Foto karya Agustinus Adi Budojo untuk SARBI
Backspace
Kau
mengundurkan kebenaran di dinding keraguan. Ini sebuah ketololan tak tertolong.
Sekurang-kurangnya kau harus punya hitungan yang eksak demi tak sesaknya ruang
pertanyaan nurani. Mimpi dan sekali lagi hanya mimpi kau sodorkan sebagai
asumsi bahwa di sebelah kanan bilik jiwa adalah surga. Dan kita memang harus
mencondongkan diri ke kanan meski tak ada penahan yang pualam bagi neraka kelam
yang mudah saja runtuh sekat pintunya. Tapi, yah tapi sayang, iring-iringan
abjad dosa tak hirau penawaran ampun di cakrawala doa. Tak pernah lapang jalan
tuk kembali menghapus kebencian yang subur berbunga di kalbu kelabu.
Hanya jika memang harus kau undurkan kebenaran karena keraguan yang akan
berganti kepastian, maka aku akan ikut dalam ketelodoran peran ini. Bersama-sama
; akan kita tunda kemenangan bagi cinta yang ikhlas melepas kebahagiaan tuk pergi
berlari bersama perpisahan.
Gorontalo,05082010
Dua Dunia Lelaki A
I
Pada
kenyataannya adalah airmata yang kehilangan mataair. Dia tak pernah benarbenar
endapkan lara di kutub hati beku. Kelabu awan di bentang langit senja
dipandangnya dalam diam yang cekam. Barangkali geram yang dieraminya tuk sebuah
penolakan atas hakikinya sebagai seorang manusia. Dalam pemberhentiannya di
tenggara yang asing, tertenggarai sebuah kisah tentang dendam pada waktu yang
telah menelurkan asaasa tanpa sekalipun jua beritahukan bahwa esok menjemput
tuk binasa.
Dia,
lelaki A ; berhenti di tenggara, tuk memelihara dunianya yang anti huruhara.
Anti segala darah. Dia hanya ingin berserah.
II
Pada
sebuah ilusi yang berhasil gelapkan aura, gelora meronta mencari sebuah
pelukan. Pelukan yang suburkan dosa. Leburkan rasa dalam keinginan tak
terkendali. Dirinya, harus luruh dan tunduk pada hikayat malam yang menjerat
segala nafsu. Tak ada arah yang menyembunyikan jejaknya. Tiada sedesir angin
terbangkan rindunya. Tiada sejenak dia mampu meragu ; jika pilihan harus
kembali adalah serupa lagu surga terbaik. Dia justru terbalik di sana. Jatuh dan
tersungkur di haribaan malam yang kelam oleh pekat dosa.
Dia,
lelaki A, menjemput malam, tuk memasuki dunianya yang menusuk bening jiwa.
Merenggut semua hening mimpi. Dia disambut oleh kalah. Pun lelah tak terkira.
Gorontalo, 06122010.
Pas Midnite.
Melankolia
Sekubik Pasir Kali
Dari kedalaman kali, aku
dihadirkan. Digali, diangkut dan diantar menuju alamatmu. Takaranku urung
berakar di dasar pikirmu. Hanya sebuah bangunan yang harus gegas berbentuk.
Aku
sangsi, apa kau pernah luangkan waktu tuk sebuah renungan akanku. Renungan
sederhana tentang dengung celoteh harap para penambang yang pincang asa
terpancang kemelaratan. Ganasnya kehidupan memperalat mereka sedemikian rupa.
Mereka dibuat lupa hakikat sebuah keseimbangan alam. Yang mereka ingat dan terus
dayakan hanyalah timbangan beratku.
Dan
aku hadir sebagai sekubik pasir kali. Berfungsi menambal lubanglubang mimpi.
Memperindah sudutsudut kebutuhan papanmu. Aku bisa lembut, halus dan kasar. Itu
tergantung dari seberapa siaga kau menyambutku.
Musim
berganti, penanggalan menua dan zaman tak lagi purba. Perubahan terjadi. Kali
yang jadi rumahku menjadi secuil kenangan. Menengoklah kau ke sana. Susuri
tepiannya. Kedalaman yang kering. Hening pedih menganga di sana. Dan mereka;
sang penambang, tak lagi sanggup menghadirkanku. Yang terjadi, di hari yang
kian pesat berlari mereka hanya mampu menambang airmata mereka sendiri.
Airmata yang asin oleh penyesalan. Demikian jugakah kau ?
Duh,
aku tetap sangsi!
Gorontalo, 3122010.
Arther Panther Olii, lahir 07 Agustus di Manado,
sekarang tinggal di Gorontalo. Puisinya Termuat dalam kumpulan Tarian
Ilalang (Penerbit Kutu Buku Sampurna, 2010).
Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment