Blogroll

Wednesday, December 18, 2013

Mempertimbangkan Keseragaman

 photo ArtistKennethMartin19051984TitleSeventeenLinesDate1959-63MediumOilpaintonhardboardDimensionssupport1524x914mmCollectionTate_zpseb7b2471.jpg
Artist: Kenneth Martin (1905‑1984) | Title:  Seventeen Lines | Date 1959-63 
Medium: Oil paint on hardboard | Dimensions support 1524 x 914 mm | Collection: Tate


Oleh Umar Fauzi Ballah

Ketika diluncurkan sebagai buku puisi “pilihan” Festival Seni Surabaya 2013, 28 November lalu, saya membayangkan akan mendapatkan sebuah kejutan dari puisi silat karya Dody Kristianto bertajuk Petarung Kidal. Sebuah kejutan yang memacu andrenalin seperti saat membaca beberapa puisi tersebut yang pernah dimuat di harian Kompas, Lampung Post, dan Koran Tempo. Setidaknya, perasaan serupa juga bisa dibaca dari antusias teman-teman di jejaring sosial dalam menyambut buku ini. Bahkan, Rakhmad Giryadi “meresepsi” kekaguman tersebut dalam bentuk puisi yang pernah dimuat di Jawa Pos edisi 10 November 2013 berjudul “Pertarungan Hujan (teruntuk pendekar Dody Kristianto).”
Saya pun membayangkan bahwa dipilihanya serpihan puisi silat Dody Kristianto itu atas dasar kekaguman serupa. Setidaknya, hal itu dapat dibaca dari kata pengantar puisi tersebut bahwa dalam rentang lima tahun terakhir Dody Kristianto menunjukkan perkembangan pencapaian estetika yang signifikan. Itu pun benar adanya. Saya sepakat akan hal itu.

Puisi Dody Kristianto berada dalam pusaran arus puisi Indonesia mutakhir di mana puisi lahir sebagai olahan dari teks yang ada. Puisi lahir untuk mempercanggih bahasa lain sebagai sebuah modifikasi puitik. Puisi bertumpu pada teknik, keterampilan, dan kepengrajinan bahasa yang melahirkan kesan-kesan puitik, untuk tidak mengatakan bahwa beberapa puisi mutakhir minus “pesan.”
Lalu mengapa serpihan puisi silat Dody Kristianto yang dipilih panitia? Jawaban panitia adalah karena penyair ini memiliki keunikan pemilihan tema puisi yang dipilihnya, yakni renik-renik ingatan antropologis tentang ilmu silat.

Di bumi nusantara ini khasanah ilmu silat adalah seni yang bisa dikatakan adalah warisan leluhur yang masih bertahan sampai saat ini dalam berbagai variannya, misal, cerita silat, perguruan silat, maupun kitab-kitab yang menerakan berbagai jurus-jurus.
Dody Kristianto sepertinya awas pada hal yang demikian untuk kemudian ia modifikasikan dalam bahasa yang puitis. Walhasil, dari pengamatan itu, dia melahirkan 27 puisi yang kesemuanya tentang jurus dan tentang pertarungan. Di sinilah kemudian letak persoalan itu.  Ketakjuban yang saya dapatkan ketika membaca puisi tersebut dalam bentuk serpihan yang tersebar di berbagai media tiba-tiba lenyap dan senyap. Ada hal ganjil ketika semua itu dihadirkan dalam sebuah buku.

Saya perlu bersabar menghadapi berbagai kelebat jurus silat yang ada dalam buku tersebut. Bersabar juga dengan keseragaman pengucapan, tempo, dan suasana puisi tersebut.

“Kecelakaan” serupa hampir saya temukan dalam beberapa buku puisi, yakni ketakjuban yang berbeda dari serpihan puisi dan buku puisinya. Indikasi ini saya simpulkan sebagai bentuk ketidakjeliaan dalam menyunting serpihan puisi ke dalam buku puisi. Akhirnya, puisi yang dalam bentuk serpihannya tampak anggun menjadi kehilangan ruh ketika berada dalam kumpulan. Maka dari itu, saya pun mengajukan sebuah gugat, perlukah serpihan puisi itu disunting demi gagasan yang berhasil dalam bentuk buku?
            Saya tidak hendak mengatakan bahwa Petarung Kidal adalah sebuah kumpulan yang gagasannya kurang tersampaikan dengan rapi dan baik. Buku ini bahkan jelas sekali hendak merangkum tentang apa, pencak silat. Persoalan yang ada dalam puisi-puisi di dalamnya adalah keseragaman.

Pertama, mari kita simak tempo, suasana, dan nada dalam puisi-puisi tersebut. Beberapa puisi di dalamnya gandrung pada cara membuka dengan pilihan kata negatif. Lihatlah betapa bertaburan diksi semisal, bukan dan jangan baik sebagai pembuka maupun dalam tubuh puisi. Selain itu, diksi dengan kata bermakna penegasan seperti sungguh pun bertaburan dalam puisi-puisi di dalamnya.

Kedua, puisi silat Dody Kristianto ini mengambil wilayah naratif di mana aku adalah tanding dari kamu atau kau sebagaimana puisi “Jurus Terjauh”. Akan tetapi, aku lebih banyak bersembunyi. Kehadirannya seolah-olah hendak mengajari sang musuh, kamu. Dalam hal itu, tidak bisa tidak kehadiran kata-kata penegasan yang lain seperti, percayalah, ingatlah.

Dody Kristianto pada dasarnya mampu memetaforkan kisah silat itu dalam puisi silat dengan baik. Saya kutip bait ini yang saya kira cukup mewakili fenomena yang sering kita lihat. Namun, menjadi berkilauan dalam bahasa yang puitis. ia yang kamu kira bercakar/ sebenarnya hanya mengandalkan genggam/ genggaman terkencang, gengaman/ yang kamu pandang sederhana saja/ namun ia dapat menyobek belulangmu/ dan membuat tulangmu tampak di luaran.

Dody berhasil menjadi “penemu” modifikasi puisi silat dari khasanah nusantara ini. Dengan puisi-puisi tersebut, tampaklah kesignifikanan pencapaian estetikanya. Namun, keseragaman pengucapan dalam puisinya telah memukulnya kembali.
Akhirnya, saya hanya bisa membayangkan puisi-puisi itu tanpa judul. Hanya ditandai penomoran /1/, /2/, /3/ dan seterusnya. Pun dengan membuang subjudul, kemudian adanya endnotes untuk menjelaskan judul semula sebelum dibukukan. Barangkali itu jurus terindah untukmu!

NB : Ini adalah tulisan yang dibuat oleh Umar Fauzi Ballah saat diskusi buku Petarung Kidal di iBoekoe, Yogyakarta, pada 15 Desember 2013.

__________________

Redaktur SARBI: Guruh Sable W

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post