Artist: Julian Trevelyan (1910‑1988) | Title: Cretan Witches Fighting | Date: 1964
Medium: Intaglio print on paper | Dimensions: image 350 x 476 mm | Collection: Tate
Cerpen M
Shoim Anwar
Dia adalah
anak keempat dari dua bersaudara. Orang tuanya memberikan nama Foury.
Lengkapnya Gembritt Foury. Tetapi saya lebih senang memanggilnya Gembritt. Dia
adalah seorang imigran dari Mobile, Alabana. Di sana dia tinggal di daerah
pemukiman campuran, tepatnya di Herndon Avenue. Ibunya seorang kulit hitam
bernama Mary Gellhorn, dan ayahnya seorang kulit putih bernama Robert Duke.
Banyak orang yang bersimpati pada keluarga ini. Namun banyak juga yang sinis
karena nafas rasialisme masih berkembang di mana-mana.
Tiba-tiba
gerakan kelompok Ku Klux Klan yang anti kulit hitam itu menggila. Ibu Gembritt suatu
ketika ditemukan di belakang rumah dalam keadaan luka parah, bahkan hampir
tewas. Ini tentu disiksa oleh kelompok itu. Korban kulit hitam memang terus
berjatuhan secara misterius. Orang tua Gembritt akhirnya pindah ke Havana,
Kuba.
Di Havana
ini saya menemukan Gembritt dan mengenalnya untuk kali pertama saat ada
pertunjukan orkestra di Teatro Nacional. Gembritt mengaku bersekolah di Akademi
Dansa yang terletak di kompleks ini pula. Malam itu kami mencoba untuk
berdansa. Liuk-liuk dan gerakan kaki Gembritt memang rapi. Kali ini saya belum
sempat bicara banyak dengannya. Acara dansa itu pun terjadi karena ada seorang
teman yang menggeret saya.
Pertemuan
kedua dengan Gembritt terjadi di bar Floridita. Seperti dulu kami berdansa
lagi. Bahkan hingga puas, setelah gagal pasang taruhan Jai Alai Fronton, saya
mengajak Gembritt menenggak cocktail: campuran sari jeruk, es batu, dan rum.
"Kau
tinggal di mana, Gembritt ?" saya bertanya kepadanya.
"Di
Ambos Mundos," jawab perempuan itu.
"Sendirian
?" saya mencoba mengorek.
"Ya",
jawab Gembritt," lebih tenang daripada kumpul keluarga. Kau mau ke sana
Shoim Anwar ?"
"Ooo...senang
sekali," saya mengangguk-angguk.
"Nanti
kau boleh ikut."
Lonceng di
bar berdentang sebelas kali. Kami keluar dari bar dan berjalan membelakangi
gedung yang luas itu. Potongan kayu tiba-tiba menghantam pagar di dekat kami.
Saya dan Gembritt terjingkat. Gembritt saya tahan sejenak.
"Orang
mabuk," katanya, lantas ia mengajak pergi cepat-cepat. Setelah belok ke
barat sampailah di Ambos Mundos. Kami naik elevator ke lantai enam sebelah
timur, ke apartemen Gembritt.
Dari kamar
ini Havana tampak tersepuh cahaya warna-warni. Di sepanjang broadway sisa-sisa
mobil yang lewat sorot lampunya seperti bianglala meleot-leot. Gedung-gedung
menebarkan gemintang berjuta-juta yang beraneka bentuk dan warna. Bangunan
Palaciao de los Capitanes Generales, hotel yang terkenal itu, tampak bagai
raksasa kota yang gagah. Sedangkan di sebelah utara katedral tua kelihatan
seperti cemara tambum.
"Di
sini nyaman," kata Gembritt mendekati saya, "kalau siang kita bisa
menikmati semenanjung Casablanca dengan kapal yang mondar-mandir di mana-mana.
Lihatlah!" Gembritt menuding ke timur, tampak lampu-lampu kapal
dipantulkan air semenanjung.
Beberapa
saat saya berdiri di mulut jendela. Udara sangat dingin. Bulan November seperti
ini angin sudah mulai mengangkut udara salju. Gembritt menyodorkan sesloki
anggur warna merah darah. Seusai minum, saya duduk di bibir dipan. Gembritt
mengganti lampu berwarna hijau. Malam itu kami belum sempat tidur. Darah kami
terus terkesirap dan gelora hidup jadi menggelegak.
Mendekati
pukul dua malam tiba-tiba terdengar tembakan di luar. Saya dan Gembritt
terkejut. Tampaknya tembakan terjadi di bawah apartemen ini. Gembritt segera
bangkit dan saya menyusulnya. Kami melihat ke bawah melalui kaca jendela.
"Mereka
pasti kaum oposisi, " kata Gembritt.
"Siapa
mereka itu?"
"Anak
buah Fidel Castro. Castro telah menunggangi mereka."
Tembakan
terdengar kembali. Kelihatan sekelompok orang berlari menyeberangi jalan.
Kemudian terdengar teriakan. Tiga menit setelah itu datang mobil patroli dengan
mengangkut sepasukan tentara. Perburuan sepertinya terjadi di bawah sana.
Situasi politik di Havana akhir-akhir ini memang menghangat, insiden-insiden
sering terjadi, beberapa kelompok pasukan siap di tempat-tempat tertentu dan
sisanya mondar-mandir di jalanan. Selebaran-selebaran gelap beredar di
mana-mana, isinya menyatakan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem politik dan
kepemimpinan Gerardo Machado.
Tiba-tiba
pula terdengar sirine mobil di sebelah barat sana. Kami berusaha melihat dari
lantai enam ini. Tetapi tetap tak jelas. Kemungkian besar ambulan mengangkut
mayat. Tiga hari lalu terjadi penembakan atas seorang pejabat kementrian dalam
negeri. Gembritt sekonyang-konyong tertawa sinis.
"Apa?"
saya bertanya.
"Politik!"
jawabnya sambil meninggalkan jendela.
"Mengapa
politik ?"
"Kata
orang, politik itu ladang yang paling banyak ditaburi dosa karena ambisi
kekuasaan. "
"Kau
melihat begitu?"
"Tentu
saja! Mulanya berjanji akan memperjuangkan nasib rakyat. Tapi lama-lama rakyat
diperas. Kekayaan negara diserap dan ditumpuk untuk anak cucunya dengan
didirikan perusahaan di mana-mana. Pemimpin ini memberikan jabatan-jabatan
penting pada segenap keluarga, kendati sebenarnya tidak becus. Mereka membentuk
jaringan-jaringan politis dan ekonomis. Aku takut penggantinya nanti juga
demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa politikus itu punya prinsip seperti
yang dikatakan Machiavelli : It is better to be feared than to be honored. Atau
seperti kata Caligula : Oderintum dum metuantum."
"Jadi
mereka lebih suka ditakuti daripada dihormati ?"
"Yes!
It's right! Mereka ini kalau pensiun akan dicibirkan oleh orang-orang kecil.
Tidak heran banyak pensiunan yang stres."
Kami terus
bicara. Gembritt ternyata punya wawasan yang baik. Dan malam terus meluncur.
Darah kami menggelegak sampai malam tiba.
*****
SEPERTI
yang telah disepakati bersama, pertemuan saya dengan Gembritt menjadi sering.
Saya sering tidur di apartemennya. Demikian pula dia sering tidur di apartemen
saya, di Parcue Central, di Malencon Street. Hubungan kami berjalan sangat
mesra. Saya memang merasa cocok dengan Gembritt. Karena perpaduan kulit hitam
dan kulit putih dari orang tuanya, warna kulit Gembritt jadi sawo matang
seperti saya. Tubuh Gembritt tinggi besar dan sedikit sangkuk. Orang bilang
postur demikian nafsu seksnya besar dan kuat. Suka menghabiskan sekian banyak
lelaki. Sedang rambutnya yang hitam bergelombang dipotong setinggi pundak.
Hidungnya besar dan mancung serta sedikit mengelembung pada bagian tengahnya.
Mirip hidung istri saya di Tanah Air. Untung tidak seperti paruh burung betet.
Ada satu
yang aneh sekali. Saat berjalan dengan Gembritt terlalu sering kami digampar
orang dengan potongan kayu, batu, atau benda-benda kasar lainnya. Dua hari lalu
kaki Gembritt hampir pincang karena terserempet hantaman batu. Memang, dari
sekitar ini orang dengan mudah dapat menelikung, atau langsung membaur dengan
kerumunan orang di depan bar. Laki-laki mabuk banyak gentanyangan di kafe-kafe
seafood. Tidak jarang mereka menjegal orang lewat dan minta uang. Gembritt
selalu menganggap peristiwa ini biasa-biasa saja. Sementara itu insiden-insiden
dan intrik-intrik politik terus terjadi di mana-mana.
Meski
sudah sering bersama Gembritt, saya masih belum paham benar kegiatan apa yang
dilakukannya tiap malam hingga selalu keluar. Setiap kali saya menjumpainya
pasti di sekitar bar Floridita, atau kalau siang di tempat pemancingan ikan
Slpoy Joe's di Key West. Pemilik pemancingan ini, Joe Russel, ternyata sudah
kelewat akrab dengan Gambritt. Kadang-kadang Gembritt juga berbaring di tepi
pemandian dekat pemancingan itu. Sekolahnya di Akademi Dansa juga tidak layak
disebut sekolah.
Suatu
ketika saya berhasil menemukan Gembritt di kawasan Key West. Dia membawa
bungkusan agak besar. Kami berbicara beberapa saat. Waktu saya bertanya apa isi
bungkusan itu, Gembritt menolak menjawab dengan amat tegas.
"Tidak
semua urusanku perlu kauketahui," katanya.
"Tapi
aku cuma bertanya?"
"Kalau
cuma bertanya itu namaya iseng. Pekerjaan iseng tidak akan memberi manfaat yang
berarti.
Setelah
berjanji untuk bertemu besok malam, Gembritt dengan cepat menyeberang dan
menuju ke halaman kantor pemerintah bertingkat tiga. Gembritt melewati
celah-celah mobil yang diparkir. Saya sendiri tidak bisa terlalu lama di sini.
Urusan lainnya harus segera beres. Langsung saja saya mencegat taksi.
Secara
kebetulan, dua jam setelah itu, saya kembali melewati jalan tempat berjumpa
dengan Gembritt tadi. Ternyata di halaman gedung yang dimasuki Gembritt tadi
baru saja terjadi ledakan bom. Beberapa mobil rusak berat dan bagian depan
gedung babak belur. Adakah hubungan meledaknya bom ini dengan Gembritt?
*****
MALAM itu
telepon di kamar Gembritt terus berdering tiap tiga menit sekali. Tapi
penelponnya tak juga mau bicara. Tampaknya ia cuma mau main-main, atau sengaja
menteror barangkali. Kejadian itu berlangsung sekitar setengah jam.
"Aku
mau keluar," kata Gembritt sambil melemparkan kunci pada saya. Sepertinya
sudah tidak sabar dan ingin melesat saja. Tapi saya segera menyabet lengannya
dan menarik mendekat.
"Ke
mana kau?"
"Tunggu
di sini!"
"Kau
jangan terpancing oleh godaan, Gembritt."
"Ini
bukan lagi godaan! Tapi teror!" katanya sambil mendelik.
"Apakah
kau tahu siapa yang menelepon itu?"
"Dia
pasti.... " kata-kata Gembritt terputus. Saat itu pula Gembritt membetot
lengannya dan melesat pergi.
Telepon
tak lagi berdering. Satu jam setelah itu Gembritt menelepon saya. Dia bilang
akan ke rumah orang tuanya di Finca Vigia, sebuah kawasan luar kota Havana,
selama seminggu. Ayah Gembritt sendiri katanya adalah mantan legiun Amerika
yang sekarang mengalami cacat kaki karena diberondong oleh musuh.
Tiga hari
setelah kepergian Gembritt, situasi Kuba mendidih. Tembakan sering terdengar di
mana-mana. Para mahasiswa turun ke broadway sambil meneriakkan yel-yel. Mereka
menentang rezim diktator Gerardo Machado. Dikabarkan pula bahwa di sekitar
bandara Havana terjadi hal serupa. Delapan mahasiswa tewas ditembak tentara,
lainnya luka-luka. Sementara dari kelompok sempalan yang didalangi Fidel Castro
mengajukan protes keras terhadap penguasa yang dianggap tiran itu. Sementara
itu golongan mahasiswa katanya belum jelas aspirasinya terhadap sosok pemimpin
yang dijago mereka. Sikut-sikutan antar kelompok masih amat sengit, khususnya
antara kelompok sosialis dan demokrat. Fidel Castro sendiri kabarnya menganut
aliran sosialis-komunis.
Sebagai
orang asing, saya tidak mempunyai kepentingan langsung dengan situasi ini.
Orang-orang bergerombol di sana-sini saya lewati begitu saja. Sementara polisi
patroli mondar-mandir di jalanan. Hari sudah sore. Dari sini saya langsung
melesat ke Akademi Dansa. Saya agak tak percaya kalau Gembritt jadi ke Finca
Vigia. Dalam perjalanan ini mata saya menjilat-jilat ke setiap kerumunan,
barangkali saja Gembritt tercecer di antara mereka.
Ternyata
dugaan saya betul, Gembritt saya jumpai di bar Floridita. Suasana di sini tetap
ramai, para pengunjung berkelompok-kelompok menghadapi meja masing-masing, ada
yang bermain kartu, bermain gitar, mabuk, dan ada pula yang berdansa.
Orang-orang ini sepertinya tak punya kepentingan dengan politik. Cepat-cepat saya
mendekati Gembritt di dekat pilar.
"Gembritt!"
saya memanggil, dia menoleh, matanya tajam berkilat. Bersamaan dengan itu
laki-laki tua pengamen datang menyanyikan lagu rakyat. Cepat-cepat saya beri,
lantas dia pergi terbongkok- bongkok.
"Kenalkan
tema saya," Gembritt memperkenalkan laki-laki di sampingnya. Laki-laki itu
memperkenalkan namanya, "Morris Dees."
"Shoim
Anwar," saya membalas.
Tampaknya
Gembritt tak punya minat bicara dengan saya. Sayapun tak bicara apa-apa.
Setelah duduk beberapa saat saya putuskan untuk pergi saja. Gembritt tidak
memberikan reaksi apa-apa. Dia telah dicengkeram oleh lelaki lain. Petang itu
pula saya langsung pulang ke apartemen saya di Malencon Street. Kukuhlah dugaan
saya bahwa Gembritt mengantongi ketidakberesan. Dia selalu keluyuran tiap
malam.
*****
SITUASI
Havana semakin kacau. Yel-yel mahasiswa tambah berani di jalan-jalan.
Pertumpahan darah mulai terjadi antar tentara dan massa. Karena keadaan semakin
mengkhawatirkan, rindu tanah air tiba-tiba menjadi kuat dalam diri saya. Saya
ingin pulang ke Indonesia cepat-cepat. Setyowati, istri saya, tentu sudah amat
rindu dengan saya. Pada bulan seperti ini pohon jambu di belakang rumah pasti
sudah berbuah. Bumi Surabaya seperti telah memanggil-manggil. Bunga-bunga yang
terawat dengan rapi di halaman rumah sana sepertinya sudah di depan mata.
Rambut dan jenggot saya pun sudah amat panjang. Setyowati biasanya memotong
rambut dan jenggot saya itu dengan lembut. Rindu istri dan tanah air sudah amat
menggumpal di dada.
Sudah
seminggu pula saya tak bertemu dengan Gembritt. Saya ingin menemuinya. Terus
terang, walau saya menyadari Gembritt mengantongi ketidakberesan, saya
kesulitan untuk melupakan dia dengan begitu saja. Paling tidak, saya bertekad
untuk meremasnya sebelum pulang ke Tanah Air.
Saya ingat
bahwa kunci kamar Gembritt masih saya bawa. Ini berarti dia belum pulang, atau
mungkin dia membawa kunci dua.
Dari
Malencon Street saya langsung melesat ke Ambos Mundos untuk memburu Gembritt.
Barangkali saja dia di kamarnya. Saya ingin menelannya.
Kamar
Gembritt ternyata masih terkunci. Beberapa saat saya mondar-mandir di depannya,
lalu duduk di teras. Entah mengapa perasaan saya jadi tidak enak. Saya merasa
cemas tanpa suatu sebab yang jelas. Sebenarnya saya dapat membuka kamar itu
cepat-cepat. Tapi saya seperti kehilangan semangat. Sekali lagi saya
mondar-mandir di depannya.
Akhirnya
keinginan saya menjadi kuat untuk segera membuka kamar itu. Saya pun segera
menusukkan kunci ke lubangnya. Dan rontoklah jantung saya seketika: glarrr!
Saya terkejut alang kepalang. Saya melihat Gembritt terkapar di lantai. Tampak
darah berceceran dan sudah mulai mengering. Tampaknya darah itu bekas mengalir
dari dadanya. Saya bergetar dan amat takut untuk mendekat dan menyentuhnya.
Saya menatap sekeliling. Ternyata semua jendela masih tertutup rapi dari dalam.
Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Pun tidak ada tanda-tanda dia mati bunuh diri
dengan benda tajam. Kulihat mulut Gembritt menganga dan menakutkan.
Jantung
saya berdegup-degup kencang. Rasa kehilangan muncul dalam diri saya. Saya jadi
tak mengerti apa yang harus saya lakukan. Tapi yang jelas, saya tak ingin
terlibat dengan masalah ini secara berkepanjangan. Sebab, tak urung nanti saya
pasti terlibat karena kunci kamar saya yang membawa. Gembritt tetap tak saya
sentuh. Saya menjadi oleng. Saya harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
Saya hanyalah orang asing di sini. Saya harus segera pulang ke tanah air biar
terlepas dari kasus ini. Surat jalan harus cepat-cepat saya dapatkan. Rindu istri
dan tanah air bertambah mendedak dalam dada.
Lantaran
situasi Havana kacau, pengurusan surat tersendat-sendat jadinya. Sementara
bayangan Gembritt terus mengejar-ngejar saya. Gembritt sepertinya berdiri di
setiap sudut sambil memanggil saya dengan lambaian tangan. Dua hari berikutnya
surat jalan telah saya dapat. Kebetulan pesawat ke Kuala Lumpur akan terbang
nanti sore. Dari sana dengan mudah saya dapat transit ke tanah air.
Hari ini
saya menginjak bumi Kuba untk yang terakhir kalinya. Di lobi bandara Havana
saya sudah siap-siap menghadapi pemeriksaan, bersama penumpang-penumpang
lainnya. Sementara itu Gembritt masih saja mengejar-ngejar saya di setiap
sudut, bahkan semakin menghebat.
Beberapa
penumpang telah lolos. Kini giliran saya untuk diperiksa para petugas bandara.
Paspor dan segala perbekalan saya siapkan dengan seksama. Saya berdoa semoga
sampai ke tanah air dengan selamat. Seorang di antara petugas tiba-tiba menatap
saya dengan tegas. Dia segera menunjukkan kartu anggota kedinasan. Ternyata dia
dari anggota intelejen polisi kota praja.
"Anda
terlibat dalam pembunuhan Gembritt Foury di Hotel Ambos Mundos. Sekarang Anda
harus ikut kami untuk dimintai keterangan !"
Jantung
saya benar-benar rontok. Dengan cepat saya digiring dua orang polisi kota praja.
Menuju ke pintu bandara. Di sana telah siap sebuah mobil dinas. Orang-orang
sama memperhatikan saya.
Mobil
dengan cepat melasak ke pusat kota Havana. Tubuh saya benar-benar mandi
keringat. Apa yang harus saya katakan dalam interogasi nanti, sementara kunci
kamar Gembritt memang saya yang membawa. Ini adalah fakta yang tak
terbantahkan. Pun saya tak mau lapor saat mengetahui kejadian itu. Sidik jari
saya tentu masih melekat di pegangan pintu kamar. Saya jelas bersalah dalam
perkara ini. Urusan jelas berkepanjangan sebelum semuanya terungkap. Atau
barangkali saya terpaksa mendekam di penjara karena kasus itu tak dapat
diungkap polisi. Dalam perjalanan ini saya selalu berdoa, semoga rezim Gerardo
Machado dan pengikutnya segera ditumbangkan dan ditembak mati oleh kelompok
sempalan. Dengan demikian nantinya akan terjadi abolisi massal.
Tapi
tiba-tiba saya punya pikiran lain. Havana sedang kacau. Para demonstran sudah
banyak yang tewas oleh moncong senjata. Dalam kekacauan hanya senjalah yang
lebih banyak bicara. Mata saya terasa basah. Sepertinya ada firasat bahwa
beberapa jam lagi saya sudah menjadi mayat! ***
*) Cerpen
bertitimangsa Surabaya, 2003, ini dipetik dari Suara Merdeka 12/28/2003.
M. Shoim
Anwar dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 16 Mei 1963. Karya-karyanya antara
lain Sang Pelancong (1991), Angin Kemarau (1922), Oknum (1992), Musyawarah Para
Bajingan (1993), dan Pot dalam Otak Kepala Desa (1995). Cerpennya terdapat pula
dalam banyak antologi bersama antara lain New York After Midnight (1991).
___________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment