Diving for Treasure, Painting 1170 x 820 cm @ stonycreekgallery
Arfan Fathoni
MENYIMAK esai F Aziz Manna yang berjudul
“Tiga Aliran Puitika Jawa Timur” sangat terasa sekali bahwa para kritikus (atau
pengamat?) sastra kita masih gemar dengan kanalisasi dan dikotomi, membagi-bagi
masyarakat menjadi beberapa blok. Di satu sisi, hal ini dapat memudahkan kita
dalam mengidentifikasi, lebih-lebih meneliti secara mendalam sebuah kelompok
dan estetika yang diusung suatu kelompok. Namun, di sisi lain, pendikotomian
itu tak pelak akan menimbulkan pola-pola pemikiran bahwa hubungan dalam sastra
ternyata kurang lebih sama dengan hubungan gangster. Di mana, seseorang harus
bergabung dengan seseorang yang lain untuk menghadapi kelompok lain.
Aziz membagi aliran puitika Jawa Timur
dalam tiga kelompok besar : aliran para pemilik teguh puisi gelap, aliran para
peyakin puisi terang, dan aliran alternatif penganjur suara-suara lain yang
dipelopori oleh W Haryanto. Pembagian ini sendiri sudah mengesankan hal yang
berbau Surabaya-sentris. Artinya, pembagian ala Aziz juga menunjukkan bahwa dua
kelompok besar yang “eksis” berada di Surabaya. Sementara kelompok lain yang
berada di luar Surabaya, condong diremehkan dan harus rela ditaruh dalam satu
aliran yang diembel-embeli sebagai “alternatif”.
Aliran puisi gelap sendiri adalah aliran
yang dipelopori sebagian besar eksponen Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar
(FS3LP) dan Teater Gardu Puisi (Gapus). Oleh Arif B Prasetyo, aliran ini
dikatakan memberikan kontribusi pada sastra Indonesia kontemporer. Aliran puisi
gelap konon mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar kepekatan dan
kemabukan yang belum pernah terpampang dalam khasanah puisi dari berbagai
provinsi lain. Dalam kesempatan lain, salah satu
anggota dari aliran ini, Indra Tjahyadi, pernah mengungkapkan manifesto puisi
gelap di mana tugas penyair adalah menyelamatkan manusia dari kejatuhan mengerikan
ke jurang kebanalan dunia. Untuk itulah, puisi harus didorong ke arah pemaknaan
yang paling ambigu, yakni dengan menggelapkan makna.
Tugas penyair dari dulu memang selalu
ambigu. Di satu sisi, ia memfungsikan dirinya sebagai perombak peradaban atau
meminjam bahasa Octavio Paz, membawa suara lain. Di sisi yang lain, penyair tak
lebih hanya sebagai pengkhayal, sekumpulan (dan ini yang sangat parah)
pengangguran yang bahkan untuk menyelamatkan dirinya saja harus berharap pada
kebaikan orang lain. Melihat kondisi terkini, sangat mungkin sebagian besar
pelaku sastra di Indonesia dapat kita masukkan ke dalam golongan terakhir.
Entah, ketika Aziz menulis esai tersebut
apakah ia dalam keadaan sadar. Bahwa ia adalah salah satu bagian dari Forum
Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) yang mengusung puisi gelap memang
benar. Akan tetapi, dalam Festival Seni Surabaya 2010, bukankah Ribut Wijoto
selaku PO Sastra menulis bahwa puisi-puisi Aziz sudah melampaui tradisi puisi
gelap (dalam bahasa Ribut adalah post-puisi gelap). Secara estetika pun,
puisi-puisi Aziz menolak mengekspos panorama kegelapan jiwa yang dikatakan oleh
Arif B Prasetyo sebagai landasan puisi gelap.
Lantas, bukankah Mashuri, salah tokoh
gerakan puisi gelap, juga sudah mulai meninggalkan kegelapan puisi ala Luar
Pagar ini? Dan Indra Tjahyadi yang menjadi pengusung “Manifesto Puisi Gelap”
kini lebih banyak mengeksploitasi sisi dukalara, kesedihan, dan mendung
perasaan seorang manusia. Dalam ulasan Arif B Prasetyo, kecenderungan ini
mengakibatkan puisi Indra menjadi semakin terang. Ribut Wijoto, sebagai juru
bicara gerakan puisi gelap, ternyata juga menulis puisi yang tak dapat dibilang
gelap. Lantas apakah masih kontekstual jika para tokoh di atas dilabeli sebagai
pengusung puisi gelap?
Sangat disayangkan, Aziz mungkin agak
abai membaca perkembangan generasi penyair terkini yang tumbuh di lingkungan
Unair Surabaya. Sebagai tempat kelahiran dan penggagas puisi gelap, mazhab ini
mulai luntur dari dalam. Bacalah penyair-penyair muda dari Unair semacam Ayu
Kartika Dewi, Abimardha Kurniawan, Asril Novian Alifi, Sonny Alfansa, sampai
Mamik Bo Wijaya. Puisi-puisi mereka juga mengangkat hal remeh temeh yang
dikatakan Aziz banyak digarap oleh penyair dari Komunitas Rabo Sore.
Pemberian label terang pada penyair-penyair
yang bernaung di dalam Komunitas Rabo Sore (atau Unesa pada umumnya) juga tidak
sepenuhnya tepat. Pada perjalanan awal kepenyairannya, Dody Kristianto menolak
konsep puisi komunikatif dan terlarut dalam penggelapan makna sebagaimana
dieksploitasi oleh para penyair Luar Pagar. Puisi-puisi Dody yang terpublikasi
dalam antologi tunggalnya Lagu Kelam Rembulan (SARBI, 2012) setidaknya
menunjukkan itikad tersebut. Selain itu, puisi-puisi yang ditulis oleh Heru
Susanto dan GS Wijaya dari Forum SARBI (yang notabene juga berkuliah dan
berproses di Unesa) juga menunjukkan kecenderungan bergelap-gelap ria. Akan
tetapi, sangat disayangkan bahwa ketiga penyair Forum SARBI ini tidak mau
memproklamasikan dirinya sebagai penyelamat umat manusia dari kejatuhannya.
Maka, dalam satu kota sangat mungkin
terdapat lebih dari satu estetika. Dan sebenarnya sangat disayangkan, Aziz
memotret perkembangan ini berdasarkan data di atas meja. Aziz kurang memiliki
ketekunan sebagaimana yang dilakukan oleh W Haryanto yang selama ini, turun
langsung ke bawah dan mengadakan diskusi dengan komunitas-komunitas yang hidup
di daerah.
Apa yang ditulis oleh Aziz tentu sangat
berisiko jika diletakkan sebagai panduan terkini untuk membaca gelagat sastra
Jawa Timur. Ya, tiga aliran yang dibaca oleh Aziz ini hanya sebatas data-data
di atas meja dan kurang elok jika harus dilabeli sebagai dunia puisi Jawa Timur
dalam konteks yang utuh.(*)
Arfan Fathoni, fungsionaris Sastra
Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
0 comments:
Post a Comment