Artist: Kenneth Martin (1905‑1984) | Title: Seventeen Lines | Date 1959-63
Medium: Oil paint on hardboard | Dimensions support 1524 x 914 mm | Collection: Tate
Oleh Umar Fauzi Ballah
Ketika
diluncurkan sebagai buku puisi “pilihan” Festival Seni Surabaya 2013, 28
November lalu, saya membayangkan akan mendapatkan sebuah kejutan dari puisi
silat karya Dody Kristianto bertajuk Petarung Kidal. Sebuah kejutan yang memacu
andrenalin seperti saat membaca beberapa puisi tersebut yang pernah dimuat di
harian Kompas, Lampung Post, dan Koran Tempo. Setidaknya, perasaan serupa juga
bisa dibaca dari antusias teman-teman di jejaring sosial dalam menyambut buku
ini. Bahkan, Rakhmad Giryadi “meresepsi” kekaguman tersebut dalam bentuk puisi
yang pernah dimuat di Jawa Pos edisi 10 November 2013 berjudul “Pertarungan
Hujan (teruntuk pendekar Dody Kristianto).”
Saya pun
membayangkan bahwa dipilihanya serpihan puisi silat Dody Kristianto itu atas dasar
kekaguman serupa. Setidaknya, hal itu dapat dibaca dari kata pengantar puisi
tersebut bahwa dalam rentang lima tahun terakhir Dody Kristianto menunjukkan
perkembangan pencapaian estetika yang signifikan. Itu pun benar adanya. Saya
sepakat akan hal itu.
Puisi
Dody Kristianto berada dalam pusaran arus puisi Indonesia mutakhir di mana
puisi lahir sebagai olahan dari teks yang ada. Puisi lahir untuk mempercanggih
bahasa lain sebagai sebuah modifikasi puitik. Puisi bertumpu pada teknik,
keterampilan, dan kepengrajinan bahasa yang melahirkan kesan-kesan puitik,
untuk tidak mengatakan bahwa beberapa puisi mutakhir minus “pesan.”
Lalu
mengapa serpihan puisi silat Dody Kristianto yang dipilih panitia? Jawaban
panitia adalah karena penyair ini memiliki keunikan pemilihan tema puisi yang
dipilihnya, yakni renik-renik ingatan antropologis tentang ilmu silat.
Di
bumi nusantara ini khasanah ilmu silat adalah seni yang bisa dikatakan adalah
warisan leluhur yang masih bertahan sampai saat ini dalam berbagai variannya, misal,
cerita silat, perguruan silat, maupun kitab-kitab yang menerakan berbagai
jurus-jurus.
Dody
Kristianto sepertinya awas pada hal yang demikian untuk kemudian ia
modifikasikan dalam bahasa yang puitis. Walhasil, dari pengamatan itu, dia
melahirkan 27 puisi yang kesemuanya tentang jurus dan tentang pertarungan. Di
sinilah kemudian letak persoalan itu.
Ketakjuban yang saya dapatkan ketika membaca puisi tersebut dalam bentuk
serpihan yang tersebar di berbagai media tiba-tiba lenyap dan senyap. Ada hal
ganjil ketika semua itu dihadirkan dalam sebuah buku.
Saya
perlu bersabar menghadapi berbagai kelebat jurus silat yang ada dalam buku
tersebut. Bersabar juga dengan keseragaman pengucapan, tempo, dan suasana puisi
tersebut.
“Kecelakaan”
serupa hampir saya temukan dalam beberapa buku puisi, yakni ketakjuban yang
berbeda dari serpihan puisi dan buku puisinya. Indikasi ini saya simpulkan
sebagai bentuk ketidakjeliaan dalam menyunting serpihan puisi ke dalam buku
puisi. Akhirnya, puisi yang dalam bentuk serpihannya tampak anggun menjadi
kehilangan ruh ketika berada dalam kumpulan. Maka dari itu, saya pun mengajukan
sebuah gugat, perlukah serpihan puisi itu disunting demi gagasan yang berhasil
dalam bentuk buku?
Saya tidak hendak mengatakan bahwa
Petarung Kidal adalah sebuah kumpulan yang gagasannya kurang tersampaikan
dengan rapi dan baik. Buku ini bahkan jelas sekali hendak merangkum tentang
apa, pencak silat. Persoalan yang ada dalam puisi-puisi di dalamnya adalah
keseragaman.
Pertama,
mari kita simak tempo, suasana, dan nada dalam puisi-puisi tersebut. Beberapa
puisi di dalamnya gandrung pada cara membuka dengan pilihan kata negatif.
Lihatlah betapa bertaburan diksi semisal, bukan dan jangan baik sebagai pembuka
maupun dalam tubuh puisi. Selain itu, diksi dengan kata bermakna penegasan
seperti sungguh pun bertaburan dalam puisi-puisi di dalamnya.
Kedua,
puisi silat Dody Kristianto ini mengambil wilayah naratif di mana aku adalah
tanding dari kamu atau kau sebagaimana puisi “Jurus Terjauh”. Akan tetapi, aku
lebih banyak bersembunyi. Kehadirannya seolah-olah hendak mengajari sang musuh,
kamu. Dalam hal itu, tidak bisa tidak kehadiran kata-kata penegasan yang lain
seperti, percayalah, ingatlah.
Dody
Kristianto pada dasarnya mampu memetaforkan kisah silat itu dalam puisi silat
dengan baik. Saya kutip bait ini yang saya kira cukup mewakili fenomena yang
sering kita lihat. Namun, menjadi berkilauan dalam bahasa yang puitis. ia yang
kamu kira bercakar/ sebenarnya hanya mengandalkan genggam/ genggaman terkencang,
gengaman/ yang kamu pandang sederhana saja/ namun ia dapat menyobek belulangmu/
dan membuat tulangmu tampak di luaran.
Dody
berhasil menjadi “penemu” modifikasi puisi silat dari khasanah nusantara ini.
Dengan puisi-puisi tersebut, tampaklah kesignifikanan pencapaian estetikanya.
Namun, keseragaman pengucapan dalam puisinya telah memukulnya kembali.
Akhirnya,
saya hanya bisa membayangkan puisi-puisi itu tanpa judul. Hanya ditandai
penomoran /1/, /2/, /3/ dan seterusnya. Pun dengan membuang subjudul, kemudian
adanya endnotes untuk menjelaskan judul semula sebelum dibukukan. Barangkali
itu jurus terindah untukmu!
NB : Ini adalah tulisan
yang dibuat oleh Umar Fauzi Ballah saat diskusi buku Petarung Kidal di iBoekoe,
Yogyakarta, pada 15 Desember 2013.
__________________
Redaktur SARBI: Guruh Sable W
0 comments:
Post a Comment