Blogroll

Tuesday, April 9, 2013

Sang Maut

 photo 7180650_orig_zps2720a513.jpg
Trust 2010, 32x48, oil on linen Artwork by Alyssa Monks


Mustafa Mahmud

Kepala penjara di masa peperangan, yang biasa menyiksa tawanan, melepaskan kuku-kuku mereka, dan mencambuki tubuh mereka, melepaskan anjing-anjing liar kepada mereka, dan membakar bagian-bagian tubuh mereka dengan api rokoknya, mati dalam sebuah kecelakaan mobil di jalan Iskandaria Mesir. Mobilnya bertubrukan dengan sebuah truk yang membawa besi-besi batangan. Sebatang besi menancap tepat di dadanya hingga tembus ke punggungnya… ia melayang terbang ke akhirat dengan tubuh yang dipanggang besi….
Seorang laki-laki yang membawa keranda ayahnya sendiri menuju pemakaman, dan hatinya diliputi keinginan untuk menguasai harta warisannya, tiba-tiba terantuk batu dan jatuh di lubang kuburan ayahnya. Ia mati karena serangan jantung. Terbaring di sisi jasad ayahnya.
Seorang wanita yang terbiasa mengonsumsi narkoba dan heroin. Wanita yang setiap malam keluyuran menikmati kehidupan malam, mati di bawah kaki seorang laki-laki yang bukan suaminya… ia mati sebagai durjana dan keluar dari dunia menuju Allah sebelum bertobat.
Dan orang-orang yang menjadi korban tenggelamnya kapal penumpang mati dimakan keganasan samudera. Sementara itu, seorang laki-laki tua berumur seratus tahun, yang telah pikun, dan didera banyak penyakit sehingga untuk berjalan pun butuh tongkat dan bantuan orang lain, tampak mengapung di atas puing-puing kapal itu hingga tim SAR datang menyelamatkannya.
Iskandar Agung dibunuh seekor nyamuk di Babilonia.
Pada tahun 1919, virus yang kecil, yang tidak terlihat mata telanjang, membunuh 20 juta manusia. Itulah virus influensa.
Semua itu dilakukan sang maut.
Kematian berada lebih dekat kepada kita dari bayangan kita sendiri… bahkan ia lebih dekat daripada lisan kita… dan lebih dekat daripada jiwanya yang ada dalam dadanya…
Ia mengalir dalam aliran darah, menyelusuri urat nadi, dan menetap dalam jantung.
Kita semua membawa keranda di atas pundak kita.
Setiap kita berjalan melintasi bara api di atas seutas tali tanpa pernah tahu kapan tali itu akan putus.
Tetapi ia pasti akan putus… karena orang-orang sebelum kita telah berjatuhan. Mereka telah binasa.
Kawan, dunia ini diliputi dan diikat oleh tali-tali kematian.
Hari ini kita masih bisa bercanda dengan kekasih, kerabat, dan sahabat. Esok hari para kekasih, sahabat, dan kerabat akan berjalan di atas debu kita. Mereka tidak memerhatikan dan menyadarinya sama sekali, karena setiap orang disibukkan oleh urusannya masing-masing. Mereka semua terlipat dalam lipatan nasibnya masing-masing.
Kawan, ketidaksadaran dan pengabaian mereka terhadap kematian akan membuat mereka tersentak kaget.
Semua keadaan, kesibukan, dan keriuhan yang meliputi dan mengungkung diri kita itu menutup pandangan, pendengaran, dan pikiran sehingga kita tak dapat melihat kematian berjalan mengiringi kita. Mungkin kita akan menangis karena cinta, atau berjalan mengendap bagaikan pencuri; ada juga yang merasa tenang dalam kesendirian, seakan-akan hanya ia sendirilah yang hidup di muka bumi, dan menganggap bahwa alam semesta ini adalah kamar istimewa, tempat ia dapat melakukan apa pun sesuka hatinya. Ia menyangka dirinya abadi, tidak akan disentuh kematian. Sebaliknya, ia mengendapendap dan memerhatikan kematian orang lain, tanpa menyadari bahwa kematian mengintai dirinya, dan akan menyergapnya sekejapan.
Kawanku, ketidaksadaran dan kealpaan manusia terhadap kematian akan menjadi judul kisah kita kali ini.
Tokoh kita dalam kisah ini adalah manusia paling cerdik di muka bumi.
Jika kau telah mengetahui bagaimana ia menjadi seorang miliuner, kau akan sependapat denganku bahwa ia adalah manusia paling cerdik di muka bumi.
Kita biarkan ia menuturkan kisahnya sendiri:

Ketika itu musim kering 1950. Sebuah kapal barang berlabuh di Pelabuhan Iskandaria. Kapal itu memuat barang-barang sisa perang.
Semua calo dan pedagang bergegas naik ke atas kapal untuk membeli barang yang mereka inginkan. Namun, setibanya di atas, mereka benar-benar terpana. Kapal itu bermuatan sepatu bekas. Ada setengah juta sepatu. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, semuanya hanya bagian kanan.
Tentu saja tak ada yang tertarik membeli sepatu-sepatu yang hanya sebelah itu.
Seorang pedagang bergegas menuruni kapal. Para pedagang dan calo mengikutinya menuruni kapal. Dan kapal itu kembali kosong. Tinggal sepatu-sepatu kanan.
Tiba-tiba saja, entah apa yang mendorongku, aku maju dan membeli semua sepatu-sebelah-kanan itu. Tentu saja dengan harga yang sangat murah, hanya beberapa rupiah. Terlintas dalam pikiran akan kupergunakan sepatu-sepatu tentara yang hanya sebelah ini untuk membuat arak yang bagus, ha… ha… Aku pernah membaca sebuah artikel, entah benar entah tidak, yang menyebutkan bahwa ada sejenis bir yang dibuat dengan cara direndam bersama kulit-kulit lama.
Kusimpan setengah-juta-sepatu-kanan itu di gudang. Kelak kalian akan kupergunakan, begitu pikirku.
Rupanya keberuntungan itu datang lebih cepat.
Dua minggu setelah itu, tepatnya pada hari Selasa, ketika aku sedang berdiri di tepi dermaga, sebuah kapal barang berlabuh. Kapal itu pun memuat barang-barang bekas.
Para pedagang dan para calo bergegas naik. Namun, sekali lagi mereka kecele. Kapal itu memuat sepatu bekas, dan hanya sebelah. Kali ini, hanya yang sebelah kiri. Ada setengah juta sepatu-sebelah-kiri. Tentu saja tidak ada seorang pun yang mau membelinya. Kamu dapat menduga siapa yang membeli semua sepatu-bekas-sebelah-kiri itu. Ya, kali ini aku punya cukup alasan untuk membelinya, juga dengan harga yang sangat murah.
Begitulah, dalam sekejap aku menjadi miliuner, tanpa kerja keras. Waktu seakan-akan melimpahkan semua kekayaan itu begitu saja kepadaku, hanya karena aku berada di tempat dan waktu yang tepat.
Begitulah kawan, aku mulai dikenal sebagai orang yang paling cerdik di muka bumi.

Kekayaan mendatangi tokoh kita ini secara tiba-tiba, tanpa kerja keras dan tanpa cucuran keringat. Dan karena kekayaan itu datang di usianya yang masih sangat muda, ia banyak menggunakan kekayaannya itu untuk foya-foya, pesta pora, dan menuruti hasrat nafsu.
Kini, ia kenal berbagai kalangan wanita, yang selalu menantikan kedatangannya.
Ia kenal banyak pesohor dan kalangan elit lainnya.
Dan beragam tempat hiburan tak asing lagi baginya.
Kendati demikian, ia tetap saja laki-laki yang cerdik. Ia tahu kapan dan bagaimana memenuhi hasrat nafsunya. Ia lakukan semua itu dengan penuh pertimbangan sehingga tidak merugikan keuangannya. Ia tahu kapan saat yang tepat untuk berpesta pora, lalu beberapa saat kemudian kembali bekerja dengan penuh semangat.
Tetapi, orang yang kuat tak selamanya kuat.
Setiap orang memiliki lubang yang akan melumat dirinya. Setiap orang punya kelemahan. Bahkan orang yang paling pintar sekalipun tidak akan lepas dari kelemahan. Ia mungkin saja lalai dan bencana datang menghampirinya.

Biarkanlah tokoh kita ini menceritakan kelanjutan kisahnya:

Aku benar-benar hidup untuk hari ini. Tak pernah kukhawatirkan hari esok. Tak sedikit pun kesulitan menghampiriku. Segala sesuatu yang kuimpikan pasti terwujud. Segala yang kuhasratkan pasti kudapatkan, baik dengan strategi, kecerdikan, dan kerja keras, maupun dengan tipuan dan rekayasa. Dan cara yang paling mudah, kudapatkan keinginanku dengan uang.
Semua yang ada di sekelilingku menerima uangku. Mereka siap menjual apa pun. Semuanya siap bertransaksi. Dunia ini murah, berpindah tangan dari waktu ke waktu kepada siapa saja yang mampu membelinya.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan wanita itu di sebuah pesta.
Sungguh ciptaan yang sangat indah dan sangat lembut. Sepotong keindahan surgawi yang diciptakan di dunia. Kulitnya selembut sutra. Suaranya merdu menyentuh dan membelai kalbuku; seluruh dirinya menciptakan kedamaian dalam diriku.
Dan lagi, ia punya akal setajam pedang.
Kepribadiannya menakjubkan. Sebuah perpaduan sempurna antara kebudayaan, pendidikan, dan anugerah Tuhan. Memandangnya, kau akan tersedot ke dalam pusaran daya magnetisnya.
Seakan-akan di sekitarnya terdapat ruang yang sangat lega. Jika kau terjebak dalam pusaran dirinya, kau akan terus berputar-putar di sana, terbetot ke pusat gravitasinya, tanpa pernah bisa melepaskan diri apalagi menjauhinya. Kau akan terus mengitarinya, seperti planet mengitari bintang.
Aku sendiri mengalaminya. Ketika aku mendekatinya, dan terjebak dalam pusarannya, aku tak dapat menjauh. Aku tak dapat berlari.
Kudapati diriku dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda: menghindarinya, atau terbakar dalam pusarannya. Aku memilih terbakar.
Namun, ada satu masalah besar. Wanita itu telah menikah. Dan suaminya, seorang bangsawan terhormat, sangat mencintai dan memujanya. Tidak pernah terlintas pikiran untuk menceraikannya.
Wanita itu sendiri tidak mencintai suaminya, tetapi ia tak memiliki apa-apa untuk menggugat cerai kepadanya.
Dunia terasa sempit bagiku.
Aku merasa tertawan.
Kekuatan menjauhiku.
Kecerdasan tiba-tiba menghilang.
Aku berubah seketika menjadi anak kecil.
Aku hidup bagaikan orang yang kehilangan akal.
Wanita itu mencintaiku. Ia tak tahan lagi hidup bersama suaminya.
Suatu hari, ia berbisik kepadaku, “Ayolah… lebih baik kita kabur.”
Ia memeluk dan bergelayut di leherku… ia bisikkan kata-kata mesra, kemudian menangis dalam pelukanku… “Lindungilah aku… tolonglah aku,” ujarnya memelas.
Seiring perjalanan waktu, kata-kata mesra, bisikan manis, dan ucapan-ucapan manja yang menenangkan hati menjadi makanan kami sehari-hari. Semua kegilaan menjadi kewajaran.
Kami melihat seluruh penghuni alam semesta adalah orangorang gila, karena mereka tidak melihat apa yang kami lihat. Kami melihat dunia bagaikan tempat yang sesak, sinis, dan hiruk pikuk. Kami tak melihat setapak pun tempat yang memberi kami kehidupan dan keleluasaan. Semuanya mengekang kami.
Kekasihku itu mulai membisikkan dorongan untuk melarikan diri jauh-jauh dari negeri ini. Memang aku punya beberapa perusahaan di Sudan, Kenya, dan Uganda.
Begitulah, tiba-tiba, pada suatu malam, aku mendapati diriku duduk di sisinya di sebuah pesawat yang terbang menuju Sudan… dari Sudan kami pergi ke Kenya.
Kami habiskan bulan madu di Nairobi, menelusuri hutan-hutan lebat dan padang savana yang luas, dan berlari berdua di bawah sinar bulan dan bintang.
Inilah bagian kedua kehidupan seorang manusia yang paling cerdik di muka bumi.

Biarkanlah kuceritakan kepadamu bagian ketiga dan terakhir dari kisah hidupku:

Perjalanan yang kami tempuh adalah perjalanan yang sangat indah dan berkesan. Dua orang kekasih yang saling mencintai. Menelusuri jejak-jejak keindahan yang dihamparkan Tuhan di muka bumi. Kami habiskan malam-malam yang tenang disinari cahaya bulan di tempat-tempat yang indah dan romantis. Dan pada akhir minggu kami tinggal di sebuah cottage bambu di tepi pantai. Tempat ini termasuk salah satu tujuan wisata terkenal. Para wisatawan dari berbagai pelosok, bahkan para pemusik, seniman, dan para penyair datang ke sana untuk mendapatkan inspirasi untuk memuaskan ekspresi kreativitas mereka. Tempat ini memberikan suasana yang
terbaik, pemandangan yang sangat indah, para pelayan yang cantikcantik, arak dan anggur kualitas terbaik, serta makanan yang sangat lezat. Jika kau pernah mengalaminya, di sinilah surga.
Untuk mencapai tempat ini, kau harus mengggunakan mobil yang kuat mendaki puncak gunung dan menempuh lintasan perbukitan yang berat.
Tokoh kita ini membawa mobilnya dengan tangkas mendaki bukit dan menerobos semak-semak. Sambil mengendarai, bibirnya terus bersenandung sambil sesekali memandang ke wanita cantik di sebelahnya. Keduanya tampak sangat mesra. Kadang-kadang si wanita bergelayut ke leher laki-laki itu, membuat iri orang-orang yang ada di pinggir jalan. Pada sebuah belokan, tampak semak-semak begitu tinggi menghalangi pandangan, ditambah lagi dengan pepohonan yang begitu rimbun sehingga jalanan tampak sedikit gelap. Hanya hijau dan hijau yang terlihat.
Kedua insan dimabuk cinta itu masih tampak mesra bergelayutan satu sama lain.
Tiba-tiba…
Tanpa disadari keduanya, mobil itu mencelat tergelincir menuruni tebing yang sangat dalam. Mobil itu jungkir balik beberapa kali menabrak bebatuan cadas dan akhirnya berhenti di dasar tebing. Mobil itu hancur tak berbentuk. Semuanya hancur.
Laki-laki itu sadar dan membuka matanya. Namun ia tak bisa bergerak. Seluruh persendiannya tak bisa digerakkan. Darah mengucur menutupi seluruh tubuhnya.
Sedangkan wanita itu tergeletak tak berdaya. Ia berbisik dengan suara yang sangat lemah. Ia pun berusaha menggerakkan tubuhnya, namun tak kuasa. Semua persendiannya terasa lunglai.
Petaka itu semakin menyakitkan karena keduanya terkulai di bawah pepohonan yang menjadi sarang semut merah.
Tak ayal lagi, pasukan semut merah menyerang keduanya.
Benar kawan, pasukan semut itu menyerang keduanya yang tak bisa bergerak, hanya bisa berpandangan satu sama lain, tak kuasa berkata-kata apalagi berteriak… keduanya tak dapat menghindarkan diri dari serangan semut-semut itu.
Begitulah berakhirnya kisah laki-laki cerdik ini. Kecerdikan dan kekuatannya tak dapat menyelamatkannya dari amukan semut merah.

Setelah itu hanya kesunyian.

Hari berikutnya, koran-koran, majalah, tabloid, dan media massa lainnya mengumumkan hilangnya istri seorang bangsawan yang pergi dari rumahnya berminggu-minggu lamanya dan belum juga kembali. Semua berita itu menggambarkan ciri-ciri istimewa wanita itu: bola
matanya yang kebiruan; kulitnya yang putih bak pualam; rambutnya yang tergerai sehitam malam; mengenakan celana panjang dan blazer hitam. Siapa saja yang mengetahui keberadaannya mohon menghubungi nomor anu.
Media massa terus-terusan menyiarkan berita itu setiap hari. Tetapi tak seorang pun yang mengetahui bahwa wanita itu dan kawan seperjalanannya telah sirna dalam perut enam ratus ribu pasukan semut merah, di belantara Afrika Tengah.

Itulah pekerjaan Sang Maut.
Semuanya lalai.
Semuanya lupa.
Sang Maut mengintai mereka.


NB : Prosa ini sebenarnya nukilan dari novel yang berjudul The Real Face of Dajjal. Di Indonesia novel terjemahan ini diterbitkan oleh Penerbit Edelweiss. Mustafa Mahmud (25 Desember 1921 - 31 Oktober 2009) lahir di Shibin el Kom, Mesir. Merupakan salah satu peneliti dan penulis terkemuka di negara tersebut.   

@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post