Blogroll

Thursday, December 19, 2013

Haji Budiman Sujatmiko: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya



Judul buku : Anak-Anak Revolusi (Buku I)
Penulis : Budiman Sudjatmiko
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : xv + 473 hal, cet 1, 2013
ISBN : 978-979-22-9943-4














[Membongkar Sifat Megalomania dalam Buku Anak-Anak Revolusi] 
Oleh: Ubaidilah Muchtar

Pada ulang tahun yang ke-150 novel Max Havelaar, tahun 2010 lalu, panitia membuat tema yang cukup mengejutkan. Tema peringatan itu: “Ini bukan roman. Ini sebuah gugatan.” Max Havelaar ditulis Multatuli. Max Havelaar sebuah roman kepahlawanan pembela rakyat tertindas.

Sementara itu, Haji Budiman Sujatmiko tidak menulis novel, “Aku memang tidak cukup nekad,” tulisnya, “untuk menulis novel yang dia maksud, tapi hanya catatan refleksi ini yang bisa aku buat.” Maka anggap saja ini sebagai catatan atas catatan refleksi Budiman Sudjatmiko yang tertumpah dalam Anak-Anak Revolusi (Gramedia, 2013).
Multatuli menulis novel Max Havelaar dalam keadaan lapar dan miskin. Pada awal 1858 Multatuli tiba di Brussel, Belgia. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan yang kumuh bernama “Au Prince Belge”, di Jalan De La Fourche Nomor 52.
Di kamar kecil itu lahir kreasinya yang kemudian menjadi termasyhur, berjudul Max Havelaar. Dalam novel yang lebih merupakan otobiografi ini, dengan keras Multatuli mengecam pemerintah Belanda yang membiarkan berlakunya tindakan yang sewenang-wenang, di mana dia sendiri selaku saksi mata.

Di tempat penginapan itu, Multatuli menderita kedinginan. Willem Frederik Hermans, dalam bukunya Multatuli yang Penuh Teka-Teki menulis menulis, “Ia bergerak di kalangan rendah, karena di sanalah ia menemukan manusia-manusia, dan manusia tidak ditemukan di kalangan tinggi.”
Dengan singkat Max Havelaar mengemukakan tiga dalil:
Pertama, orang Jawa dihisap dan dianiaya. Kedua, pejabat yang menentang perlakuan itu oleh pemerintah tertinggi disalahkan, demi kehormatannya ia harus minta berhenti, dan hidup dalam kelaparan. Ketiga, negeri Belanda berkepentingan dengan penganiayaan orang Jawa. Mereka menutup mata dan mengantongi keuntungan.
Jadi kesimpulannya tidak bisa lain dari: sistem kolonial adalah keaiban, harus diakhiri. Dan dilihat secara demikian maka Max Havelaar adalah suatu serangan terhadap kolonialisme dalam bentuk roman.

Kita boleh bertanya apakah maksud Multatuli memang demikian?
Namun rasanya kurang pas jika terus membicarakan Max Havelaar. Baiklah, kita memulai saja membaca Anak-Anak Revolusi.
Anak-Anak Revolusi berisi kisah hidup kepahlawanan Budiman. Mungkin lebih tepat disebut otobiografi politik Budiman. Membaca buku Budiman akan mengingatkan pada buku Soeharto yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Tidak mengherankan kalau seperti buku Soeharto, kisah heroisme Budiman akan kita dapatkan di seluruh batang tubuh buku tersebut. Bukalah halaman berapa saja, maka Anda akan mendapatkan kisah kepahlawan ala Rambo, Superman, Batman atau Steven Seagal: tidak terkalahkan.

Yang pasti, Budiman tidak menuliskan karyanya seperti kondisi ketika Multatuli menulis Max Havelaar. Kalau Multatuli menulis dalam keadaan kelaparan dan kedingan, Budiman sebaliknya, ia menulis dalam keadaan serba kecukupan. Pundi-pundi yang didapatkannya dari menjadi anggota DPR cukup membuatnya menulis dalam situasi nyaman. Capek menulis di rumah, ia dengan mudah bisa pindah ke café kelas atas sambil menghisap cerutu dan menegak wine. Maka, kalaupun memakai kata “refleksi” di sana, Anak-Anak Revolusi adalah “refleksi” orang berduit. Atau Anda bisa juga menyebutnya semacam buku motivasi semacam Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara—yang sejak dalam kandungan sudah ditakdirkan menjadi hero. Yang akan memotivasi Anda bagaimana menjadi orang yang sukses. Di sini peran Haji Budiman 11-12 dengan Mario Teguh.

Anak-Anak Revolusi Buku 1 berkisah sejak kelahiran Budiman hingga masa ditahan. Sebagai  pembaca, saya hampir mencampakkan buku ini. Tetapi saya terus menamatkannya. Bahkan membukanya kembali ketika hendak menuliskan catatan ini. Dan mendapati bahwa meski di bagian ucapan terima kasih, Budiman menyebutkan bahwa buku ini bukan tentang diriku, tetap saja ini tentang diri Budiman. Budiman yang heroik. Budiman yang tidak pernah kalah. Budiman yang selalu menang. Budiman yang tidak pernah setengah-setengah. Budiman yang selalu berada dalam lindungan Tuhan di setiap kesempatan. Budiman yang selalu mendapati keberuntungannya sendiri. Budiman yang sempurna, Budiman yang menjadi “manusia lengkap”. Persis film hero ala Hollywood.
Loh, kok bisa begitu? Tentu bisa! Baik saya coba uraikan satu demi satu.

Buku ini tentang Budiman, tidak dengan yang lain. Semua yang tertulis adalah aku. Aku, Budiman. Aku yang penuh kepahlawanan. Aku yang heroik. Aku yang kelak diberi status sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Tiga cap lantas menempeli Budiman: buronan, subversif, dan komunis. Sejak saat itu Budiman memulai kehidupan dalam pengejaran dan pemenjaraan.
Situasi ini ternyata di luar perkiraanku. Setiap jam namaku muncul di radio maupun televisi. Rezim ini menuduhku sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Aku peroleh status seperti yang pernah disandang oleh Jesse James, Kusni Kasdut, atau Carlos The Jackal. Aku disebut sebagai buronandan komunis. Ketiga cap itu, disadari betul oleh Budiman, adalah license to kill yang akan dipakai oleh para pengecut itu untuk membuang mayat kami ke mana saja mereka suka, seandainya mereka mendapatkan kami. Mereka beramai-ramai mengutuk PRD. (hal 15-16)

Tentu saja, Budiman tahu. Tidak hanya ia, tetapi PRD. Namun dalam Anak-Anak Revolusi, PRD adalah Budiman—sederatan nama memang disebut di situ, tetapi hanya figuran; tokoh-tokoh yang bernama tetapi tidak ada karakternya sama sekali; sang Steven Seagal tetap saja Haji Budiman Sudjatmiko.
Tak kusangka bahwa kekerasan massal serupa akan terjadi dua belas tahun setelah itu, dan akulah yang menjadi salah satu figur sentralnya. (hal 200)
Lagi-lagi aku. “Aku terpilih sebagai ketua PRD melalui voting,” tulis Budiman. Lalu masih menurut Budiman, “Aku terpilih sebagai ketua setelah mendapat bisikan dari seorang kawan: “Siapa pun yang tidak berani berperang,” bisiknya, “tidak layak merayakan kemenangan.”” (hal 428)
Maka aku merayakan kemenangan.

Aku terpilih sebagai anggota dewan. Sebuah cita-cita yang sudah melekat di kepala Budiman sejak masih belia, sejak SMP. Pada persimpangan kehidupan ini akhirnya kutetapkan sebuah pilihan. Aku ingin menjadi seorang politisi di era demokrasi (hal 202). Ah, sungguh baru saya tahu! Sayang sekali jalan hidup PRD ini. Anggotanya dikibuli oleh Budiman. Mereka tidak tahu bahwa Budiman sudah merencanakan hidupnya sejak belia. Budiman ingin menjadi politisi. PRD hanyalah jembatan dan kawan-kawan seperjuangannya hanyalah undakan untuk sampai pada singgasana yang ingin digapainya. Widji Thukul, Suyat, Bima Petrus, dan Herman Hendrawan hanyalah kepala-kepala yang diinjak Budiman agar ia bisa sampai ke atas.

Bagaimana dengan kawan yang tak kembali? Entahlah. Mungkin tidak ambil pusing. Namun, tidak demikian. Ada juga rasa Budiman untuk mereka yang tak kembali. Bagi Budiman mereka yang tidak kembali itu bukan “dihilangkan” namun ”menghilang”—silakan pembaca merenungkan perbedaan makna kata itu.

Thukul adalah seorang penyair kampung kumuh dari Solo, yang sehari-hari hidup bersama pemulung dan tukang becak. Yang menyamakan keduanya (Thukul dan Neruda—pen) adalah meraka hidup dan mati (dalam kasus Thukul: menghilang) bersama konjungtur perjuangan rakyat jelata yang mereka cintai sepenuh hati. (hal 350)

Menghilang. Sengaja saya tebalkan. Bukan dihilangkan, bukan dibunuh. Tidak seperti syarat yang begitu menakutkan jika hendak menjadi ketua PRD atau menjadi pengurusnya, 3B: Bunuh, Buang, Bui. Ya, 3B sebagai sebuah konsekuensi yang mungkin akan dialami oleh pimpinan PRD. “Namun syarat yang ada cukup untuk menyiutkan nyaliku. Syarat itu kami sebut dengan 3B: Bunuh, Buang, Bui.” Tulis Budiman. Soal 3B ini diulang sebanyak tiga kali. Budiman seolah menegaskan bahwa 3B adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar.
Namun mengapa mengatakan Thukul menghilang. Bukankah Thukul adalah bagian dari pimpinan? Seperti yang ditulis Budiman sendiri: Yang bergerak membangun “Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Organisasi yang bergerak di sektor kebudayaan ini dideklarasikan di akhir tahun 1994. Widji Thukul, sastrawan rakyat dari Solo, menjadi motor organisasi ini. (418-419)

Lain Thukul lain pula Bima Petrus. Bima tentu saja sudah bersama Budiman sejak peristiwa 27 Juli. Hari itu, menjelang sore, Budiman bersama Bima menuju kantor NU. Dari sana mereka bergerak ke Utan Kayu. Bertemu Goenawan Mohamad, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, dan sejumlah aktivis LSM. [Aduhai, ternyata teman-teman Budiman orang-orang PSI, yang pada tahun 1965 ikut mengganyang orang-orang komunis] Menjelang tengah malam, bersama Bima Budiman pergi ke rumah tanteku di daerah Rawasari. Budiman tentu sangat dekat dengan Bima.

Maka ditulisnya: “Sangat menyedihkan, saat kejatuhan Soeharto tiba, Bima tak sempat menyaksikannya.” Dua tahun kemudian, beberapa minggu sebelum Soeharto jatuh, Bima hilang sampai sekarang. (hal 13)

Budiman tidak pernah tidak beruntung. Budiman selalu beruntung. Keberuntungan selalu menyertai Budiman. Budiman lolos dari kecemasan akan kematian yang mengerikan. Budiman juga beruntung sebab penjaga sel tidak mengambil obat maag dan pulpennya. Kecerobohan Orde Baru juga merupakan keberuntungan bagi Budiman. Apa itu? Dibiarkannya menyimpan banyak buku di ruang sel.
“Oh… rupanya kantor BIA”, pikirku.
Saat itu ketakutan atas kematian sudah mulai memudar. Kupikir sudah lebih aman sekarang. Kami dibawa ke kantor mereka dan para pemimpin mereka telah menampakkan wajahnya. Bila kami akan segera dibunuh, pasti tidak akan dibawa ke kantor dan bertemu dengan pimpinan mereka. Ada kelegaan yang mulai menjalar. (hal 212)
Aku cukup beruntung karena penjagaku tidak mengambil obat maag dan pulpen yang ada di sakuku. Keduanya adalah benda berharga yang beguna untuk menjaga kewarasanku. (hal 220)

Salah satu “kecerobohan” Orde Baru saat mereka memvonisku 13 tahun penjara pada 1997 adalah mereka membiarkanku menyimpan banyak buku di ruang sel kami. (hal 88)
Juga betapa beruntungnya Budiman selamat dari kejaran tentara di Blangguan, Sumberwaru, Banyuputih, Situbondo. Beruntung dapat berkumpul dengan kawan-kawan. Dan beruntung dilindungi oleh penduduk desa. Lalu apa yang dilakukan Budiman dengan begitu banyak keberuntungan dalam hidupnya ini? Mungkin tidak melakukan apa-apa. Bagaimana bisa yang begitu banyak keberuntungan menjadi seorang politisi? Apa prestasinya? Apakah menjadi bagian dari peristiwa 27 Juli? Pernah di penjara? Menjadi ketua PRD? Mengapa bertanya demikian? Sebab banyak yang dilunasinya setelah Budiman menjadi anggota dewan. Menyelesaikan kuliah yang terbengkalai—hidup di apartemen milik Haryono Isman [mantan politisi Golkar dan sekarang di Partai Demokrat, yang nyaman di Inggris sana]. Juga membayar janji kepada petani.

Aku cukup beruntung janji tersebut berhasil kupenuhi 13 tahun kemudian. (hal 344)
Sebuah janji yang ternyata baru berhasil kupenuhi delapan belas tahun kemudian saat aku sudah menjadi anggota DPR. (hal 346)
Baik kita kembali ke pokok.

Suatu hari di bulan Juli tahun 1996, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan wajah serius, Munir, memintaku dan Kurniawan bertemu di kantor YLBHI. Keesokan harinya aku bersama Petrus dan Kurniawan mendatanginya. Pria kelahiran Malang ini menyambut kami di halaman kantor YLBHI. Dia lalu mengajak kami bertiga ke salah satu ruangan di dalam kantor. Sambil berbisik dia berkata:
“Bud, aku punya informasi rahasia.” (hal 2)

Budiman menjadikan peristiwa 27 Juli 1996 sebagai pembuka bukunya. Sebagai tema utamanya, selain tentu jejak kehidupannya. Membaca buku Anak-Anak Revolusi seakan hanya berisi kisah heroisme dan teror Orba dalam situasi interogasi pasca peristiwa 27 Juli. Sebuah kejadian yang luar biasa diingatnya. Bagaimana bisa begitu detail proses interogasi itu? Apakah ia mendapatkan transkripnya? Mengingatnya di kepala? Atau merekamnya? Peristiwa 27 Juli 1996 serupa bagian yang sengaja dicabut dan dipisahkan dari bagian buku ini. Terletak di akhir bagian “Sebuah Manifesto Perjuangan”.
Akhirnya pada tanggal 27 Juli 1996, benturan itu terjadi. Ia memercikan bunga api yang kemudian membakar ilalang politik negeriku yang sudah meranggas kering …… (hal 448)
Seolah ingin menegaskan sebuah pepatah: karya seorang penulis tidak akan jauh dari apa yang dibacanya—dan ingin menunjukkan ia kutu buku dan melek budaya—Budiman memasukkan banyak buku yang dibacanya dalam Anak-Anak Revolusi. Dalam catatan saya setidaknya terdapat 50 buku, 15 film, dan 17 lagu. Deretan buku dan film ini seakan ingin menegaskan sekali lagi pernyataan Budiman, bahwa, “ Nonton film dan membaca adalah dua hobiku sejak kecil.”

Anak-Anak Revolusi menyimpan banyak kalimat-kalimat yang layak dicatat. Juga beberapa  ungkapan dari penulis di pembuka setiap bagian. Namun tentu tidak lepas dari kekurangan. Salah satunya. Kapan peristiwa tabrakan motor bersama paman itu terjadi?
Catatan lain, Anak-Anak Revolusi tersandung-sandung di sejumlah urusan detail. Segala benda dan tindakan harus dijelaskan. Tidak mengenal metafora dan implikasi. Di setiap rumah ada tulisan “Ini rumah, lho!”. Semua yang ingin dicapai disampaikan oleh Budiman. Ia seperti takut jangan-jangan pembaca tidak tahu tujuan membaca bukunya. Maka segala hal diterangkan dalam cara yang lugu dan dalam rumusan yang membuat pembaca tidak menjadi lebih paham tentang apa yang dirumuskan. Setiap bagian yang terdapat di Anak-Anak Revolusi dijelaskan. Maka jangan heran kelak ada yang berseloroh. “Ini serupa diktat, diktat pergerakan.” Budiman seolah tidak percaya bahwa setiap orang akan menemukan pemahaman sendiri berdasarkan pengalaman masing-masing, yang tentu saja berbeda satu dengan lainnya. Inilah buku yang ceriwis.

Seolah Haji Budiman menempatkan diri sebagai pengkhotbah ayat-ayat suci kepada segerombolan domba yang dungu.  Ya, memang Haji Budiman memang sedang berkhotbah tentang kepahlawanannya: inilah aku, maka pilihlah kembali aku dalam Pemilu 2014, biar aku bisa melanjutkan kepahlawanku membebaskan orang miskin dari ketertindasan.
Selain itu, masih terdapat kesalahan penulisan di halaman 410, 413, 416, 423, 428, 441, 464.
Satu lagi, apakah sebuah dosa tidak menampilkan secara utuh puisi Widji Thukul? Apakah puisi “Peringatan” tidak lebih layak dari lagu “Ambilkan Bulan, Bu”, karya A.T. Mahmud? Ah, itu kan prasangka saja! Ya, saya percaya Multatuli pernah berkata, “Anggota Dewan,” katanya, “tidak layak untuk diikuti dan disalahpahami.”

Budiman menulis bukunya dalam kondisi kenyang dan kaya. Juga tinggal di kota besar. “Kota-kota besar,” katanya, “hanyalah muara tempat berkumpulnya sampah dan bangkai yang diseret banjir bandang kemiskinan dan ketakutan yang melanda desa-desa.” Lalu mengapa Budiman meninggalkan desa dan memilih kota? Meninggalkan petani yang katanya dibelanya. Semoga Budiman tidak termasuk ke dalam golongan sampah dan bangkai. (hal 187)

Dan apakah Budiman takut jika pembacanya kelak lebih banyak yang hafal puisi Thukul daripada lagunya A.T. Mahmud?
Sebagai penutup saya sampaikan puisi “Peringatan” karya Widji Thukul.

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!

(Solo, 1986)
Saya tutup catatan ini dengan ungkapan dari Multatuli. “Sikap setengah hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik; setengah benar berarti tidak benar.”***

Ubaidilah Muchtar, Guru SMPN Satu Atap 3 Sobang, Pemandu reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.
 NB : Diambil dari laman situs www.tikusmerah.com milik Kamerad Tikus Merah!

______________


Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post