Henry Fuseli Percival Delivering Belisane from the Enchantment of Urma
exhibited 1783 | Oil on canvas support 991 x 1257 mm frame 1248 x 1510 x 108 mm
Akhirnya,
inilah akhir dari naskah Monolog Kasir Kita setelah sebelumnya blog sarbikita
menayangkan secara berseri naskah karya Arifin C Noer ini. Selamat membaca.
___________________________
Persetan!
Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti
mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.
Seakan
menusukkan pisau.
Singa
betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.
Telepon
berdering.
Persetan!
Sekarang pasti dia.
Mengangkat
telepon.
Kasir
disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah
menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau
busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telepon! Cari saja laki-laki
lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang
petualang!
Meletakan
pesawat telepon.
Jahanam!
Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya. Tadi
saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung
mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang
pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.
Tapi tak
apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya saya
maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!
Mengangkat
telepon.
Kemana
saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)
Lebih baik
saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi Allah, saudara
mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis, jagalah
perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”
Ya, memang
saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur. Sayapun telah
siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh dalam sandiwara
ini.
Seperti
mendengar telepon berdering.
Hallo?
Jazuli disini. Jazuli (sadar)
Saya kira
berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya sekarang. Mata
saya betul-betul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya tidak bisa lagi
membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup masak mental
saya sebagai seorang pembunuh.
Tapi
seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik pula
seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya
masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti
laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya
bayangkan begitulah suasananya.
Bulan
berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi di
pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.
Mereka
pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya yang
dingin, pandangan mata seorang pembunuh.
Untuk
beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka bergetaran
dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu sempat
mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya. Dan
pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil
tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya
akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai,
saya akan berkata : “Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”
Tiba-tiba
pening di kepala.
Tapi kalau
sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka bertanya :
“Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?
Memukul-mukul
kepalanya.
Tuhanku!
Duduk.
Dia
melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari
disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak :
Bungaku.
Saudara-saudara
bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya tidak bisa lagi
marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada anak-anak yang
manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah tidak. Saya
tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak.
Saya hanya
tahu anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana
mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali anak-anak
itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena cemburu saya
mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?
Balerina-balerina
kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.
Semangat
hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu saya
ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata : “Pak susulah ibu,
pak. Pak, ke kantorlah, pak.”
Ya, Ita.
Ya, Imam.
Malaikat-malaikat
kecil itu gaib menjelma udara.
Saya harus
pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya akan
mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini.
Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada
Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun
kepada Allah.
Saya tak
mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu lagi
apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki
yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya
hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya
menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.
Telepon
berdering.
Jahanam!
Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah berpikir
begini, jahanam itu menelpon saya.
Telepon
berdering lagi.
Jahanam!
Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah ini
dijual.
Mengangkat
pesawat telepon.
Ya,
Misbach Jazuli
Tersirap
darahnya.
Saudara,
jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan, tak
salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan
mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran
dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.
Hallo?..Tentu...Tentu.
kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan? Memang saya agak flu
dan batuk-batuk.
(akan
batuk tapi urung) ...Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar,
kulit-kulit kacang..ah, indah sekali
bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin? Kau?...Segera?
Lihatlah,
niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha??? Saudara,
gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap agar nanti
sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon suaminya itu
cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu itu cuma iseng
saja. Ya, tentu..bisa!
Meletakan
pesawat dengan kasar.
Jahanam.
Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau pengarang
sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya. Saya
sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.
(tiba-tiba)
Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang penting
saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya akan langsung ke
masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong
semuanya.
Anak-anak
itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang.
Melangkah
seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu tangan,
batuk-batuk dan menyedot hidungnya.
Saya
influenza, bukan ?
SELESAI
________________________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment