Foto: www.jurnalfootage.net
Oleh Imam Muhtarom*
Budi Darma secara konsisten mengatakan bahwa kepengarangannya
disebabkan oleh takdir. Bakat, kemauan, dan kesempatan menulis hanyalah
rangkaian pernyataan takdir.
Budi Darma mendapat julukan penulis serba bisa. Salah seorang tokoh prosa Indonesia Angkatan 1970-an, ini dikenal sebagai pengarang yang revolusioner pada masa itu. Bahkan, Prof. A. Teeuw menilainya sebagai pengarang yang paling berhasil dalam usaha pembaruan, khususnya dalam hal teknik fiksi dan isinya. Penulis kelahiran Rembang, Jawa Tengah, pada 25 April 1937 ini dianggap sebagai pelopor penggunaan teknik kolase, dan karya-karyanya dapat disejajarkan dengan karya-karya mancanegara.
Nama Budi Darma merupakan nama pemberian sang kakek. Awalnya ditulis dalam satu rangkaian: Boedidarma. Tujuannya agar si pemilik nama berbudi baik dan mempunyai darma kepada sesama. Semua saudara Budi Darma diberi nama oleh kakeknya, kecuali adik bungsunya, yang diberi nama oleh ayahnya sendiri. Namun, Boedidarma kemudian sering dipanggil Budidarmo lantaran tinggal di lingkungan Jawa.
Orangtua Budi Darma adalah Munandar Darmowidagdo dan Sri Kunmaryati. Dari pasangan ini ia merupakan empat laki-laki bersaudara. Sosok Munandar Darmowidagdo, yang berprofesi sebagai pegawai pos, itu ternyata banyak memengaruhi karya sastra Budi Darma. Seorang tokoh tukang pos dinarasikan panjang lebar dan memegang peranan penting dalam novelnya Rafilus (1988). Bahkan, ada bab dalam novel itu yang berjudul “Upas Pos Munandir”. Tokoh Munandir dalam novel Rafilus merupakan tokoh penting. Ia memberi banyak informasi, pengakuan, dan rahasia tokoh-tokoh lainnya, baik melalui surat yang diantarkannya maupun dari pengakuan tokoh Munandir sendiri.
Ibu Budi Darma, Sri Kunmaryati, seorang ibu rumah tangga. Sejak kecil hubungan dengan sang ibu terbilang dekat. Budi Darma seriang berdiskusi dengan sang ibu berkenaan materi di majalah berbahasa Jawa Tjipto Kawedar. Misalnya mengenai Bharatayudha. Tidak aneh bila kelak Budi Darma mampu menjalin hubungan baik dengan banyak perempuan. Salah satu cerpennya yang berkenaan dengan ibunya adalah Kitri. Ibunya pernah melahirkan bayi perempuan, namun meninggal dalam usia beberapa minggu. Ibu Budi Darma mengalami keguguran tiga sampai empat kali.
Perjalanan fisik dapat dikatakan menjadi bagian penting dalam proses kepengarangan Budi Darma. Profesi ayahnya sebagai pegawai kantor pos membuat keluarganya sering berpindah-pindah tempat tinggal: Bandung, Kudus, Salatiga, Jombang, Semarang, dan Yogyakarta. Kelak, perjalanan menjadi simpul utama dalam karya-karyanya, terutama perjalanan ke luar negeri. India menghasilkan cerpen Gauhati, Nyonya Talis, sementara Amerika Serikat, dan Prancis melahirkan sebagian cerpen dalam Orang-Orang Bloomington, novel Olenka,d an novel Ny. Talis.
Selama penjajahan Jepang, Budi Darma merasakan betapa menderitanya rakyat Indonesia akibat kekejaman, kemiskinan, dan kelaparan. Suatu hari, Budi Darma kecil menyaksikan seorang serdadu Jepang mengemudikan sepeda motor besar dengan kecepatan tinggi, dan sengaja menabrak lelaki pribumi yang sedang berjalan dari belakang. Tubuh lelaki itu terpelanting ke atas, berputar sekejap di udara, sebelum terjatuh dengan suara mengerikan. Tubuh lelaki pribumi itu berkelejat sekejap, lalu diam. Sementara serdadu Jepang itu tetap melanjutkan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Mungkin, adegan itulah yang menjadi salah satu inspirasi yang menggambarkan kematian tokoh Rafilus atau Habibah dalam novel Rafilus dan kematian suami Ny. Talis dalam novel Ny. Talis (1996).
Semasa kanak-kanaknya, kehidupan Budi Darma lekat dengan pengalaman perang; masa-masa mengerikan penjajahan Belanda dan Jepang, Peristiwa Madiun, pemberontakan Tentara Islam Indonesia (TII) hingga peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pengalaman traumatik dialami Budi Darma ketika ia menyaksikan penyembelihan orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Terpenggalnya kepala-kepala orang PKI itu dituangkan dalam karya sastranya. Tokoh Rafilus dan Habibah dalam Rafilus serta suami Ny. Talis dalam novel Ny. Talis, tewas dengan kepala terpenggal.
Selain mengalami trauma masa perang, masa kecil Budi Darma dilalui dengan membaca dan bertanya. Selain gemar berjalan-jalan, ia pun senang ilmu pengetahuan. Ia sering pergi ke rumah tetangganya yang mempunyai bacaan, selain membaca majalah-majalah milik ibunya. Ia juga senang bermain layang-layang, mandi di sungai, dan bermain di dekat rel kereta api atau rel lori pengangkut tebu. Jika ada lori yang lewat, dengan seizin masinis, Budi Darma beserta teman-teman sepermainannya melindas paku untuk dijadikan pisau mainan. Pada masa kecilnya ia juga membuat mainan wayang-wayangan yang disorot lampu minyak sehingga tampak bayangan besar-besar di tembok.
Satu hal yang masih terus melekat pada diri Budi Darma hingga kini adalah, ia suka mempertanyakan segala sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian menjadi obsesi. Pertanyaannya bukan saja yang bersifat ilmu pengetahuan, melainkan ihwal yang lebih hakiki, misalnya mengapa manusia harus lahir, menjadi tua, dan meninggal. Bagaimana seandainya semua orang tidak pernah meninggal? Bagaimana seandainya manusia tidak pernah sakit? Mengapa orang ini tidak dilahirkan lima belas tahun yang lalu, melalui orangtua lain, di negara yang lain? Mengapa laut tidak penuh meskipun banyak sungai mengalir ke lautan? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengejar-ngejar Budi Darma pada waktu kecil, dan hingga sekarang terus menghantui pikirannya, menjadi obsesi.
***
Budi Darma secara konsisten mengatakan bahwa kepengarangannya
disebabkan oleh takdir. Bakat, kemauan, dan kesempatan menulis hanyalah
rangkaian pernyataan takdir. Bahkan, hambatan untuk menulis, dalam
bentuk apa pun, juga tidak lepas dari takdir. Ia sering berpikir mengapa
ia menulis. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang memaksanya untuk
menulis. Ia merasa bahwa tanpa menulis ia akan menjadi manusia tidak
bermanfaat. Namun begitu, katanya, seorang pengarang meski diliputi
teka-teki, mau tidak mau menulis mengenai takdir: menulis tentang
kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Alasan lainnya adalah kerena obsesinya
sendiri. Sejak kecil ia suka mempertanyakan berbagai hal dan sifatnya
lebih hakiki. Obsesi itu terus mengejarnya. Oleh karena itu, ia terus
menulis. Pada hakikatnya semua tulisan Budi Darma berkisar pada
pertanyaan-pertanyaannya. Dengan pertanyaan tadi, ia memberi jawaban
yang dijabarkan dalam bentuk cerpen atau novel. Setiap usai menulis, ia
merasa tidak puas dengan jawabannya sendiri. Oleh karena itu, ia terus
menulis lagi.Imajinasi merupakan modal kepengarangan Budi Darma. Baginya, kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang pengarang. Imajinasi dan kepekaan bagi seorang pengarang sifatnya personal. Kepengarangan bukanlah pertukangan. Kepekaan seorang pengarang akan meredup dengan sendirinya begitu ada kesibukan yang mengganggu, dan tidak akan kembali tajam begitu kesibukan itu hilang. Karena itu, menjadi pengarang jauh lebih sulit ketimbang menjadi, katakanlah, dekan, camat, atau polisi, meskipun tidak semua orang dapat dan sanggup menjadi dekan, camat atau polisi. Begitu seorang pengarang mati, tugasnya sebagai pengarang tidak dapat diambilalih orang lain. Sebaliknya, kalau dekan, camat, atau polisi mati, dalam waktu singkat akan ada orang yang dapat dan mampu menggantikannya.
Semua karya Budi Darma, menurut pengakuannya, lahir dalam perjalanan. Novel Olenka yang ditulisnya pada akhir 1979, merupakan hasil perjalanannya ketika ia menempuh studi di Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat (1974-1976). Saat itu, ketika hendak mendekati Gedung Tulip Tree, salju pun turun. Ia segera lari masuk gedung. Di dalam lift, ia bertemu seorang perempuan dan tiga anak laki-laki berpakaian kotor. Peristiwa itulah yang memicunya menulis Olenka. Bahkan, kalimat pertama yang memicu lahirnya novel Rafilus, yakni: “Rafilus telah mati dua kali, kemarin dia mati, hari ini tanpa pernah hidup lagi dia mati lagi”, lahir dalam perjalanan.
Novel Ny. Talis ditulisnya dalam tempo dua bulan, sejak 9 November 1990 sampai 8 Januari 1991, yakni dalam dalam perjalanan di Bloomington, Indiana, Amerika Serikat. Saat tinggal di Amerika Serikat, ia sering menginap di rumah orang Amerika. Cerita pendek Laki-laki Tua Tanpa Nama, Joshua Karabish, Keluarga M, Orez, Yorrick, Ny. Elberhart, dan Charles Lebourne, dalam kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington (1980), merupakan hasil pengamatan dan penghayatannya tentang cara pandang orang Amerika selama perjalanan. Meski pada waktu hujan salju ganas, Budi Darma tetap melakukan perjalanan. Kesenangannya berjalan-jalan itu masuk ke dalam cerpennya berjudul Bambang Subali Budiman (Horison, Oktober 1981).
Selain perjalanan, faktor bacaan juga memicu kepengarangan Budi Darma. Sajak karya Samuel Taylor Coleridge (1772-1834) berjudul Kubla Khan, masuk dalam cerpen Kritikus Adinan. Begitu pula cerpen karya Anton P. Chekhov (1860-1904) The Darling, Antic Hay (1923) karya Aldous Huxley (1894-1963), A Passage to India (1924) karya E.M. Foster (1879-1970), dan Women in Love karya D.H. Lawrence (1885-1930), yang masuk ke dalam novel Olenka. Sementara untuk karya-karya pengarang Indonesia, sajak-sajak karya Chairil Anwar (1922-1949) Derai-derai Cermara, Kesabaran, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Kerikil Tajam dan yang Terempas dan Terkandas, memicu lahirnya novel Olenka. Bahkan, Mahabharata, Al Quran, Kitab Perjanjian Lama (Genesis), Filsafat Ilmu karya Jujun S. Suriasumantri, serta Pengantar Ilmu Sastra karya Jan van Luxemberg dkk, juga masuk ke dalam novelnya Rafilus. Budi Darma pun sering mendengarkan musik dan ihwal lainnya yang berkaitan dengan musik, serta perihal penyakit dan kesehatan, yang juga masuk ke dalam novel Olenka dan Ny. Talis.
Suatu hari, pada musim gugur 1979, Budi Darma mendengarkan suatu pembicaraan dalam National Public Radio (NPR) mengenai orang-orang jenius yang memiliki jaringan sel otak khusus. Pembicaraan itu ternyata seputar komponis Johann Sebastian Bach, Ludwig van Beethoven, dan Fryderyk Franciszek Chopin. Pembicaraan yang ia dengarkan itu masuk ke dalam novelnya Olenka. Dengan demikian, novel Olenka secara keseluruhan sesungguhnya adalah cerminan pengalaman dan penghayatan Budi Darma mengenai kehidupan di Amerika. Sementara kumpulan cerpennya Orang-orang Bloomington merefleksikan pengalaman dan penghayatannya semasa di Bloomington.
Budi Darma tidak tahu apakah ia beruntung atau tidak memiliki imajinasi yang kadang-kadang ganas dan meletup-letup. Imajinasi adalah sesuatu yang tidak ada, kemudian ada dalam alam pikirannya. Makin tajam kepekaan seorang pengarang maka makin melejitlah imajinasinya. Makin tumpul kepekaannya, makin malas imajinasinya, kemudian mengantuk, tidur, dan mungkin mampus (Darma, 1982: 127). Imajinasi yang dia ingat dengan jelas terjadi pada saat ia naik kereta dari Madiun ke Surabaya. Entah mengapa, tiba-tiba ia seolah melihat pesawat terbang, sementara ia yakin pesawat terbang itu sebetulnya tidak ada. Imajinasi inilah yang kemudian hadir dalam cerpennya Dua Laki-laki. Imajinasi pesawat terbang itu juga masuk dalam novel Olenka, yaitu ketika tokoh Fanton Drummond naik pesawat terbang kecil bersama Arnold, anak sahabat karibnya, dan Wilson, anggota panitia pemilihan walikota Bloomington. Saat menulis novel itu, Budi Darma memang telah memiliki pengalaman terbang beberapa kali dengan pesawat terbang kecil. Ia tidak dapat melepaskan diri dari raungan pesawat terbang yang pernah melayap ke dalam otaknya beberapa tahun sebelumnya. Mungkin suatu hari nanti, ruang pesawat terbang itu akan hadir lagi dalam bentuk lain, tanpa ia minta, dan bahkan tanpa ia sadari.
Sebagai pengarang yang dikaruniai imajinasi yang menakutkan, Budi Darma tidak bisa menulis mengenai kehidupan yang manis, paling tidak sampai sekarang. Pengakuan Harry Aveling, bahwa “cerita-cerita Budi Darma menakutkan saya” (Horison, April 1974) adalah benar. Beberapa orang bergidik pada waktu membaca Orang-orang Bloomington: kesepian, ketuaan, penyakit disertai cinta, penyesalan, dan kehendak berbuat baik sangat mewarnai kumpulan cerpen ini. Oleh karena itu, kritikus yang menyebut Budi Darma sebagai “pengarang jungkir balik” tidak keliru: seperti juga logika dalam imajinasinya, karena logika dalam cerpen-cerpennya, baik absurd maupun realistis, banyak yang berjungkir balik.
Selain kepekaan dan imajinasi, menurut Budi Darma, seniman yang baik hakikatnya adalah intelektual yang baik. Mereka selalu dalam keadaan menyerap, terlibat dalam proses kreatif, dan menyeleksi apa yang mereka serap ke dalam komposisi yang hebat. Sebaliknya, seorang intelektual yang tidak memiliki kemampuan komposisi bukanlah pengarang. Begitu persepsi dan seleksi yang tinggi memadu dalam komposisi yang hebat, jadilah karya seni yang baik. Ketidakmampuan menemukan persoalan, menyebabkan seseorang tidak mungkin menulis mengenai suatu persoalan. Milik orang semacam ini terbatas pada kemampuan menceritakan kembali pengalamannya, atau apa yang pernah dilihatnya, didengarnya, atau dipelajarinya. Oleh karena itu, pengarang sebaiknya juga seorang peneliti—pengertian “penelitian” di sini bukan dalam arti yang formal—dan memiliki kehidupan intelektual, yaitu selalu mencari, selalu mengkaji, dan hidup dengan baik. Sikap hidup seperti itulah yang menunjang kreativitas. Apa pun bentuk dan forum pemikirannya, itu sudah merupakan kegiatan intelektual. Hal itulah yang ditunjukkan Budi Darma melalui esai-esainya; kecintaannya terhadap sastra dan keterlibatannya pada forum-forum sastra.
Budi Darma tidak pernah memperhitungkan bahwa menulis adalah untuk masa depan. Ia menulis hanya dengan memikirkan saat ini. Itu dikemukakannya di “Pengakuan” dalam Solilokui (1983). Baginya, apa yang pernah ia tulis tidak memiliki arti apa-apa lagi dan bahkan ia merasa malu terhadap tulisan-tulisannya sendiri pada masa lalu. Ia sadar, bahwa apa yang yang ia tulis saat ini akan menjadi bukan apa-apa, kelak bila saatnya tiba. Oleh karena itu, ketika menulis, ia hanya memikirkan saat ini. Ia merasa sebagai objek dan terbius oleh takdir. Ia tidak perlu tahu apa yang akan ia tulis. Semua akan datang dengan sendirinya tanpa ia rencanakan, tanpa dapat ia kuasai. Justru Budi Darma-lah yang dikuasai oleh apa yang akan ditulisnya. Cerpen-cerpennya dalam Orang-orang Bloomington, ditulisnya menjelang akhir 1979. Yang ditulisnya saat itu berada di luar kesadarannya sendiri. Dan, proses seperti itulah yang ia alami setiap ia menulis cerpen.
Budi Darma laiknya Sisipus. Seperti kata William Faulkner (1897-1962) yang sering ia kutip, “Kita semua gagal dalam mencapai impian kita mengenai karya yang sempurna, karena rata-rata kita berada pada kegagalan indah untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin terjangkau. Maka seorang seniman terus bekerja, berusaha lagi, (dan) seorang seniman percaya, bahwa setiap kali dia berusaha lagi dia akan berhasil” Oleh karena itu, ia tidak takut gagal saat ia menulis.
Namun, ada satu ketergantungan saat Budi Darma menulis, yaitu suasana baik dan mesin tulis. Tanpa mesin tulis, otaknya sering macet dan imajinasinya yang sudah terlanjur menggebu-gebu terpaksa gugur dengan sendirinya. Jika ia dapat menulis tanpa mesin tulis, barang yang sudah jadi ini berjuang kembali mencari wujud yang baru. Pada saat mengetik, ia kewalahan untuk tidak mengubah-ubah, mempertentangkan, dan memperkelahikan apa yang sudah ia tulis sendiri. Meski bergantung pada mesin tulis dan suasana baik untuk menulis, sebenarnya mereka hanyalah sarana dari persoalan yang lebih mendasar yang tertangkap oleh inderanya, yakni tentang kepahitan hidup manusia sendiri.
Masalah kebetulan juga tak lepas dari proses saat ia menulis. Budi Darma telah berusaha merumuskan masalah kebetulan yang kurang lebih identik dengan afinitas. Ia menyadari bahwa masalah kebetulan banyak ditentukan oleh selektivitas. Hanya yang mengesankanlah yang memengaruhi proses penulisan. Dalam keterlibatannya dengan segala hal, ia selalu dalam proses melakukan seleksi. Dalam novel Olenka, balon Trans-Amerika da Vinci melintasi udara Bloomington pada 1 Oktober 1979 malam hari. Pada saat itulah tokoh Olenka meninggalkan tokoh Fanton Drummond untuk selama-lamanya. Akan tetapi, da Vinci tidak begitu saja masuk ke dalam Olenka, jika tidak jauh sebelumnya ia tidak menyukai berita tentang penerbangan balon. Bahkan, beberapa tahun sebelum menulis Olenka, Budi Darma sudah pernah melintasi udara Bloomington dengan menumpang sebuah balon. Budi Darma sendiri sering memerhatikan pertandingan naik balon yang tinggal-landasnya di lapangan Tulip Tree. Memang benar da Vinci gagal mendarat di Washington karena cuaca di seluruh Amerika Serikat Barat Tengah waktu itu sangat buruk. Sementara dalam Olenka, Budi Darma menyatakan, bahwa balon itu disimpan di sebuah museum di Washington setelah berhasil mengarungi udara Amerika. Artinya, ada alasan-alasan yang kuat suatu materi cerita dimasukkand alam karyanya.
Masalah kebetulan yang berupa afinitas yang diwujudkan antara tokoh Fanton Drummond dan tokoh Olenka tidak mengakibatkan Budi Darma jatuh pada ketidakkonsistenan dalam menggarap suatu cerita. Selain terkait topik tersebut menghantui setiap manusia dari dulu hingga sekarang, gagasan tentang afinitas ini diperoleh Budi Darma dari Antic Hay karya Aldous Huxley, A Passage to India karya E.M. Forster, Jane Eyre karya Emily Jane Brontë (1818-1848), dan cerpen Manu karya P.S. Rege (Roop Katthak). Afinitas tidak lain juga selubung misteri bagi manusia. Berdasarkan dari karakter misteri itu sendiri penggarapan dalam cerita menunjukkan kemisteriusan itu sendiri. Misteri bisa muncul tiba-tiba dalam sebuah cerita karena ia adalah misteri. Budi Darma dapat menggarapnya dalam cerita tanpa harus merontokkan ceritanya, bahkan justru menguatkannya.
Budi Darma dapat menulis dengan cepat tanpa pernah berpikir tentang pembaca. Ketika bertemu Nugroho Notosusanto, ia dapat menulis tiga cerpen dalam sehari dan semuanya dimuat dalam majalah sastra Cerita. Meski saat menulis ia tidak pernah membayangkan adanya pembaca, namun ia tidak meneror pembaca dengan kepalsuan, melainkan dengan keterusterangan. Keterusterangan adalah kebahagiaan baginya, sekaligus yang menyebabkannya menderita, yaitu ketika menghadapi fakta sebagai gejala dari sesuatu yang jauh lebih hakiki. Pengalamannya menulis cepat itu masuk ke dalam Olenka. Tokoh Wayne yang semula sulit menulis, tiba-tiba dapat menulis cerpen dengan lancar.
Novel Olenka setebal 232 halaman diselesaikan Budi Darma dalam waktu kurang dari tiga minggu. Novel Rafilus sebanyak 186 halaman ditulisnya Juli 1985 hingga September 1985 di Singapura. Itu pun terpotong oleh urusannya di Singapura, di Cambridge, di London, dan di Jakarta. Novel Ny. Talis setebal 265 halaman ditulis di Indiana University Bloomington, Indiana pada 9 November 1990 hingga 8 Januari 1991.
Hal yang menarik lainnya adalah seusai menulis karya-karyanya, ia akan menulis kembali, namun bukan memperbaiki tulisan yang sudah jadi, melainkan mengetik kembali tulisannya yang berupa tulisan tangan. Saat menulis novel Rafilus, ia menulisnya dari konsep ke naskah siap cetak, dan ada bagian yang direvisi. Hal ini ia akui dalam catatan akhir novel Rafilus.
Dalam naskah tulisan tangan saya yang asli, sebenarnya Pawestri mengakui keterbatasan daya jangkau pikirannya dalam melihat takdir. Entah mengapa, pada waktu mengetik naskah ini menjadi naskah siap untuk diterbitkan, pengakuan Pawestri terlepas. Dan sebenarnya saya tidak sengaja melepaskannya (Darma, 1988: 196).
Selain mengetik tulisannya kembali yang berupa tulisan tangan, Budi Darma selalu membuat catatan-catatan setelah cerpen-cerpen dan novelnya selesai ditulis. Hal tersebut muncul karena setelah menulis karya sastra, ia merasa menjadi orang gagal, kecewa, dan malu terhadap tulisan-tulisannya sendiri pada masa lalu—hal ini berkaitan dengan satu-satunya obsesi ketika ia menulis cerpen pada akhir 1960-an dan pada awal 1970-an. Saat itu kehidupan serba sukar, yaitu obsesinya mendapatkan mesin tulis, lalu menulis, lain tidak—sehingga menjadikan Budi Darma untuk tetap menulis, seperti “Pengakuan” dalam Solilokui, “Mulai dari tengah” dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Pamusuk Eneste, peny.), “Prakata: Mula-mula adalah tema” dalam Orang-orang Bloomington, “Asal-usul Olenka” dalam Olenka, “Exordium”, “Abstraksi”, “Catatan” sebagai perenungannya tentang novel Rafilus, dan “Menengok Masa Lampau” dalam Fofo dan Senggring. Meskipun demikian, Budi Darma tahu bahwa dalam setiap tahap perkembangannya, ia menyelesaikan sesuatu yang utuh, tidak setengah-setengah, dan tidak eksperimental.
Budi Darma merupakan penulis produktif dengan kualitas yang terus terjaga. Sepanjang masa kepengarangannya, tidak ada karya yang keluar dari konsep kepengarangannya. Semua karyanya tidak lain benih dari konsep kepengarangan yang ia hayati. Menulis cerita dengan materi apa pun karya itu selalu memiliki kekhasan atau sidik jari Budi Darma. Dalam karya-karyanya entah itu yang realistis maupun absurd ada konsep yang terus dipegangnya secara konsisten. Bukan pada aliran penulisannya melainkan pada tokoh manusia yang digarapnya. Memang, Budi Darma berkecendrungan menulis tentang manusia-manusia aneh dan tak bernama semisal tokoh penyair besar, laki-laki setengah umum, laki-laki mencurigakan, dan orang-orang pengadilan. Bukan nama yang menjadi persoalan, tetapi bagaimana karakterisasi tokoh-tokoh itu sehingga membentuk sosok yang kuat.
Latar dalam cerpen dan novel Budi Darma sesungguhnya menunjuk pada situasi yang dialami tokoh-tokohnya dan bukan menunjuk pada latar bersifat sosial apalagi fisik. Ia lebih banyak memerhatikan masalah-masalah yang berlaku secara universal. Meskipun bahan-bahan karya sastranya mengambil latar di Indonesia, namun bahan-bahan itu diolahnya sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki jarak dengan bahan mentahnya. Karya-karyanya adalah suatu bentuk pemikiran tentang kepahitan dan kekosongan hidup; kesepian, keterasingan, kesendirian, dan kekejaman.
Karya-karya Budi Darma memiliki ciri khas: pusat ceritanya ada pada tokoh. Tokoh mendapat perhatian utama, bahkan yang utama. Tokoh bersama penokohannya diletakkan pada titik utama untuk menerjemahkan tema supaya menjadi konkret. Hampir semua karyanya adalah bentuk penerjemahan gagasan yang abstrak berupa manusia kesepian, sulit mengadakan komunikasi dengan orang lain, ke dalam cerita yang nyata. Kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington bisa menjadi contoh yang baik. Sembilan cerpen yang ditulisnya saat menempuh pendidikan di Bloomington, bercerita seputar orang-orang yang diamatinya di Bloomington. Dalam cerpen-cerpen tersebut tidak terdapat kegamangan dalam bercerita karena seluruh ceritanya berlatar di Kota Bloomington.
Kemampuan untuk memasuki jiwa tokoh-tokohnya membuat Budi Darma tidak mengalami gegar budaya untuk menuliskan cerita-cerita yang bukan miliknya. Tidak ada masalah kultural dalam dirinya. Bahkan, dalam Olenka, latar budaya Barat bisa dicerna sebagaimana orang Barat memahaminya.
Sebaliknya, karya-karya Budi Darma dalam Rafilus, Nyonya Talis, dan cerpen-cerpen yang berlatar Indonesia, tidak lantas dipenuhi corak sosial-kultural Indonesia. Karya-karya tersebut tidak langsung mengacu pada Surabaya meskipun secara fisik novel Rafilus dan Nyonya Talis berlatar kota Surabaya. Kota-kota yang dihadirkan dalam novel Budi Darma bukan kota yang tertera dalam opini banyak orang tentang kota tersebut, atau kota yang tertera dalam brosur biro perjalanan. Kota-kota tersebut adalah kota yang ada dalam bayangan tokoh-tokohnya lewat imajinasi Budi Darma selaku pengarang.
Budi Darma memasuki jiwa tokoh-tokohnya berdasarkan sifat-sifat, antara lain culas, baik, jahat, pendendam, dan seterusnya. Tokoh-tokoh tersebut tidak jatuh pada sentimen lokal di mana tokoh tersebut berada. Dalam istilah Budi Darma sendiri, ia mengebor sukma tokoh-tokohnya. Dengan mengebor sukma itu secara tidak langsung ia bisa dikatakan kosmopolit. Ia tidak latah pada konteks lokal, tetapi ia masuk pada sanubari manusianya. Misalnya cerpen Gauhati yang berlatar India. Tidak terasa keindiaannya dalam cerpen tersebut. Justru, pembaca hanya mengalami pergulatan kemanusiaan itu dengan jiwanya masing-masing.
Konsep kepengarangan Budi Darma inilah yang membedakan sekaligus memberi kekhasan pada keseluruhan karya-karyanya. Ia membaca banyak buku dan karya-karya orang lain, tetapi ia sama sekali tidak terbawa oleh karya-karya mereka. Konsep kepengarangan itulah yang memandu dan membuat karya-karya Budi Darma nyaris tidak mendapatkan epigonnya. Sebab konsep kepengarangannya bukanlah soal menulis, melainkan pandangan keseluruhan yang dibuat dan dihayati sang pengarang sepanjang hidupnya.
* Imam Muhtarom, lahir 12 Mei 1977. Lulus dari Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya pada 2001. Menulis fiksi, resensi buku, ulasan sastra, penulis pameran seni rupa, dan karya terjemahan. Pada 2000 dan 2001 dua fiksinya diantologikan dalam Gonjong 1 dan Potret Keluarga (Universitas Negeri Padang-Universitas Deakin Australia), dan dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Mendapatkan penghargaan Blog Sastra (2011) dari Badan Bahasa, Jakarta. Salah satu dari 10 Terbaik penulisan cerpen Harian Bali Post (2002). Kumpulan cerpennya Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan diterbitkan Grasindo (2007). Cerpennya masuk dalam Kumpulan cerpen bersama Si Murai dan Orang Gila (DKJ dan Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), dan Matahari di Nusantara (Pusat Bahasa, Kemendiknas, 2010). Buku kumpulan esei sastra KULMINASI, Teks, Konteks, Kota akan terbit pada 2013. Penelitiannya mengenai karya Budi Darma, antara lain Tokoh dan Penokohan dalam Kumpulan Cerita pendek Orang-Orang Bloomington Karya Budi Darma. Kini, kurator Borobudur Writer and Cultural Festival 2012.
NB : diambil dari web www.kultur-majalah.com
____________________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
1 comments:
saya mulai tertarik untuk membaca tulisan beliau
Post a Comment