat ini,”
”Oh ya, apa kata mereka?”
”Macam-macam,”
”Aku yang tidak tahu malu?”
”Tidak juga, sama ketika kau tertawa saat tahu Sumi hamil. Mereka menganggap hal ini lelucon yang menghibur. Katakanlah omongan, ’bekas milik Bapak di pakai anak biasa, tapi bekas anak di pakai Bapak, baru luar biasa!’ Memalukan sekali bukan? Mereka begitu bersemangat mengorek kembali apapun.”
”Bagaimana mereka bisa enteng sekali membuka mulut. Jika aku pulang kemari beberapa bulan yang lalu, pasti semakin ngap-ngap suara mereka.”
Aku diam tidak menanggapi komentarnya, karena yang terjadi sebenarnya tetap saja sama. Semua sudah kadung menjadi lelucon. Mereka berasumsi  bahwa ia sebenarnya telah sempatkan beberapa kali pulang ke kampung diam-diam dan bertemu dengan Sumi. Mereka pikir bagaimana Bapak yang ringkih dan sakit-sakitan itu masih bisa memberikan keturunan kepada Sumi. Aku menyimpan komentar ini, kasihan juga melihatnya berpikir ia akan terus menjadi bulan-bulanan omongan orang.
Ia melangkah ke sudut pekarangan rumah sakit. Mungkin ia sedang meredakan kekesalan, atau sedang menyusun kata-kata yang pas untukku sebagai rangkuman singkat masa lalu. Sebenarnya aku tidak berniat sama sekali menyinggung masalah kepergiannya dulu. Walaupun aku ingin bicara dari hati ke hati antara dua saudara kandung mengenai jalan cerita sebenarnya, karena selama ini, sama seperti orang-orang kampung, aku hanya tahu ia kabur setelah menghamili Sumi.
Ia menjentikkan batang rokok lintingannya ke tanah dan menginjaknya. Ia kembali ke arahku dan kembali duduk di sampingku. Ia keluarkan tembakau lagi dari kantong plastik khususnya. Masih dengan upacara yang sama, ia melinting dengan kertas rokok dan di akhir pelintingan ia jilat ujung kertas rokok sebagai perekat. Rokok sudah menjadi kebutuhan vital baginya.
”Bagaimana Indra? Apakah dia mendapat perlakuan yang baik?”
Aku memandangnya. Indra adalah jabang bayi yang kemudian lahir dari rahim Sumi. Secara otomatis ia diposisikan sebagai adik karena Sumi dinikahi oleh Bapak. Lucu juga awalnya. ”Yah, dia tumbuh sehat. Jarang sakit. Sudah bisa kusuruh beli rokok kretek di warung samping. Akhirnya aku punya pesuruh untuk beli rokok.”
Ia tersenyum. ”Mungkin dahulu yang terpikir padaku hanya ketidakadilan yang ditimpakan kepadaku. Aku pacar Sumi, lalu Sumi hamil. Tapi aku tidak menghamilinya. Aku juga tidak ingin tahu siapa. Aku terlanjur muak dan patah arang. Malu, sama seperti Bapak atau sepertimu. Kadang aku menyesal juga. Jika aku menikahi Sumi, persoalannya tentu akan beres. Tidak akan ada yang menganggapnya lelucon. Hanya hubungan dua pemuda yang hamil sebelum nikah.”
Yah ia benar. Kungkungan antara siapa sebenarnya yang pengecut dan siapa sebenarnya orang yang bertanggung jawab membuat kabur pandangan. Seorang anak, bagaimanapun merupakan satu anugerah. Apakah yang terpental dan memutuskan keluar untuk bertanggung jawab adalah sang pengecut? Apakah yang bertahan dan tabah menerima berbagai sengat dari mulut-mulut adalah sang penanggung jawab yang jantan?
Saat ia mulai menyedot rokoknya, aku ingin sekali bertanya, ”Apa benar Indra bukan anakmu?” Karena hingga detik ini pun ia masih mengatakan Indra bukan anaknya. Aku ingin sekali memojokkannya dengan beberapa kalimat sehingga ia mengakui perbuatannya. Mengakui bahwa ia yang menghamili Sumi. Mengakui bahwa Indra adalah anaknya. Tapi pertanyaan itu kutelan dalam hati.
Ya kutelan benar pertanyaan itu, karena sebenarnya jika pertanyaan itu terlontar dan ia menjawab jujur bahwa Indra adalah anaknya, maka aku akan berkata padanya, ”Sebenarnya yang benar adalah kita tidak sedang menunggu adik lagi, tapi kaulah yang sedang menunggu keponakan baru, karena Sumi mengandung anakku. Ya, aku, pria pengecut yang ingin merasakan kedewasaan, dan ternyata dari bekas pacarmu dulu, yang juga ibu tiriku, aku merasakannya.”■

Mochammad Asrori, lahir di Surabaya, 24 Juni 1980. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Menulis berbagai genre sastra di luar aktivitas sebagai guru. Email: roristory@gmail.com

Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011





0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post