Artist: Damien Hirst (born 1965)| Title: Mother and Child (Divided)
Date exhibition copy: 2007 (original 1993) | Medium: Glass, stainless steel, Perspex, acrylic paint, cow, calf and formaldehyde solut
Oleh Umar Fauzi Ballah
“Pada
dasarnya, Mardi Luhung adalah penyair, dan karena itu, cerpen-cerpennya pun
tidak lepas dari ciri-ciri puisi, yaitu, suasana lebih penting daripada alur
dan tokoh serta penokohan” (Budi Darma)
Kutipan
Budi Darma tersebut tertera sebagai endorsment
kumpulan cerpen tunggal perdana karya Mardi Luhung berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku
(Komodo Books, 2011). Saya kutip pernyataan tersebut sebagai acuan dasar untuk
‘menengahi keributan” di grup Facebook, “Sastra Minggu” mengenai cerpen “Gizli”
karya Sule Sumbaweh (Kompas, 22
Desember 2013). “Keributan” itu “dipromotori” seorang cerpenis Bamby Cahyadi.
Saya merasa perlu menghadirkan catatan ini mengingat, setidaknya dua hal, (1)
memaknai fiksi puitis dan (2) kondisi kritik sastra kita di era sosial media.
/1/
Fiksi puitis adalah
istilah yang saya kemukakan untuk merujuk pada kehadiran prosa fiksi yang
mengetengahkan unsur gaya bahasa di atas unsur yang lain. Dalam khasanah sastra
Indonesia, itu bukanlah hal baru. Kita bisa membaca Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG atau Sareyang-nya M. Faizi. Keduanya mewakili genre prosa liris. Pada
tataran lain, kita temui pada Cala Ibi-nya
Nukila Amal. Djenar Maesa Ayu, selain rajin mengekplorasi unsur sudut pandang,
juga begitu gandrung pada bahasa yang puitis pada beberapa cerpennya. Dengan
menyebut nama lain, tentu saja adalah Mardi Luhung, Seno Gumira Ajidarma, dan
beberapa yang lain. Begitulah ketika kita berhadapan dengan “Gizli”. Bahkan,
cerpen tersebut mengingatkan saya pada cerpen “Pemetik Air Mata” karya Seno.
Sule dan beberapa
pengarang yang lain mengambil ranah eksplorasi bahasa di sana. Pengarang
menjadikan gaya bahasa sebagai unsur dominan selain unsur intrinsik seperti
penokohan, latar, sudut pandang, tema, dan amanat. Ini bukan berarti unsur yang
lain tidak dihadirkan yang kemudian dikatakan sebagai cerpen yang tidak
berhasil. Karena itu, pembaca harus memahami bahwa gaya bahasa menjadi pusat
perspektif fiksinya. Fiksi demikian menghadirkan sisi kenikmatan berbahasa,
meliputi bahasa yang imajis ataupun bahasa yang ritmis. Pun ada sebuah
pembacaan yang keliru ketika fiksi mengambil ranah gaya bahasa ia tergolongkan
sebagai fiksi surealis.
Pengelompokan
itu penting dihadirkan untuk bisa membaca secara objetif sebuah fiksi dalam
kerangka kritik sastra yang sehat. Karena ini fiksi, cerita rekaan, mau tidak
mau unsur pembangun utamanya: alur serta tokoh dan penokohan, harus dikaji pula
sebagai sebuah kesemestaan harmonis meskipun pengarang memusatkannya pada gaya
bahasa.
Mari kita membahas
“Gizli.” Cerpen ini menghadirkan dua orang tokoh yakni, tokoh “perempuan” dan
tokoh “dia” atau oleh narator dikatakan “orang itu.” Perlahan dia duduk di samping perempuan itu dengan nafas
terengah-engah. Perempuan adalah tokoh yang dirudung kesepian dalam
penantian sia-sia menunggu kekasihnya yang dihempas badai. Ia dihibur oleh
kedatangan tokoh “orang itu.” Orang itu datang bersama cahaya yang
bertengger di atas ubun kepalanya. Ini adalah simbol yang sudah umum
diketahui, yakni malaikat atau orang yang sudah meninggal.
Secara umum, cerpen ini
hendak melukiskan oposisi biner kehidupan, kebahagiaan dan kesedihan; kerinduan
dan penantian. Dengan mengambil latar malam, pengarang hendak memperjelas
suasana kemurungan dalam cerpen ini. Dari situ, pengarang mengambil ornamen
bulan dan bintang sebagai metafor yang menjadi kesatuan dengan air mata
perempuan. Sebuah kombinasi pas untuk
sebuah cerpen roman picisan. Aku adalah
kebahagiaan pemuja keramaian seperti pecahan bintang-bintang yang menjelma
rembulan. Aku memunguti kesedihan dan kesunyian yang tercecer dikegelapan.
“Gizli”, judul cerpen
ini, adalah bahasa Turki yang artinya tersembunyi. Yang tersembunyi adalah
kenangan yang melahirkan air mata, kerinduan, dan kebahagiaan yang mesti
dicari. Dalam cerpen ini, diceritakan bagaimana perempuan menari berputar ala
sufi. Ini adalah ramuan ekstinsik di mana kita bisa teringat pada Rumi. Bahkan,
secara bahasa, ingatan lain muncul sebagai intertekstualitas pada karya-karya
Kahlil Gibran pun bahasa-bahasa romantis sastra Arab.
/2/
Kondisi kritik sastra
Indonesia saat ini adalah kondisi di mana batas kritik yang secara leksikal
berarti penilaian mulai menjauh dari hakikatnya. Maka, timbullah sebuah
fenomena gosip kesusastraan Indonesia mutakhir. Istilah ini merujuk pada
perbincangan di sosial media yang mulai ditasbihkan sebagai kritik. Itulah yang
terjadi pada perdebatan di grup Facebook “Sastra Minggu” pekan ini. Sebuah grup
yang menjadi laboratorium maya kesusastraan media cetak Indonesia.
Sosial
media adalah risiko bagi kondisi posmodernisme sastra Indonesia. Buah pikiran
yang di sosial media—Facebook—disebut komentar adalah kualitas intelektual dan
kritik sastra saat ini. Sosial media telah meleburkan yang ahli dengan yang
seolah ahli. Kondisi ini saya bayangan mirip komentar di warung kopi ketika
menyaksikan sepak bola yang berjibun dengan komentar sebagai ahli yang diundang
sebagai jubir pertandigan. Akhirnya, yang tejadi adalah yang tidak ahli menjadi
seolah-olah ahli. Pembicaraan pun merembet pada persoalan yang tidak esensial
sebagai kriteria kritik.
Sosial
media pada hakikatnya adalah sama seperti media yang lain. Saya tidak hendak
menafikan bahwa kritik tidak bisa disampaikan melalui media tersebut. Namun,
yang terkesan naif adalah apa yang mereka sampaikan adalah gosip, caci maki,
dan puja-puji (istilah Goenawan Mohammad yang dikutip Bamby Cahyadi). Mengapa
demikian? karena komentar—dalam FB—bukanlan entitas yang utuh sebagai karya
tulis. Mereka merasa nyaman menyampaikan ide dalam kondisi seperti itu. Padahal,
di FB misalnya, ada kolom “cacatan” atau dalam Twitter bisa disajikan dalam
kultwit.
Dengan
demikian, mungkin kita bisa memaklumi mengapa beberapa sastrawan kita gelisah
terhadap kondisi minimnya kritik sastra Indonesia, alih-alih sebuah kritik yang
bermutu. Sosial media sedianya adalah ruang alternatif untuk menyampaikan
gagasan. Ini adalah perayaan dokumentasi yang meriah. Bukankah tidak sedikit
beberapa buku muncul dari gagasan-gagasan yang awalnya dituangkan di media
sosial? Maka, persoalan berikutnya adalah bagaimana gagasan itu lahir dengan
selamat dan nikmat untuk sebuah tulisan yang layak tamat.
Twitter @uf_ballah.
0 comments:
Post a Comment