Blogroll

Monday, January 7, 2013

Do’a dan Kematian Chairil Anwar

Photobucket
 Ilustrasi oleh Andi Surya Nusa untuk SARBI

Oleh Umar Fauzi Ballah*


Membincang sosok Chairil Anwar dan puisinya berjudul Do’a, mengingatkan saya pada awal kecintaan saya pada puisi dan dunia sastra secara umum. Hal itu terjadi ketika saya duduk di kelas satu MAN Sampang. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia memperkenalkan saya dan teman sekelas pada apresiasi puisi. Yang dijadikan bahan ajar adalah puisi-puisi Chairil Anwar; Do’a, Cintaku Jauh di Pulau, dan Penerimaan. Ibu guru membahas secara mendalam dalam dua kali pertemuan. Sebuah bahasan yang juga mencakup ihwal kepenyairan Chairil hingga kematian menjemputnya.
Entah bagaimana kejadiannya, selama pelajaran itu saya seperti mengalami sebuah ekstase kematian atas diri Chairil dalam Do’anya. Selain liriknya yang dalam dan sublim, ada semacam aura yang masuk dalam diri saya untuk berkenalan lebih lanjut dengan “binatang jalang” itu. Apalagi bila saya hubungkan dengan kematiannya di usia yang masih begitu muda. Do’a dalam benakku bukan hanya perihal tafsir maujud sang penyair dengan Tuhannya, melainkan juga perihal kematian yang akhirnya menjemputnya: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.”
Chairil Anwar meninggal pada usia 26 tahun 9 bulan, yakni pada pada tanggal 28 April 1949. Usia yang relatif muda di tengah usia kepenyairannya. Sajaknya pada waktu itu memang belum berterima oleh masyarakat, sampai ia wafat. Namun seperti yang dikatakan oleh teman seangkatannya, Asrul Sani, dalam kata pembuka antologi puisi dan prosa Chairil Anwar; Derai-Derai Cemara (terbitan Horison): “…aku sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Tuhan sudah memanggil Chairil pada saat yang tepat. Ia meninggal di penghujung kepenyairannya. Ia merasa daya kepenyairannya menyurut. Sajaknya yang terakhir yang ia anggap berhasil dan yang sering ia bacakan sambil berjalan adalah Derai-Derai Cemara. Ia berkata: Hidup hanya menunda kekalahn/ Tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ Sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Dalam puisi Do’a, kematian menemukan perwujudannya yang nyata. Bagi saya, Do’a bukan hanya soal tafsir kondisi sublim orang dalam berdoa, melainkan juga penggambaran bagaimana kematian menjemput.
Pada bait pertama dia menyatakan bahwa dalam (ke)termangu(an) (Chairil mengindap penyakit paru-paru yang menggerogoti tubuhnya) ia masih bisa menyebut nama Tuhannya: Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namaMu. Kemudian dipertegas dengan pada bait kedua dan ketiga: Biar susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh// CayaMu panas suci/ Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi, yang menggambarkan suasana hati aku lirik merasa getaran keilahian yang benar-benar telah mendekat kepadanya.
Pada bait keempat sampai ketujuh Chairil hendak menggambarkan suasana yang disebut dengan saat-saat sakaratul maut. Larik Tuhanku pada bait keempat dan keenam yang hanya terdiri atas satu baris itu saja, menggambarkan kondisi itu. Sebuah kondisi terputus-putusnya nafas. Dia pun menggambarkan betapa raga yang ia miliki kini hanya benda yang sudah tak bernyawa: aku hilang bentuk/ remuk,” karena ruh yang tinggal di dalam raganya telah pindah ke alam lain: aku mengembara di negeri asing. Akhirnya dia menghadap ke hadirat Ilahi Robbi. Di sini diksi Tuhan tidak lagi berdiri sendiri, seperti pada bait keempat dan keenam, tetapi menjadi pembuka bait terakhir, sebagaimana bait pertama. Inilah kondisi penyatuan dan kedekatan aku lirik dengan Tuhannya, dalam panorama kematian: Tuhanku/ Di pintuMu aku mengetuk/ Aku tak bisa berpaling.
Memang, puisi itu dibuat pada awal kepenyairannya tahun 1943. Akan tetapi tafsir kematian dalam puisi itu akan mengena jika ditarik secara umum bahwa tema puisi Chairil begitu dominan dengan kematian. Mungkin ini sebuah firasat yang ingin disampaikan oleh Chairil dalam bentuk puisi. Hal ini diperkuat juga oleh apresiasi putrinya, Evawani Alissa Ch. Anwar, sebagaimana terkutip dalam kumpulan puisi Derai-Derai Cemara: “kalau saya ditanya mana puisi Chairil yang paling berkesan paling dalam bagi saya, maka yang pertama harus disebut adalah Cintaku Jauh di Pulau; Perahu melancar, bulan memancar/ Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar/ Angin membantu, laut terang, tapi terasa/ aku tidak ‘kan sampai padanya… puisi kedua adalah Selamat Tinggal; Ini muka penuh luka/ Siapa punya?/ Kudengar seru menderu/ dalam hatiku?/ apa hanya angin lalu? Saya merasa seakan-akan kata selamat tinggal itu semacam isyarat yang ditujukan Chairil kepada mama dan saya..”
Evawani yang mengetahui bahwa Chairil adalah ayahnya pada kelas 3 Sekolah Rakyat itu, juga mengisahkan tentang cita-cita Chairil mengenai “masa depannya”: “pada suatu ketika, Chairil berkata kepada mama, mengenai cita-citanya; ‘gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,’ katanya. (Panggilan sayang mama adalah gajah, karena badannya memang gemuk). ‘Ah, kalau umurmu panjang kamu bakal masuk penjara’ gurau mama. Kemudian Chairil menyambung lagi. ‘Tapi kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga’ demikian katanya.”
Secara bervariasi banyak ditemukan tema kematian maupun kegelisahan dalam sajak-sajak Chairil. Inilah sastra kamar, yaitu penyair akan mendapatkan kekhusukan dan kepenuhan maknanya tatkala ia sadar bahwa ia tengah sepenuhnya sendiri. Kesadaran akan hadirnya orang lain dalam situasi ini justru mengganggu kekhusukan tersebut. Sementara kesadaran akan kesendirian menjadi sangat penting dalam momen di mana seseorang tengah membuka perkara-perkara individualnya dalam sebuah perjalanan ke dalam diri untuk menafakkuri keberadaannya sebagai individu. Inilah eksistensialisme Chairil.
Perasaan cemas akan kematian banyak disinggung dalam sajak-sajaknya: Mengapa ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! (dalam, Cintaku Jauh di Pulau, 1946). Atau sebuah ironi: Dan aku tidak peduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi (Aku, 1943). Atau sebuah firasat yang begitu mengena akan masa depan kematiannya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga/ deru angin. Chairil akhirnya dikebumikan di pemakaman Karet, seperti yang ia katakan dalam puisi tahun 1949, Yang Terempas dan Yang Putus tersebut.

***
Chairil adalah sosok fenomenal yang menjadi perantara bagi saya pada sebuah dunia kompleks kepenyairan. Dunia orang-orang yang senantiasa memaknai manusia, alam, maupun eksistensi dirinya secara bijaksana dalam rangka mencari sebuah kebenaran. Melalui Chairil, kekuasaan Tuhan berlaku bagi saya untuk (dengan tiba-tiba) mencintai dunia kesusastraan secara luas. Berbagi suka dan duka dengan sebuah medium seni. Memperkenalkan saya pada jiwa-jiwa yang dipenuhi dengan ilham untuk mengatakan bahwa saya adalah bagian dari dunia dahulu, sekarang, dan yang akan datang.
Chairil, kemudian saya ketahui, adalah peletak dasar lahirnya kesusastraan Indonesia modern yang secara radikal melahirkan pola ungkap berbeda dalam tradisi Melayu yang masih eksis pada saat itu. Apa yang dikatakannya kini benar-benar terwujud. Hari kematiannya diwarnai berbagai macam acara kesusastraan, seperti pembacaaan puisi-puisi Chairil, sayembara penulisan esai dan sebagainya yang menjadi kultus sendiri di bulan April. Nama Chairil juga dijadikan sebagai nama penganugrahan sastra yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta; Anugerah Sastra Chairil Anwar yang kali pertama diberikan kepada Mochtar Lubis pada tahun 1992 dan kepada Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1998.

Umar Fauzi Ballah, penyair dan esais kelahiran Sampang. Aktif pada berbagai kegiatan seni dan budaya.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post