Blogroll

Thursday, December 19, 2013

Gembritt Foury

 photo ArtistJulianTrevelyan19101988TitleCretanWitchesFightingDate1964MediumIntaglioprintonpaperDimensionsimage350x476mmCollectionT_zpsbda9a020.jpg
Artist: Julian Trevelyan (1910‑1988) | Title: Cretan Witches Fighting | Date: 1964 
Medium: Intaglio print on paper | Dimensions: image 350 x 476 mm | Collection: Tate

Cerpen M Shoim Anwar

Dia adalah anak keempat dari dua bersaudara. Orang tuanya memberikan nama Foury. Lengkapnya Gembritt Foury. Tetapi saya lebih senang memanggilnya Gembritt. Dia adalah seorang imigran dari Mobile, Alabana. Di sana dia tinggal di daerah pemukiman campuran, tepatnya di Herndon Avenue. Ibunya seorang kulit hitam bernama Mary Gellhorn, dan ayahnya seorang kulit putih bernama Robert Duke. Banyak orang yang bersimpati pada keluarga ini. Namun banyak juga yang sinis karena nafas rasialisme masih berkembang di mana-mana.

Tiba-tiba gerakan kelompok Ku Klux Klan yang anti kulit hitam itu menggila. Ibu Gembritt suatu ketika ditemukan di belakang rumah dalam keadaan luka parah, bahkan hampir tewas. Ini tentu disiksa oleh kelompok itu. Korban kulit hitam memang terus berjatuhan secara misterius. Orang tua Gembritt akhirnya pindah ke Havana, Kuba.
Di Havana ini saya menemukan Gembritt dan mengenalnya untuk kali pertama saat ada pertunjukan orkestra di Teatro Nacional. Gembritt mengaku bersekolah di Akademi Dansa yang terletak di kompleks ini pula. Malam itu kami mencoba untuk berdansa. Liuk-liuk dan gerakan kaki Gembritt memang rapi. Kali ini saya belum sempat bicara banyak dengannya. Acara dansa itu pun terjadi karena ada seorang teman yang menggeret saya.

Pertemuan kedua dengan Gembritt terjadi di bar Floridita. Seperti dulu kami berdansa lagi. Bahkan hingga puas, setelah gagal pasang taruhan Jai Alai Fronton, saya mengajak Gembritt menenggak cocktail: campuran sari jeruk, es batu, dan rum.
"Kau tinggal di mana, Gembritt ?" saya bertanya kepadanya.
"Di Ambos Mundos," jawab perempuan itu.
"Sendirian ?" saya mencoba mengorek.
"Ya", jawab Gembritt," lebih tenang daripada kumpul keluarga. Kau mau ke sana Shoim Anwar ?"
"Ooo...senang sekali," saya mengangguk-angguk.
"Nanti kau boleh ikut."
Lonceng di bar berdentang sebelas kali. Kami keluar dari bar dan berjalan membelakangi gedung yang luas itu. Potongan kayu tiba-tiba menghantam pagar di dekat kami. Saya dan Gembritt terjingkat. Gembritt saya tahan sejenak.
"Orang mabuk," katanya, lantas ia mengajak pergi cepat-cepat. Setelah belok ke barat sampailah di Ambos Mundos. Kami naik elevator ke lantai enam sebelah timur, ke apartemen Gembritt.

Dari kamar ini Havana tampak tersepuh cahaya warna-warni. Di sepanjang broadway sisa-sisa mobil yang lewat sorot lampunya seperti bianglala meleot-leot. Gedung-gedung menebarkan gemintang berjuta-juta yang beraneka bentuk dan warna. Bangunan Palaciao de los Capitanes Generales, hotel yang terkenal itu, tampak bagai raksasa kota yang gagah. Sedangkan di sebelah utara katedral tua kelihatan seperti cemara tambum.
"Di sini nyaman," kata Gembritt mendekati saya, "kalau siang kita bisa menikmati semenanjung Casablanca dengan kapal yang mondar-mandir di mana-mana. Lihatlah!" Gembritt menuding ke timur, tampak lampu-lampu kapal dipantulkan air semenanjung.
Beberapa saat saya berdiri di mulut jendela. Udara sangat dingin. Bulan November seperti ini angin sudah mulai mengangkut udara salju. Gembritt menyodorkan sesloki anggur warna merah darah. Seusai minum, saya duduk di bibir dipan. Gembritt mengganti lampu berwarna hijau. Malam itu kami belum sempat tidur. Darah kami terus terkesirap dan gelora hidup jadi menggelegak.

Mendekati pukul dua malam tiba-tiba terdengar tembakan di luar. Saya dan Gembritt terkejut. Tampaknya tembakan terjadi di bawah apartemen ini. Gembritt segera bangkit dan saya menyusulnya. Kami melihat ke bawah melalui kaca jendela.
"Mereka pasti kaum oposisi, " kata Gembritt.
"Siapa mereka itu?"
"Anak buah Fidel Castro. Castro telah menunggangi mereka."
Tembakan terdengar kembali. Kelihatan sekelompok orang berlari menyeberangi jalan. Kemudian terdengar teriakan. Tiga menit setelah itu datang mobil patroli dengan mengangkut sepasukan tentara. Perburuan sepertinya terjadi di bawah sana. Situasi politik di Havana akhir-akhir ini memang menghangat, insiden-insiden sering terjadi, beberapa kelompok pasukan siap di tempat-tempat tertentu dan sisanya mondar-mandir di jalanan. Selebaran-selebaran gelap beredar di mana-mana, isinya menyatakan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem politik dan kepemimpinan Gerardo Machado.
Tiba-tiba pula terdengar sirine mobil di sebelah barat sana. Kami berusaha melihat dari lantai enam ini. Tetapi tetap tak jelas. Kemungkian besar ambulan mengangkut mayat. Tiga hari lalu terjadi penembakan atas seorang pejabat kementrian dalam negeri. Gembritt sekonyang-konyong tertawa sinis.

"Apa?" saya bertanya.
"Politik!" jawabnya sambil meninggalkan jendela.
"Mengapa politik ?"
"Kata orang, politik itu ladang yang paling banyak ditaburi dosa karena ambisi kekuasaan. "
"Kau melihat begitu?"
"Tentu saja! Mulanya berjanji akan memperjuangkan nasib rakyat. Tapi lama-lama rakyat diperas. Kekayaan negara diserap dan ditumpuk untuk anak cucunya dengan didirikan perusahaan di mana-mana. Pemimpin ini memberikan jabatan-jabatan penting pada segenap keluarga, kendati sebenarnya tidak becus. Mereka membentuk jaringan-jaringan politis dan ekonomis. Aku takut penggantinya nanti juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa politikus itu punya prinsip seperti yang dikatakan Machiavelli : It is better to be feared than to be honored. Atau seperti kata Caligula : Oderintum dum metuantum."

"Jadi mereka lebih suka ditakuti daripada dihormati ?"
"Yes! It's right! Mereka ini kalau pensiun akan dicibirkan oleh orang-orang kecil. Tidak heran banyak pensiunan yang stres."
Kami terus bicara. Gembritt ternyata punya wawasan yang baik. Dan malam terus meluncur. Darah kami menggelegak sampai malam tiba.


*****

SEPERTI yang telah disepakati bersama, pertemuan saya dengan Gembritt menjadi sering. Saya sering tidur di apartemennya. Demikian pula dia sering tidur di apartemen saya, di Parcue Central, di Malencon Street. Hubungan kami berjalan sangat mesra. Saya memang merasa cocok dengan Gembritt. Karena perpaduan kulit hitam dan kulit putih dari orang tuanya, warna kulit Gembritt jadi sawo matang seperti saya. Tubuh Gembritt tinggi besar dan sedikit sangkuk. Orang bilang postur demikian nafsu seksnya besar dan kuat. Suka menghabiskan sekian banyak lelaki. Sedang rambutnya yang hitam bergelombang dipotong setinggi pundak. Hidungnya besar dan mancung serta sedikit mengelembung pada bagian tengahnya. Mirip hidung istri saya di Tanah Air. Untung tidak seperti paruh burung betet.
Ada satu yang aneh sekali. Saat berjalan dengan Gembritt terlalu sering kami digampar orang dengan potongan kayu, batu, atau benda-benda kasar lainnya. Dua hari lalu kaki Gembritt hampir pincang karena terserempet hantaman batu. Memang, dari sekitar ini orang dengan mudah dapat menelikung, atau langsung membaur dengan kerumunan orang di depan bar. Laki-laki mabuk banyak gentanyangan di kafe-kafe seafood. Tidak jarang mereka menjegal orang lewat dan minta uang. Gembritt selalu menganggap peristiwa ini biasa-biasa saja. Sementara itu insiden-insiden dan intrik-intrik politik terus terjadi di mana-mana.

Meski sudah sering bersama Gembritt, saya masih belum paham benar kegiatan apa yang dilakukannya tiap malam hingga selalu keluar. Setiap kali saya menjumpainya pasti di sekitar bar Floridita, atau kalau siang di tempat pemancingan ikan Slpoy Joe's di Key West. Pemilik pemancingan ini, Joe Russel, ternyata sudah kelewat akrab dengan Gambritt. Kadang-kadang Gembritt juga berbaring di tepi pemandian dekat pemancingan itu. Sekolahnya di Akademi Dansa juga tidak layak disebut sekolah.
Suatu ketika saya berhasil menemukan Gembritt di kawasan Key West. Dia membawa bungkusan agak besar. Kami berbicara beberapa saat. Waktu saya bertanya apa isi bungkusan itu, Gembritt menolak menjawab dengan amat tegas.
"Tidak semua urusanku perlu kauketahui," katanya.
"Tapi aku cuma bertanya?"
"Kalau cuma bertanya itu namaya iseng. Pekerjaan iseng tidak akan memberi manfaat yang berarti.

Setelah berjanji untuk bertemu besok malam, Gembritt dengan cepat menyeberang dan menuju ke halaman kantor pemerintah bertingkat tiga. Gembritt melewati celah-celah mobil yang diparkir. Saya sendiri tidak bisa terlalu lama di sini. Urusan lainnya harus segera beres. Langsung saja saya mencegat taksi.

Secara kebetulan, dua jam setelah itu, saya kembali melewati jalan tempat berjumpa dengan Gembritt tadi. Ternyata di halaman gedung yang dimasuki Gembritt tadi baru saja terjadi ledakan bom. Beberapa mobil rusak berat dan bagian depan gedung babak belur. Adakah hubungan meledaknya bom ini dengan Gembritt?


*****

MALAM itu telepon di kamar Gembritt terus berdering tiap tiga menit sekali. Tapi penelponnya tak juga mau bicara. Tampaknya ia cuma mau main-main, atau sengaja menteror barangkali. Kejadian itu berlangsung sekitar setengah jam.
"Aku mau keluar," kata Gembritt sambil melemparkan kunci pada saya. Sepertinya sudah tidak sabar dan ingin melesat saja. Tapi saya segera menyabet lengannya dan menarik mendekat.
"Ke mana kau?"
"Tunggu di sini!"
"Kau jangan terpancing oleh godaan, Gembritt."
"Ini bukan lagi godaan! Tapi teror!" katanya sambil mendelik.
"Apakah kau tahu siapa yang menelepon itu?"
"Dia pasti.... " kata-kata Gembritt terputus. Saat itu pula Gembritt membetot lengannya dan melesat pergi.
Telepon tak lagi berdering. Satu jam setelah itu Gembritt menelepon saya. Dia bilang akan ke rumah orang tuanya di Finca Vigia, sebuah kawasan luar kota Havana, selama seminggu. Ayah Gembritt sendiri katanya adalah mantan legiun Amerika yang sekarang mengalami cacat kaki karena diberondong oleh musuh.

Tiga hari setelah kepergian Gembritt, situasi Kuba mendidih. Tembakan sering terdengar di mana-mana. Para mahasiswa turun ke broadway sambil meneriakkan yel-yel. Mereka menentang rezim diktator Gerardo Machado. Dikabarkan pula bahwa di sekitar bandara Havana terjadi hal serupa. Delapan mahasiswa tewas ditembak tentara, lainnya luka-luka. Sementara dari kelompok sempalan yang didalangi Fidel Castro mengajukan protes keras terhadap penguasa yang dianggap tiran itu. Sementara itu golongan mahasiswa katanya belum jelas aspirasinya terhadap sosok pemimpin yang dijago mereka. Sikut-sikutan antar kelompok masih amat sengit, khususnya antara kelompok sosialis dan demokrat. Fidel Castro sendiri kabarnya menganut aliran sosialis-komunis.
Sebagai orang asing, saya tidak mempunyai kepentingan langsung dengan situasi ini. Orang-orang bergerombol di sana-sini saya lewati begitu saja. Sementara polisi patroli mondar-mandir di jalanan. Hari sudah sore. Dari sini saya langsung melesat ke Akademi Dansa. Saya agak tak percaya kalau Gembritt jadi ke Finca Vigia. Dalam perjalanan ini mata saya menjilat-jilat ke setiap kerumunan, barangkali saja Gembritt tercecer di antara mereka.
Ternyata dugaan saya betul, Gembritt saya jumpai di bar Floridita. Suasana di sini tetap ramai, para pengunjung berkelompok-kelompok menghadapi meja masing-masing, ada yang bermain kartu, bermain gitar, mabuk, dan ada pula yang berdansa. Orang-orang ini sepertinya tak punya kepentingan dengan politik. Cepat-cepat saya mendekati Gembritt di dekat pilar.

"Gembritt!" saya memanggil, dia menoleh, matanya tajam berkilat. Bersamaan dengan itu laki-laki tua pengamen datang menyanyikan lagu rakyat. Cepat-cepat saya beri, lantas dia pergi terbongkok- bongkok.
"Kenalkan tema saya," Gembritt memperkenalkan laki-laki di sampingnya. Laki-laki itu memperkenalkan namanya, "Morris Dees."
"Shoim Anwar," saya membalas.

Tampaknya Gembritt tak punya minat bicara dengan saya. Sayapun tak bicara apa-apa. Setelah duduk beberapa saat saya putuskan untuk pergi saja. Gembritt tidak memberikan reaksi apa-apa. Dia telah dicengkeram oleh lelaki lain. Petang itu pula saya langsung pulang ke apartemen saya di Malencon Street. Kukuhlah dugaan saya bahwa Gembritt mengantongi ketidakberesan. Dia selalu keluyuran tiap malam.


*****

SITUASI Havana semakin kacau. Yel-yel mahasiswa tambah berani di jalan-jalan. Pertumpahan darah mulai terjadi antar tentara dan massa. Karena keadaan semakin mengkhawatirkan, rindu tanah air tiba-tiba menjadi kuat dalam diri saya. Saya ingin pulang ke Indonesia cepat-cepat. Setyowati, istri saya, tentu sudah amat rindu dengan saya. Pada bulan seperti ini pohon jambu di belakang rumah pasti sudah berbuah. Bumi Surabaya seperti telah memanggil-manggil. Bunga-bunga yang terawat dengan rapi di halaman rumah sana sepertinya sudah di depan mata. Rambut dan jenggot saya pun sudah amat panjang. Setyowati biasanya memotong rambut dan jenggot saya itu dengan lembut. Rindu istri dan tanah air sudah amat menggumpal di dada.

Sudah seminggu pula saya tak bertemu dengan Gembritt. Saya ingin menemuinya. Terus terang, walau saya menyadari Gembritt mengantongi ketidakberesan, saya kesulitan untuk melupakan dia dengan begitu saja. Paling tidak, saya bertekad untuk meremasnya sebelum pulang ke Tanah Air.
Saya ingat bahwa kunci kamar Gembritt masih saya bawa. Ini berarti dia belum pulang, atau mungkin dia membawa kunci dua.

Dari Malencon Street saya langsung melesat ke Ambos Mundos untuk memburu Gembritt. Barangkali saja dia di kamarnya. Saya ingin menelannya.

Kamar Gembritt ternyata masih terkunci. Beberapa saat saya mondar-mandir di depannya, lalu duduk di teras. Entah mengapa perasaan saya jadi tidak enak. Saya merasa cemas tanpa suatu sebab yang jelas. Sebenarnya saya dapat membuka kamar itu cepat-cepat. Tapi saya seperti kehilangan semangat. Sekali lagi saya mondar-mandir di depannya.
Akhirnya keinginan saya menjadi kuat untuk segera membuka kamar itu. Saya pun segera menusukkan kunci ke lubangnya. Dan rontoklah jantung saya seketika: glarrr! Saya terkejut alang kepalang. Saya melihat Gembritt terkapar di lantai. Tampak darah berceceran dan sudah mulai mengering. Tampaknya darah itu bekas mengalir dari dadanya. Saya bergetar dan amat takut untuk mendekat dan menyentuhnya. Saya menatap sekeliling. Ternyata semua jendela masih tertutup rapi dari dalam. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Pun tidak ada tanda-tanda dia mati bunuh diri dengan benda tajam. Kulihat mulut Gembritt menganga dan menakutkan.

Jantung saya berdegup-degup kencang. Rasa kehilangan muncul dalam diri saya. Saya jadi tak mengerti apa yang harus saya lakukan. Tapi yang jelas, saya tak ingin terlibat dengan masalah ini secara berkepanjangan. Sebab, tak urung nanti saya pasti terlibat karena kunci kamar saya yang membawa. Gembritt tetap tak saya sentuh. Saya menjadi oleng. Saya harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Saya hanyalah orang asing di sini. Saya harus segera pulang ke tanah air biar terlepas dari kasus ini. Surat jalan harus cepat-cepat saya dapatkan. Rindu istri dan tanah air bertambah mendedak dalam dada.
Lantaran situasi Havana kacau, pengurusan surat tersendat-sendat jadinya. Sementara bayangan Gembritt terus mengejar-ngejar saya. Gembritt sepertinya berdiri di setiap sudut sambil memanggil saya dengan lambaian tangan. Dua hari berikutnya surat jalan telah saya dapat. Kebetulan pesawat ke Kuala Lumpur akan terbang nanti sore. Dari sana dengan mudah saya dapat transit ke tanah air.
Hari ini saya menginjak bumi Kuba untk yang terakhir kalinya. Di lobi bandara Havana saya sudah siap-siap menghadapi pemeriksaan, bersama penumpang-penumpang lainnya. Sementara itu Gembritt masih saja mengejar-ngejar saya di setiap sudut, bahkan semakin menghebat.

Beberapa penumpang telah lolos. Kini giliran saya untuk diperiksa para petugas bandara. Paspor dan segala perbekalan saya siapkan dengan seksama. Saya berdoa semoga sampai ke tanah air dengan selamat. Seorang di antara petugas tiba-tiba menatap saya dengan tegas. Dia segera menunjukkan kartu anggota kedinasan. Ternyata dia dari anggota intelejen polisi kota praja.

"Anda terlibat dalam pembunuhan Gembritt Foury di Hotel Ambos Mundos. Sekarang Anda harus ikut kami untuk dimintai keterangan !"
Jantung saya benar-benar rontok. Dengan cepat saya digiring dua orang polisi kota praja. Menuju ke pintu bandara. Di sana telah siap sebuah mobil dinas. Orang-orang sama memperhatikan saya.

Mobil dengan cepat melasak ke pusat kota Havana. Tubuh saya benar-benar mandi keringat. Apa yang harus saya katakan dalam interogasi nanti, sementara kunci kamar Gembritt memang saya yang membawa. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Pun saya tak mau lapor saat mengetahui kejadian itu. Sidik jari saya tentu masih melekat di pegangan pintu kamar. Saya jelas bersalah dalam perkara ini. Urusan jelas berkepanjangan sebelum semuanya terungkap. Atau barangkali saya terpaksa mendekam di penjara karena kasus itu tak dapat diungkap polisi. Dalam perjalanan ini saya selalu berdoa, semoga rezim Gerardo Machado dan pengikutnya segera ditumbangkan dan ditembak mati oleh kelompok sempalan. Dengan demikian nantinya akan terjadi abolisi massal.
Tapi tiba-tiba saya punya pikiran lain. Havana sedang kacau. Para demonstran sudah banyak yang tewas oleh moncong senjata. Dalam kekacauan hanya senjalah yang lebih banyak bicara. Mata saya terasa basah. Sepertinya ada firasat bahwa beberapa jam lagi saya sudah menjadi mayat! ***

*) Cerpen bertitimangsa Surabaya, 2003, ini dipetik dari Suara Merdeka  12/28/2003.


M. Shoim Anwar dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 16 Mei 1963. Karya-karyanya antara lain Sang Pelancong (1991), Angin Kemarau (1922), Oknum (1992), Musyawarah Para Bajingan (1993), dan Pot dalam Otak Kepala Desa (1995). Cerpennya terdapat pula dalam banyak antologi bersama antara lain New York After Midnight (1991).

___________

Redaktur SARBI: Dody Kristianto


0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post