Trust 2010, 32x48, oil on linen Artwork by Alyssa Monks
Mustafa
Mahmud
Kepala penjara
di masa peperangan, yang biasa menyiksa tawanan, melepaskan kuku-kuku mereka,
dan mencambuki tubuh mereka, melepaskan anjing-anjing liar kepada mereka, dan
membakar bagian-bagian tubuh mereka dengan api rokoknya, mati dalam sebuah kecelakaan
mobil di jalan Iskandaria Mesir. Mobilnya bertubrukan dengan sebuah truk yang
membawa besi-besi batangan. Sebatang besi menancap tepat di dadanya hingga
tembus ke punggungnya… ia melayang terbang ke akhirat dengan tubuh yang
dipanggang besi….
Seorang
laki-laki yang membawa keranda ayahnya sendiri menuju pemakaman, dan hatinya diliputi
keinginan untuk menguasai harta warisannya, tiba-tiba terantuk batu dan jatuh
di lubang kuburan ayahnya. Ia mati karena serangan jantung. Terbaring di sisi
jasad ayahnya.
Seorang wanita
yang terbiasa mengonsumsi narkoba dan heroin. Wanita yang setiap malam
keluyuran menikmati kehidupan malam, mati di bawah kaki seorang laki-laki yang
bukan suaminya… ia mati sebagai durjana dan keluar dari dunia menuju Allah
sebelum bertobat.
Dan orang-orang
yang menjadi korban tenggelamnya kapal penumpang mati dimakan keganasan
samudera. Sementara itu, seorang laki-laki tua berumur seratus tahun, yang
telah pikun, dan didera banyak penyakit sehingga untuk berjalan pun butuh
tongkat dan bantuan orang lain, tampak mengapung di atas puing-puing kapal itu hingga
tim SAR datang menyelamatkannya.
Iskandar Agung
dibunuh seekor nyamuk di Babilonia.
Pada tahun 1919,
virus yang kecil, yang tidak terlihat mata telanjang, membunuh 20 juta manusia.
Itulah virus influensa.
Semua itu
dilakukan sang maut.
Kematian berada
lebih dekat kepada kita dari bayangan kita sendiri… bahkan ia lebih dekat
daripada lisan kita… dan lebih dekat daripada jiwanya yang ada dalam dadanya…
Ia mengalir
dalam aliran darah, menyelusuri urat nadi, dan menetap dalam jantung.
Kita semua
membawa keranda di atas pundak kita.
Setiap kita
berjalan melintasi bara api di atas seutas tali tanpa pernah tahu kapan tali
itu akan putus.
Tetapi ia pasti
akan putus… karena orang-orang sebelum kita telah berjatuhan. Mereka telah
binasa.
Kawan, dunia ini
diliputi dan diikat oleh tali-tali kematian.
Hari ini kita
masih bisa bercanda dengan kekasih, kerabat, dan sahabat. Esok hari para
kekasih, sahabat, dan kerabat akan berjalan di atas debu kita. Mereka tidak
memerhatikan dan menyadarinya sama sekali, karena setiap orang disibukkan oleh
urusannya masing-masing. Mereka semua terlipat dalam lipatan nasibnya
masing-masing.
Kawan, ketidaksadaran
dan pengabaian mereka terhadap kematian akan membuat mereka tersentak kaget.
Semua keadaan,
kesibukan, dan keriuhan yang meliputi dan mengungkung diri kita itu menutup
pandangan, pendengaran, dan pikiran sehingga kita tak dapat melihat kematian berjalan
mengiringi kita. Mungkin kita akan menangis karena cinta, atau berjalan mengendap
bagaikan pencuri; ada juga yang merasa tenang dalam kesendirian, seakan-akan
hanya ia sendirilah yang hidup di muka bumi, dan menganggap bahwa alam semesta
ini adalah kamar istimewa, tempat ia dapat melakukan apa pun sesuka hatinya. Ia
menyangka dirinya abadi, tidak akan disentuh kematian. Sebaliknya, ia
mengendapendap dan memerhatikan kematian orang lain, tanpa menyadari bahwa kematian
mengintai dirinya, dan akan menyergapnya sekejapan.
Kawanku,
ketidaksadaran dan kealpaan manusia terhadap kematian akan menjadi judul kisah
kita kali ini.
Tokoh kita dalam
kisah ini adalah manusia paling cerdik di muka bumi.
Jika kau telah
mengetahui bagaimana ia menjadi seorang miliuner, kau akan sependapat denganku
bahwa ia adalah manusia paling cerdik di muka bumi.
Kita biarkan ia
menuturkan kisahnya sendiri:
Ketika itu musim
kering 1950. Sebuah kapal barang berlabuh di Pelabuhan Iskandaria. Kapal itu
memuat barang-barang sisa perang.
Semua calo dan
pedagang bergegas naik ke atas kapal untuk membeli barang yang mereka inginkan.
Namun, setibanya di atas, mereka benar-benar terpana. Kapal itu bermuatan
sepatu bekas. Ada setengah juta sepatu. Namun, yang lebih mengejutkan lagi,
semuanya hanya bagian kanan.
Tentu saja tak
ada yang tertarik membeli sepatu-sepatu yang hanya sebelah itu.
Seorang pedagang
bergegas menuruni kapal. Para pedagang dan calo mengikutinya menuruni kapal.
Dan kapal itu kembali kosong. Tinggal sepatu-sepatu kanan.
Tiba-tiba saja,
entah apa yang mendorongku, aku maju dan membeli semua sepatu-sebelah-kanan
itu. Tentu saja dengan harga yang sangat murah, hanya beberapa rupiah.
Terlintas dalam pikiran akan kupergunakan sepatu-sepatu tentara yang hanya
sebelah ini untuk membuat arak yang bagus, ha… ha… Aku pernah membaca sebuah
artikel, entah benar entah tidak, yang menyebutkan bahwa ada sejenis bir yang
dibuat dengan cara direndam bersama kulit-kulit lama.
Kusimpan
setengah-juta-sepatu-kanan itu di gudang. Kelak kalian akan kupergunakan,
begitu pikirku.
Rupanya
keberuntungan itu datang lebih cepat.
Dua minggu
setelah itu, tepatnya pada hari Selasa, ketika aku sedang berdiri di tepi
dermaga, sebuah kapal barang berlabuh. Kapal itu pun memuat barang-barang
bekas.
Para pedagang dan
para calo bergegas naik. Namun, sekali lagi mereka kecele. Kapal itu memuat
sepatu bekas, dan hanya sebelah. Kali ini, hanya yang sebelah kiri. Ada
setengah juta sepatu-sebelah-kiri. Tentu saja tidak ada seorang pun yang mau
membelinya. Kamu dapat menduga siapa yang membeli semua
sepatu-bekas-sebelah-kiri itu. Ya, kali ini aku punya cukup alasan untuk
membelinya, juga dengan harga yang sangat murah.
Begitulah, dalam
sekejap aku menjadi miliuner, tanpa kerja keras. Waktu seakan-akan melimpahkan
semua kekayaan itu begitu saja kepadaku, hanya karena aku berada di tempat dan
waktu yang tepat.
Begitulah kawan,
aku mulai dikenal sebagai orang yang paling cerdik di muka bumi.
Kekayaan
mendatangi tokoh kita ini secara tiba-tiba, tanpa kerja keras dan tanpa cucuran
keringat. Dan karena kekayaan itu datang di usianya yang masih sangat muda, ia
banyak menggunakan kekayaannya itu untuk foya-foya, pesta pora, dan menuruti
hasrat nafsu.
Kini, ia kenal
berbagai kalangan wanita, yang selalu menantikan kedatangannya.
Ia kenal banyak
pesohor dan kalangan elit lainnya.
Dan beragam
tempat hiburan tak asing lagi baginya.
Kendati
demikian, ia tetap saja laki-laki yang cerdik. Ia tahu kapan dan bagaimana
memenuhi hasrat nafsunya. Ia lakukan semua itu dengan penuh pertimbangan sehingga
tidak merugikan keuangannya. Ia tahu kapan saat yang tepat untuk berpesta pora,
lalu beberapa saat kemudian kembali bekerja dengan penuh semangat.
Tetapi, orang
yang kuat tak selamanya kuat.
Setiap orang
memiliki lubang yang akan melumat dirinya. Setiap orang punya kelemahan. Bahkan
orang yang paling pintar sekalipun tidak akan lepas dari kelemahan. Ia mungkin
saja lalai dan bencana datang menghampirinya.
Biarkanlah tokoh
kita ini menceritakan kelanjutan kisahnya:
Aku benar-benar
hidup untuk hari ini. Tak pernah kukhawatirkan hari esok. Tak sedikit pun
kesulitan menghampiriku. Segala sesuatu yang kuimpikan pasti terwujud. Segala
yang kuhasratkan pasti kudapatkan, baik dengan strategi, kecerdikan, dan kerja
keras, maupun dengan tipuan dan rekayasa. Dan cara yang paling mudah,
kudapatkan keinginanku dengan uang.
Semua yang ada
di sekelilingku menerima uangku. Mereka siap menjual apa pun. Semuanya siap
bertransaksi. Dunia ini murah, berpindah tangan dari waktu ke waktu kepada
siapa saja yang mampu membelinya.
Hingga suatu
hari aku bertemu dengan wanita itu di sebuah pesta.
Sungguh ciptaan
yang sangat indah dan sangat lembut. Sepotong keindahan surgawi yang diciptakan
di dunia. Kulitnya selembut sutra. Suaranya merdu menyentuh dan membelai
kalbuku; seluruh dirinya menciptakan kedamaian dalam diriku.
Dan lagi, ia
punya akal setajam pedang.
Kepribadiannya
menakjubkan. Sebuah perpaduan sempurna antara kebudayaan, pendidikan, dan
anugerah Tuhan. Memandangnya, kau akan tersedot ke dalam pusaran daya
magnetisnya.
Seakan-akan di
sekitarnya terdapat ruang yang sangat lega. Jika kau terjebak dalam pusaran
dirinya, kau akan terus berputar-putar di sana, terbetot ke pusat gravitasinya,
tanpa pernah bisa melepaskan diri apalagi menjauhinya. Kau akan terus
mengitarinya, seperti planet mengitari bintang.
Aku sendiri
mengalaminya. Ketika aku mendekatinya, dan terjebak dalam pusarannya, aku tak
dapat menjauh. Aku tak dapat berlari.
Kudapati diriku
dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda: menghindarinya, atau terbakar dalam pusarannya.
Aku memilih terbakar.
Namun, ada satu
masalah besar. Wanita itu telah menikah. Dan suaminya, seorang bangsawan
terhormat, sangat mencintai dan memujanya. Tidak pernah terlintas pikiran untuk
menceraikannya.
Wanita itu
sendiri tidak mencintai suaminya, tetapi ia tak memiliki apa-apa untuk
menggugat cerai kepadanya.
Dunia terasa
sempit bagiku.
Aku merasa
tertawan.
Kekuatan
menjauhiku.
Kecerdasan
tiba-tiba menghilang.
Aku berubah
seketika menjadi anak kecil.
Aku hidup
bagaikan orang yang kehilangan akal.
Wanita itu
mencintaiku. Ia tak tahan lagi hidup bersama suaminya.
Suatu hari, ia
berbisik kepadaku, “Ayolah… lebih baik kita kabur.”
Ia memeluk dan
bergelayut di leherku… ia bisikkan kata-kata mesra, kemudian menangis dalam
pelukanku… “Lindungilah aku… tolonglah aku,” ujarnya memelas.
Seiring
perjalanan waktu, kata-kata mesra, bisikan manis, dan ucapan-ucapan manja yang
menenangkan hati menjadi makanan kami sehari-hari. Semua kegilaan menjadi
kewajaran.
Kami melihat
seluruh penghuni alam semesta adalah orangorang gila, karena mereka tidak
melihat apa yang kami lihat. Kami melihat dunia bagaikan tempat yang sesak,
sinis, dan hiruk pikuk. Kami tak melihat setapak pun tempat yang memberi kami
kehidupan dan keleluasaan. Semuanya mengekang kami.
Kekasihku itu
mulai membisikkan dorongan untuk melarikan diri jauh-jauh dari negeri ini.
Memang aku punya beberapa perusahaan di Sudan, Kenya, dan Uganda.
Begitulah,
tiba-tiba, pada suatu malam, aku mendapati diriku duduk di sisinya di sebuah
pesawat yang terbang menuju Sudan… dari Sudan kami pergi ke Kenya.
Kami habiskan
bulan madu di Nairobi, menelusuri hutan-hutan lebat dan padang savana yang
luas, dan berlari berdua di bawah sinar bulan dan bintang.
Inilah bagian
kedua kehidupan seorang manusia yang paling cerdik di muka bumi.
Biarkanlah
kuceritakan kepadamu bagian ketiga dan terakhir dari kisah hidupku:
Perjalanan yang
kami tempuh adalah perjalanan yang sangat indah dan berkesan. Dua orang kekasih
yang saling mencintai. Menelusuri jejak-jejak keindahan yang dihamparkan Tuhan
di muka bumi. Kami habiskan malam-malam yang tenang disinari cahaya bulan di
tempat-tempat yang indah dan romantis. Dan pada akhir minggu kami tinggal di
sebuah cottage bambu di tepi pantai. Tempat ini termasuk salah satu
tujuan wisata terkenal. Para wisatawan dari berbagai pelosok, bahkan para
pemusik, seniman, dan para penyair datang ke sana untuk mendapatkan inspirasi
untuk memuaskan ekspresi kreativitas mereka. Tempat ini memberikan suasana yang
terbaik,
pemandangan yang sangat indah, para pelayan yang cantikcantik, arak dan anggur
kualitas terbaik, serta makanan yang sangat lezat. Jika kau pernah
mengalaminya, di sinilah surga.
Untuk mencapai
tempat ini, kau harus mengggunakan mobil yang kuat mendaki puncak gunung dan
menempuh lintasan perbukitan yang berat.
Tokoh kita ini
membawa mobilnya dengan tangkas mendaki bukit dan menerobos semak-semak. Sambil
mengendarai, bibirnya terus bersenandung sambil sesekali memandang ke wanita
cantik di sebelahnya. Keduanya tampak sangat mesra. Kadang-kadang si wanita bergelayut
ke leher laki-laki itu, membuat iri orang-orang yang ada di pinggir jalan. Pada
sebuah belokan, tampak semak-semak begitu tinggi menghalangi pandangan,
ditambah lagi dengan pepohonan yang begitu rimbun sehingga jalanan tampak
sedikit gelap. Hanya hijau dan hijau yang terlihat.
Kedua insan
dimabuk cinta itu masih tampak mesra bergelayutan satu sama lain.
Tiba-tiba…
Tanpa disadari
keduanya, mobil itu mencelat tergelincir menuruni tebing yang sangat dalam.
Mobil itu jungkir balik beberapa kali menabrak bebatuan cadas dan akhirnya
berhenti di dasar tebing. Mobil itu hancur tak berbentuk. Semuanya hancur.
Laki-laki itu
sadar dan membuka matanya. Namun ia tak bisa bergerak. Seluruh persendiannya
tak bisa digerakkan. Darah mengucur menutupi seluruh tubuhnya.
Sedangkan wanita
itu tergeletak tak berdaya. Ia berbisik dengan suara yang sangat lemah. Ia pun
berusaha menggerakkan tubuhnya, namun tak kuasa. Semua persendiannya terasa
lunglai.
Petaka itu
semakin menyakitkan karena keduanya terkulai di bawah pepohonan yang menjadi
sarang semut merah.
Tak ayal lagi,
pasukan semut merah menyerang keduanya.
Benar kawan,
pasukan semut itu menyerang keduanya yang tak bisa bergerak, hanya bisa
berpandangan satu sama lain, tak kuasa berkata-kata apalagi berteriak… keduanya
tak dapat menghindarkan diri dari serangan semut-semut itu.
Begitulah
berakhirnya kisah laki-laki cerdik ini. Kecerdikan dan kekuatannya tak dapat
menyelamatkannya dari amukan semut merah.
Setelah itu
hanya kesunyian.
Hari berikutnya,
koran-koran, majalah, tabloid, dan media massa lainnya mengumumkan hilangnya
istri seorang bangsawan yang pergi dari rumahnya berminggu-minggu lamanya dan
belum juga kembali. Semua berita itu menggambarkan ciri-ciri istimewa wanita
itu: bola
matanya yang
kebiruan; kulitnya yang putih bak pualam; rambutnya yang tergerai sehitam
malam; mengenakan celana panjang dan blazer hitam. Siapa saja yang mengetahui
keberadaannya mohon menghubungi nomor anu.
Media massa
terus-terusan menyiarkan berita itu setiap hari. Tetapi tak seorang pun yang
mengetahui bahwa wanita itu dan kawan seperjalanannya telah sirna dalam perut
enam ratus ribu pasukan semut merah, di belantara Afrika Tengah.
Itulah pekerjaan
Sang Maut.
Semuanya lalai.
Semuanya lupa.
Sang
Maut mengintai mereka.
NB : Prosa ini sebenarnya nukilan dari novel yang berjudul The Real Face of Dajjal. Di Indonesia novel terjemahan ini diterbitkan oleh Penerbit Edelweiss. Mustafa Mahmud (25 Desember 1921 - 31 Oktober 2009) lahir di Shibin el Kom, Mesir. Merupakan salah satu peneliti dan penulis terkemuka di negara tersebut.
@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto
@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment