Contemporary Vibrant Horse Painting - Acrylic On Canvas oleh Svetlana Novikova
Oleh Sunlie Thomas Alexander
“INI makam
seekor kuda,” kuingat jawaban ibuku ketika aku pertama kali menanyakan perihal
makam yang terletak di tengah-tengah kota kecamatan kecil kami itu—tepatnya di
samping kantor lurah yang bermuka-muka dengan rumah dinas camat. Itu kurang
lebih dua puluh lima tahun silam dan aku masih duduk di sekolah dasar.
“Kuda? Kuda siapa?” tanyaku bingung. Namun Ibu
hanya mengulum senyum saat itu.
Makam tua itu berbentuk empat persegi panjang,
berundak-undak dengan undakan bagian teratas miring ke bawah. Di permukaannya,
terukir sederet tulisan dalam bahasa Belanda yang bukan saja tak banyak lagi
orang di kota kecil kami paham, tetapi juga sudah nyaris tak terbaca. Toh,
masih tampak sebuah nama: HELENA. Jadi aku pikir kuda itu memang seekor betina
seperti dikatakan orang-orang tua. Samar-samar tereja sederet tanggal:
Geb 21-9-1927 – Overl 3-7-1933.
“Ya, ini memang kuburan kuda,” tukas Brenda
dalam bahasa Inggris usai mengamati tulisan di atas makam itu beberapa lama.
Lalu tanpa kuminta ia mengartikan kalimat yang tertera di bawah nama: “Telah
beristirahat dalam damai, kuda kesayangan kami….”
Asap dupa-dupa merah yang tertancap di bagian
kaki makam, mengepul pekat, menebarkan aroma gaharu yang santer. Sehingga
Brenda terpaksa menutup hidungnya dengan sapu tangan lantaran tak tahan pada
wangi dupa yang tajam menyengat itu. Sudah tiga kali ia bersin sejak kami tiba
setengah jam yang lalu.
Tiga buah apel, kue apem, dan sejumput rumput
dalam tiga piring kecil—juga satu sloki arak—tersaji di depan batang-batang
dupa menyala. Brenda mengabadikan semuanya dengan tustel yang ia bawa.
Ketakjuban terpancar jelas dari kedua mata birunya yang berbinar-binar.
Seorang perempuan Tionghoa berumur separoh baya
kemudian datang tergesa-gesa. Dari keranjang bawaannya yang penuh sayur-mayur,
tampaknya dia baru pulang dari pasar. Dikeluarkannya sebungkus dupa dari
keranjang, mengangguk saat melihat kami, lalu mencabut tiga batang dupa dari
bungkusan. Disulutnya batang dupa dengan korek api, lantas berdiri di depan
makam dan mengangkat dupa dengan sikap takzim. Tiga kali dia menjura sebelum
akhirnya menancapkan dupa ke kaki makam.
Aku jadi teringat lagi pada Ibu. Ingat bagaimana
dulu beliau terkadang mengajakku mengunjungi makam ini membawa dupa, sesekali
buah-buahan. Meski kini, setelah mengidap rematik yang membuat jalannya
tertatih-tatih, tak pernah lagi beliau datang bersembahyang. Maklum, umurnya
sudah 65 tahun. Bahkan, beliau tak pernah lagi pergi ke pasar tiga tahun
belakangan. Untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk belanja dan masak-memasak,
Bibi Cin, adiknya nomor empatlah yang menangani.
“Ibumu marah,” kata bibiku yang tidak menikah
itu tak lama setelah aku dan Brenda tiba di rumah. Kami sedang minum kopi di
teras belakang ketika ia muncul sambil menenteng kantong kresek yang ternyata
isinya kue jajanan pasar. Dituangkannya kue-kue itu ke atas piring dan
menaruhnya di atas meja di hadapan kami.
“Marah kenapa, Ji Cai?” [1]
Bibi tidak menjawab, tapi ekor matanya melirik
Brenda dengan segan. Aku menghela nafas, membiarkannya masuk kembali ke dapur
tanpa merasa perlu menuntut jawaban. Rasanya aku sangat mengerti. Dan ternyata
apa yang aku duga benar: Ibu tak suka aku berhubungan dengan Brenda, apalagi
membawanya pulang.
“Aku masih lebih senang kau menikah dengan orang
Melayu, daripada aku harus punya mantu gadis Holland yang suka
telanjang itu!” kata Ibu ketus malam harinya ketika Brenda sedang beristirahat
di kamar atas.
“Brenda bukan Belanda, dia orang Belgia,” aku
coba menjelaskan meskipun tahu sia-sia belaka. Di mata Ibu—orang lama yang
nyaris buta huruf—semua orang Barat sama saja. Mau orang Amerika, Perancis,
Australia, bahkan Hispanik bakal tetap disebutnya Holland. Ai, aku
jadi terkenang pada orang Jawa yang suka menyebut semua orang bule sebagai Londo.
Tentu aku tak perlu menjelaskan padanya letak negara Belgia yang bertetangga
dengan Belanda, atau negeri itu dulunya bagian dari Belanda sebelum memisahkan
diri. Keadaan bisa tambah runyam.
“Kalau kakekmu masih hidup, dia pasti ngamuk!”
tukas Ibu yang tak mau memandang wajahku. Bahkan sebelum beranjak ke kamar,
beliau sempat memperingatiku: “Pokoknya aku tak mau dia berada dekat-dekat di
altar kakekmu.”
Aku terhenyak di sofa. Lelah. Bayangan wajah
mendiang Kakek berkelebat di mataku, juga cerita-cerita yang sering
dituturkannya semasa hidup. Kakek meninggal saat aku duduk di bangku kelas tiga
SMA. Dalam usia yang relatif tua: 92 tahun. Namun aku tidaklah sependapat
dengan Ibu. Kurasa jika beliau masih hidup, Kakek akan menghargai pilihanku.
Almarhum Kakek—seperti halnya mendiang ayahku,
putra keduanya yang tamatan Chung Hwa Hok Tong [2]—cukup berpendidikan. Walau
tak pernah memiliki ijazah, Kakek fasih menulis hanji dan latin. Kurasa beliau
juga bisa sedikit bahasa Belanda. Terbukti dari berkardus-kardus buku
peninggalannya yang berbahasa China, beberapa di antaranya berbahasa Belanda.
***
KUDA betina
yang dikuburkan di samping kantor kelurahan itu konon kuda kesayangan seorang
Wedana Belanda. Van Sevenhoven namanya. Mendiang Kakek pernah mengambarkan
sosoknya sebagai lelaki bertubuh jangkung sebagaimana umumnya orang Barat, tapi
tidak kurus. Kedua matanya tajam dan berkilat-kilat licik, hidungnya yang
mancung bengkok seperti paruh burung betet, keningnya lebar menonjol dan
dagunya lancip, dengan rambut pirang berminyak yang tersisir rapi ke atas.
“Wedana itu membenci orang Tionghoa,” kuingat
kata-kata mendiang Kakek. Sehingga ada saja peraturan yang sengaja dibuatnya
untuk mempersulit orang Tionghoa. Toko-toko kerap tak cukup punya surat izin
usaha tapi harus ada tambahan surat berstempel dari dirinya. Dan jangan harap
bisa mengadakan keramaian bila dia tak memberi restu. Kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan adat-tradisi Tionghoa pada hari-hari besar dibatasi, termasuk
kegiatan kelenteng dalam skala agak besar.
“Ini karena Pemerintah kita waktu itu terlalu
lemah untuk melindungi rakyatnya. Jangankan kita yang jauh berada di seberang
lautan ini, rakyat di Thai Luk [3] saja tak mampu mereka
lindungi. Kelaparan meluas, perang saudara tak kunjung berhenti, bandit
berkeliaran di mana-mana. Manchuria sudah diduduki Jepang, Shanghai seenaknya
dikangkangi orang Barat. Bayangkan di sana, di negeri kita sendiri, setan-setan
putih itu berani menulis papan pengumuman berbunyi ‘orang China dan anjing
dilarang masuk’ di daerah yang mereka kuasai! Dan Pemerintah Republik China tak
berbuat apa-apa!” ujar Kakek mengertakkan geraham.
“Kadang peraturan wedana sinting itu tak masuk
akal, misalnya saatKo Ngian [4] kita tak boleh bermain petasan
malam hari,” menyambung Sam Suk Kong, adik laki-laki Kakek nomor tiga yang waktu
itu sering bertandang ke rumah kami untuk makan malam, “Padahal nenek-moyang
kita sudah melakukannya sebelum orang Belanda bisa bikin meriam!”
“Dia hanya bersikap agak baik pada penjual
daging babi!” lanjut Kakek tergelak, “Tiga kali sehari dia pasti mengajak
istrinya ke pasar babi. Dia paling suka babi panggang bikinan A Tet!
Hahahaha….”
Begitulah pertama kali aku mendengar cerita
tentang Van Sevenhoven—entah benarkah demikian namanya. Karena hingga saat ini
aku belum berhasil mendapatkan satu pun catatan mengenai sosok wedana yang
berkuasa kira-kira tahun 1925-1930-an itu. Maklum, kota kami hanyalah sebuah
kewedanaan kecil kendati cukup kesohor sebagai kota penambangan timah. Dan
Indonesia, kau tahu, selalu saja tak punya arsip yang utuh. Selain itu Kakek
juga kehilangan banyak surat pentingnya tatkala terjadi kebakaran di tahun
1982. Jadi, jika aku ke Eropa bersama Brenda nanti, aku berjanji akan
menelusuri jejaknya ke Belanda, mungkin ke perpustakaan Institut Kerajaan,
Bahasa, Geografi dan Etnologi di Leiden.
Sam Suk Kong ikut tertawa, tapi kemudian
terdiam. Sambil menyulut lagi sebatang kretek, adik kakekku yang pernah
berdagang kain keliling Sumatera itu lantas berkisah bagaimana ia pernah
ditangkap oleh opsir dan dimasukkan ke tahanan tangsi Belanda karena menggelar
Judi Kodok-kodok pada malam Sam Sip Pu [5]. A Tet, penjual
daging babi langganan sang wedana-lah yang menebusnya. Tak pernah jelas alasan
Sam Suk Kung ditangkap, padahal di masa itu sudah jadi kelaziman jika pada
hari-hari besar selain pasar malam, akan digelar aneka permainan judi.
“Ulangtahun Ratu Belanda saja boleh berjudi!”
tukas Sam Suk Kong gusar mengingat pengalaman masa mudanya itu. Tapi wajahnya
kemudian berangsur cerah dan ia terbahak-bahak saat Kakek menyinggung bagaimana
istri sang wedana gemar mengoleskan minyak babi ke kulit lengannya yang kasar.
“Buah dada perempuan itu juga besar tapi kendor kayak payudara
induk babi! Hahaha….” Kedua kakak-beradik itu tertawa sampai mata mereka yang
sipit tinggal segaris. Ibu—yang menyimak semua pembicaraan dari kamarnya yang
berbatasan langsung dengan ruang keluarga merasa obrolan kedua orang tua itu
sudah menjurus ke hal-hal yang tak boleh didengar anak kecil—tiba-tiba keluar
dan memintaku pergi tidur. Apalagi Kakek sudah mulai mengeluarkan arak-arak
simpanannya. Biasanya mereka akan ngobrol sambil minum sampai dini hari.
***
BAGAIMANA makam
kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci bisa disembahyangi orang-orang
Tionghoa di kota kecamatan ini tentu ada ceritanya. Namun itu akan aku kisahkan
nanti. Sebelumnya aku ingin menceritakan dulu bagaimana aku bertemu lagi dengan
mendiang kakekku empat malam yang lalu.
Hantu Kakek mendatangiku pada malam ketiga aku
berada di rumah ketika aku baru saja hendak terlelap. Mula-mula aku mencium
aroma arak yang tajam di sekeliling tempat tidurku. Tapi karena badanku terlalu
penat dan mataku sudah demikian berat, aku tak menghiraukan aroma yang kian
santer itu. Sampai kemudian aku merasa seseorang mengguncang-guncang sebelah
bahuku dengan keras. Aku terlonjak bangun dan menemukan ruh Kakek sudah duduk
di kursi samping tempat tidurku.
Aku memang tak terlalu kaget lagi dengan
kehadiran Kakek. Lantaran sebelumnya sudah pernah dua kali beliau
mengunjungiku. Bahkan terakhir kali, sekitar dua tahun lalu, dia mengunjungiku
di sebuah kamar hotel di Makassar saat aku sedang ada urusan kerja di kota itu.
Waktu itu beliau datang untuk mengabari kalau ayahku sudah meninggal, sebelum
setengah jam kemudian aku menerima telepon dari rumah. Kata orang, “Mereka yang
telah mati tak bisa menyeberangi lautan,” tampaknya tak berlaku bagi arwah
Kakek. Seperti kunjungannya yang lalu-lalu, beliau masih mengenakan stelan
pakaian China model Pemimpin Mao berwarna abu-abu yang dikenakannya saat
dikuburkan.
“A Kong [6]?” sambil menguap lebar aku buru-buru
duduk di tepi ranjang, “Maaf Kong, aku belum sempat berziarah ke kuburan A
Kong. Rencananya besok aku akan ke sana.”
Kulihat arwah orang tua itu tersenyum. “Tidak
apa-apa, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ada yang ingin kutanyakan.
Ibumu memberitahuku waktu dia sembahyang,” katanya sambil menatapku
lekat-lekat. Aku menghela nafas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan
selanjutnya.
“Hubunganmu dengan gadis Barat itu serius?”
tanyanya dengan pandangan seperti menyelidiki. Aku mengangguk, “Tapi dia bukanHolland,
Brenda orang….”
“Aku tahu. Aku tak mau mencampuri urusanmu
sebenarnya. Zaman sudah berubah. Lagipula dulu juga tidak semua orang Belanda
seperti si Van Sevenhoven. Orang Melayu juga banyak yang baik. Malah banyak
orang China lebih jahat dari tentara Nippon!” kata Kakek. Aku
tersenyum lega.
“Tapi kalau kau mau dengar nasihat aku yang
sudah mati ini, sempatkanlah bawa dia ke makam kuda itu sebelum kalian pulang.
Ajak dia sembahyang. Kalau dia mau, berarti dia memang jodohmu yang tepat,”
lanjut beliau sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.
“Ajak dia sembahyang ke makam kuda?” tanganku
urung mengambil rokok yang kusimpan dibawa bantal. Kulihat arwah Kakek
mengangguk.
“Aku tak bisa lama di sini. Kalau kau berziarah
ke makamku nanti, bawakan aku kretek,” itu kata-katanya yang terakhir sebelum
pergi.
“Kong!” aku hendak menahannya lebih lama karena
banyak hal yang ingin aku tanyakan, namun ia sudah keburu menghilang. Lenyap
seperti asap. Hanya aroma araknya yang tajam tersisa di kamarku.
***
YA,
bagaimana mungkin makam kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci bisa
disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan ini? Dahi Brenda tampak
berkerut-kerut bingung. Ah, aku tak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Untuk
beberapa lama aku terdiam, mencoba mengumpulkan potongan-potongan cerita dari
mendiang Kakek dan Sam Suk Kong yang terpencar-pencar dan menyatukannya lagi.
15 bulan 8 kalender lunar tahun masehi 1932,
begitulah aku kemudian menceritakan ulang kisah yang kudengar semasa kanak itu
pada Brenda. Kau tahu, kataku, itu hari Pat Ngiat Pan, puncak perayaan
bulan dewa-dewi. Konon pada malam hari, purnama akan tampak lebih terang
dibandingkan purnama-purnama di bulan manapun. Dan jika hatimu bersih, dengan
mata telanjang sekalipun kau bisa melihat dewi bulan Song Ngo melayang-layang
di sana….
Menurut Kakek, siang menjelang sore hari itu,
ratusan orang Tionghoa yang telah berkumpul di sejumlah kelenteng berbaris
keluar dari halaman kelenteng sambil menggotong patung-patung para dewa dalam
tandu-tandu kecil. Selain Thai Pak Kung, juga patung Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan
Kong. Patung-patung suci itu seperti biasa akan diarak berkeliling kota: sebuah
tradisi tahunan yang mereka bawa dari tanah leluhur.
Tiba-tiba salah satu rombongan (di mana Kakek
ada di dalamnya) dikejutkan oleh suara letusan. Bukan mercon tapi pistol! Sang
wedana Van Sevenhoven muncul di tikungan jalan menunggang kuda putihnya bersama
dua serdadu berseragam tentara kerajaan Belanda.
“Kalian belum mendapatkan izin dariku!”
teriaknya lantang menghadang barisan sambil mengangkat tongkat di tangan
kanannya. Senapan dua serdadu terkokang ke arah rombongan. Ciu Suk Kong,
pengurus kelenteng yang jadi ketua rombongan tergopoh-gopoh menghampiri sang
wedana.
“Maaf, Tuan. Tuan Wedana masih di Palembang
waktu kami datang meminta izin keramaian. Tapi kami sudah mendapatkan izin dari
asisten Tuan,” ucap Ciu Suk Kong dengan wajah pucat.
“Aku sudah dua hari di sini, tapi kalian tak
datang lagi kepadaku! Tanpa tanda tanganku, kalian tak bisa bikin keramaian.
Bubar! Bilang ke semua rombongan, bubar sekarang!”
“Ta-tapi, itu tidak mungkin…. Arakan sedang di
tengah jalan, dewa kami bisa murka,” tukas Ciu Suk Kong tak berani menentang
mata biru Van Sevenhoven. Semua orang dapat menyaksikan bagaimana wajah wedana
yang putih itu memerah. Dia menggebrak kudanya ke depan dan mendorong dada Ciu
Suk Kong dengan ujung tongkatnya, “Apanya yang tak mungkin? Aku mau lihat bisa
tidak dewa kalian marah padaku? Minggir kau!”
Dia mengangkat tongkatnya dan bermaksud hendak
menyabet patung Dewa Kwan Ti yang sedang diusung di depan barisan. Semua
orang menahan nafas, sebagian berseru tegang. Tak ada yang mampu mencegah.
Semua orang sudah bersiap melihat patung porselin sang dewa perang yang dibawa
dari Tiongkok itu terguling dari tandu dan pecah berhamburan di jalan. Namun
mendadak kuda putih tunggangan Van Sevenhoven meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya. Tubuh sang wedana oleng dan tongkatnya hanya menyabet
udara kosong. Sesaat berikutnya tubuh jangkung itu jatuh terbanting di badan
jalan. Dua serdadu yang mendampinginya kaget. Salah satunya tak sengaja menekan
pelatuk. Senapannya meletus. Pelor melesat ke depan menembus kepala kuda. Ah!
“Apa yang terjadi kemudian? Wedana itu pasti
mengamuk. Dia terluka?” tanyaku tak sabaran pada Kakek. Namun beliau
menggeleng. Melihat kuda kesayangannya mati, lanjut Kakek, tanpa pedulikan
tulang bahunya yang retak sang wedana langsung menghambur ke arah kuda
pemberian Gubernur Jenderal di Batavia itu. Dia menangis meraung-raung seperti
anak kecil sambil memeluk bangkai kudanya….
“Serdadu yang menembak kudanya tak dihukum?”
kejar Brenda. Nah, soal ini aku tidak tahu. Kakek tak pernah cerita, mungkin
beliau juga tidak tahu.
Kata Kakek, Van Sevenhoven membangun makam untuk
kuda kesayangannya yang dikuburkan di seberang kewedanaan (tak jauh dari gedung
Societet) itu tiga bulan berselang sebelum masa tugasnya sebagai wedana usai.
1933, tentu saja kala itu kantor lurah belum berdiri.
“Kalau masa tugasnya lebih panjang, barangkali
akan dibuatnya patung untuk kuda betina itu,” ujar Kakek sambil menyeringai
lebar. Tapi Van Sevenhoven kembali ke negeri Belanda dengan badan
sakit-sakitan. Pejabat wedana yang kemudian menggantikannya—maaf, aku tak ingat
lagi namanya—menurut mendiang Sam Suk Kung, bersikap sedikit lebih baik pada
orang Tionghoa. Orangnya gemuk pendek dan suka makan bakmi!
“Lalu sejak kapan kalian orang-orang China mulai
bersembahyang di makam ini?” bisik Brenda sambil memperhatikan seorang lelaki
tua membakar dupa di depan makam.
“Sejak Ciu Suk Kong mendapat mimpi,” kataku.
Mimpi? Kedua mata biru Brenda melebar. Ya, mimpi. Aku mengangguk.
“Suatu malam sekembali Van Sevenhoven ke
Belanda, Ciu Suk Kong bermimpi hantu kuda betina itu mendatanginya. Kuda itu
tak datang sendirian, tetapi ditunggangi seorang lelaki tinggi besar berseragam
perwira China tempo dulu. Ciu Suk Kong kaget bukan kepalang saat mengenali
penunggang kuda itu tak lain adalah Dewa Kwan Kong! Dia terbangun dengan baju
basah kuyup.”
Keesokan paginya bergegas dia menyambangi makam
kuda itu sambil membawa dupa, buah-buahan, dan sejumput rumput kering. “Kuda
itu titisan kuda Kwan Ti!” katanya dengan yakin kepada orang-orang, “Aku
melihat sendiri Kwan Kong menungganginya dalam mimpiku. Sosoknya begitu jelas,
membawa pedang bercula. Tidak diragukan lagi.”
Tak semua orang percaya, tapi sebagian besar
yakin kalau penjaga kelenteng itu tidak berdusta. Toh, Chiu Suk
Kong selalu dikenal sebagai orang yang jujur. Satu-dua orang kemudian mulai
ikut bersembahyang pada hari-hari berikutnya. Bertambah lagi pada hari yang
lain, terus bertambah kendati tak semuanya percaya kalau kuda itu merupakan
titisan kuda dewa. Hanya saja mereka percaya kuda itu telah mengorbankan
nyawanya untuk menolong orang-orang Tionghoa.
“Kalian orang China memang aneh,” tukas Brenda
mengulum senyum. Aku ikut tersenyum dan mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam
tas. Tentu saja tak kuceritakan padanya tentang hantu Kakek yang mendatangiku
dan memintaku mengajaknya ke makam ini untuk bersembahyang. Bisa-bisa ia
menganggapku gila. (*)
Krapyak Wetan, Jogjakarta,
Januari
2013
Catatan Kaki:
[1] Ji Cai: Bibi kecil, adik
ibu (dialek China-Hakka).
[2] Chung Hwa Hok Tong atau Tiong
Hoa Hak Tong: adalah sekolah Tionghoa yang berada di bawah payung
organisasi pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan (Asosiasi Tionghoa),
sebuah perkumpulan untuk memajukan pembaruan Konfusian dari kebudayaan Tionghoa
lokal dengan memajukan pendidikan berbahasa Tionghoa modern. Karakter sekolah
ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model
mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang
kuat dalam mata pelajarannya. Sekolah Tiong Hoa Hak Tongyang
pertama dibuka di Batavia (1901), Pangkalpinang-Bangka (1907), Belinyu-Bangka
(1908), Sungailiat-Bangka (1910) dan Toboali-Bangka (1912).
[3] Thai Luk: berarti daratan besar,
sebutan untuk negeri China.
[4] Ko Ngian: Tahun Baru Imlek
(ejaan China-Hakka).
[5] Sam Sip Pu: Malam Tiga Puluh,
malam Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[6] A Kong: Kakek (dialek
China-Hakka).
Sumber: Harian Jawa Pos, 10 Februari 2013
@ Redaktur SARBI: Guntur Sekti Wijaya
0 comments:
Post a Comment