Blogroll

Monday, December 30, 2013

Cerpen Puitis dan Pembaca(an)nya

 photo ArtistDamienHirstborn1965TitleMotherandChildDividedDateexhibitioncopy2007original1993MediumGlassstainlesssteelPerspexacrylic_zps6accf9fe.jpg
Artist: Damien Hirst (born 1965)| Title: Mother and Child (Divided)  
Date exhibition copy: 2007 (original 1993) | Medium: Glass, stainless steel, Perspex, acrylic paint, cow, calf and formaldehyde solut


Oleh Umar Fauzi Ballah

            “Pada dasarnya, Mardi Luhung adalah penyair, dan karena itu, cerpen-cerpennya pun tidak lepas dari ciri-ciri puisi, yaitu, suasana lebih penting daripada alur dan tokoh serta penokohan” (Budi Darma)
            Kutipan Budi Darma tersebut tertera sebagai endorsment kumpulan cerpen tunggal perdana karya Mardi Luhung berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (Komodo Books, 2011). Saya kutip pernyataan tersebut sebagai acuan dasar untuk ‘menengahi keributan” di grup Facebook, “Sastra Minggu” mengenai cerpen “Gizli” karya Sule Sumbaweh (Kompas, 22 Desember 2013). “Keributan” itu “dipromotori” seorang cerpenis Bamby Cahyadi. Saya merasa perlu menghadirkan catatan ini mengingat, setidaknya dua hal, (1) memaknai fiksi puitis dan (2) kondisi kritik sastra kita di era sosial media.
/1/
Fiksi puitis adalah istilah yang saya kemukakan untuk merujuk pada kehadiran prosa fiksi yang mengetengahkan unsur gaya bahasa di atas unsur yang lain. Dalam khasanah sastra Indonesia, itu bukanlah hal baru. Kita bisa membaca Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG atau Sareyang-nya M. Faizi. Keduanya mewakili genre prosa liris. Pada tataran lain, kita temui pada Cala Ibi-nya Nukila Amal. Djenar Maesa Ayu, selain rajin mengekplorasi unsur sudut pandang, juga begitu gandrung pada bahasa yang puitis pada beberapa cerpennya. Dengan menyebut nama lain, tentu saja adalah Mardi Luhung, Seno Gumira Ajidarma, dan beberapa yang lain. Begitulah ketika kita berhadapan dengan “Gizli”. Bahkan, cerpen tersebut mengingatkan saya pada cerpen “Pemetik Air Mata” karya Seno.
Sule dan beberapa pengarang yang lain mengambil ranah eksplorasi bahasa di sana. Pengarang menjadikan gaya bahasa sebagai unsur dominan selain unsur intrinsik seperti penokohan, latar, sudut pandang, tema, dan amanat. Ini bukan berarti unsur yang lain tidak dihadirkan yang kemudian dikatakan sebagai cerpen yang tidak berhasil. Karena itu, pembaca harus memahami bahwa gaya bahasa menjadi pusat perspektif fiksinya. Fiksi demikian menghadirkan sisi kenikmatan berbahasa, meliputi bahasa yang imajis ataupun bahasa yang ritmis. Pun ada sebuah pembacaan yang keliru ketika fiksi mengambil ranah gaya bahasa ia tergolongkan sebagai fiksi surealis.
            Pengelompokan itu penting dihadirkan untuk bisa membaca secara objetif sebuah fiksi dalam kerangka kritik sastra yang sehat. Karena ini fiksi, cerita rekaan, mau tidak mau unsur pembangun utamanya: alur serta tokoh dan penokohan, harus dikaji pula sebagai sebuah kesemestaan harmonis meskipun pengarang memusatkannya pada gaya bahasa.
Mari kita membahas “Gizli.” Cerpen ini menghadirkan dua orang tokoh yakni, tokoh “perempuan” dan tokoh “dia” atau oleh narator dikatakan “orang itu.” Perlahan dia duduk di samping perempuan itu dengan nafas terengah-engah. Perempuan adalah tokoh yang dirudung kesepian dalam penantian sia-sia menunggu kekasihnya yang dihempas badai. Ia dihibur oleh kedatangan tokoh “orang itu.” Orang itu datang bersama cahaya yang bertengger di atas ubun kepalanya. Ini adalah simbol yang sudah umum diketahui, yakni malaikat atau orang yang sudah meninggal.
Secara umum, cerpen ini hendak melukiskan oposisi biner kehidupan, kebahagiaan dan kesedihan; kerinduan dan penantian. Dengan mengambil latar malam, pengarang hendak memperjelas suasana kemurungan dalam cerpen ini. Dari situ, pengarang mengambil ornamen bulan dan bintang sebagai metafor yang menjadi kesatuan dengan air mata perempuan. Sebuah kombinasi pas untuk sebuah cerpen roman picisan. Aku adalah kebahagiaan pemuja keramaian seperti pecahan bintang-bintang yang menjelma rembulan. Aku memunguti kesedihan dan kesunyian yang tercecer dikegelapan.
“Gizli”, judul cerpen ini, adalah bahasa Turki yang artinya tersembunyi. Yang tersembunyi adalah kenangan yang melahirkan air mata, kerinduan, dan kebahagiaan yang mesti dicari. Dalam cerpen ini, diceritakan bagaimana perempuan menari berputar ala sufi. Ini adalah ramuan ekstinsik di mana kita bisa teringat pada Rumi. Bahkan, secara bahasa, ingatan lain muncul sebagai intertekstualitas pada karya-karya Kahlil Gibran pun bahasa-bahasa romantis sastra Arab.
/2/     
Kondisi kritik sastra Indonesia saat ini adalah kondisi di mana batas kritik yang secara leksikal berarti penilaian mulai menjauh dari hakikatnya. Maka, timbullah sebuah fenomena gosip kesusastraan Indonesia mutakhir. Istilah ini merujuk pada perbincangan di sosial media yang mulai ditasbihkan sebagai kritik. Itulah yang terjadi pada perdebatan di grup Facebook “Sastra Minggu” pekan ini. Sebuah grup yang menjadi laboratorium maya kesusastraan media cetak Indonesia.
            Sosial media adalah risiko bagi kondisi posmodernisme sastra Indonesia. Buah pikiran yang di sosial media—Facebook—disebut komentar adalah kualitas intelektual dan kritik sastra saat ini. Sosial media telah meleburkan yang ahli dengan yang seolah ahli. Kondisi ini saya bayangan mirip komentar di warung kopi ketika menyaksikan sepak bola yang berjibun dengan komentar sebagai ahli yang diundang sebagai jubir pertandigan. Akhirnya, yang tejadi adalah yang tidak ahli menjadi seolah-olah ahli. Pembicaraan pun merembet pada persoalan yang tidak esensial sebagai kriteria kritik.
            Sosial media pada hakikatnya adalah sama seperti media yang lain. Saya tidak hendak menafikan bahwa kritik tidak bisa disampaikan melalui media tersebut. Namun, yang terkesan naif adalah apa yang mereka sampaikan adalah gosip, caci maki, dan puja-puji (istilah Goenawan Mohammad yang dikutip Bamby Cahyadi). Mengapa demikian? karena komentar—dalam FB—bukanlan entitas yang utuh sebagai karya tulis. Mereka merasa nyaman menyampaikan ide dalam kondisi seperti itu. Padahal, di FB misalnya, ada kolom “cacatan” atau dalam Twitter bisa disajikan dalam kultwit.
            Dengan demikian, mungkin kita bisa memaklumi mengapa beberapa sastrawan kita gelisah terhadap kondisi minimnya kritik sastra Indonesia, alih-alih sebuah kritik yang bermutu. Sosial media sedianya adalah ruang alternatif untuk menyampaikan gagasan. Ini adalah perayaan dokumentasi yang meriah. Bukankah tidak sedikit beberapa buku muncul dari gagasan-gagasan yang awalnya dituangkan di media sosial? Maka, persoalan berikutnya adalah bagaimana gagasan itu lahir dengan selamat dan nikmat untuk sebuah tulisan yang layak tamat.

Twitter @uf_ballah.


0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post