Blogroll

Thursday, August 9, 2012

Lenyapnya Maestro Pulau Buru Dari Dunia Pendidikan


Photobucket
Ilustrasi oLeh Hanif untuk SARBI



Oleh Heru Susanto*

Keyakinan terhadap suatu ideologi tertentu memang mampu menyeret seseorang pada ruang penderitaan. Padahal, tidak semua keyakinan itu dimaksudkan mendatangkan kerusakan pada tatanan masyarakat, melainkan sebaliknya. Akan tetapi, setiap keyakinan tidaklah berdiri sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Ada banyak keyakinan hingga tidak jarang menimbulkan pertentangan yang menjurus pada kekerasan. Yang menggelikan, kekerasan itu muncul bukan berdasarkan memajukan peradaban, melainkan untuk berebut dan mempertahankan kekuasaan.

Salah satu tokoh nasional yang mengalami kekerasan dengan alasan keyakinan ideologi yang membahayakan kestabilan nasional ialah Pramoedya Ananta Toer (Pram). Pram merupakan sosok pribumi yang memiliki semangat dan keberanian dalam memperjuangkan kemerdekaan yang hakiki. Seakan-akan denyut nandinya penuh teriakan darah perlawanan. Dia tak segan-segan mengkritisi ketidakberesan pemerintah yang menyebabkan rakyat menderita di masa pemerintahan represif. Keganjilan yang bersliweran di lingkungan sosial dibingkainya dalam suatu pemikiran, lalu diteriakkan. Tidak heran kalau pemikirannya dianggap membahayakan kedudukan pemerintahan.

Sikap kritis Pram banyak dituangkan dalam tulisan. Tidak terhitung banyaknya karya-karya yang mengangkat keadaan sosial bangsanya. Tetapi, nasib tulisan itu ternyata tidak sepenuhnya berada di tangan pengarangnya, melainkan di tangan pemegang kekuasaan. Tidak sekadar nasib karya, nasib pengarangnya pun seakan-akan ditentukan oleh penguasa. Pram harus menghadapi konsekuensi terhadap pemikirannya hingga dia ditahan dan diasingkan di Pulau Buru. Di pulau itulah, dia mendapatkan “wahyu” dan menjelmalah dalam empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dikenal dengan Tetralogi Buru. Dengan karya-karya yang begitu mengagumkan, Pram memang pas menyandang gelar sastrawan besar Indonesia yang layak untuk diapresiasi generasi saat ini. Tetapi, apakah generasi kita mengetahui bahkan memahami?


Sengaja Dilupakan?

Dalam dunia pendidikan, nama Pram tidak pernah terpampang dalam buku-buku pelajaran. Bila siswa ditanya, “Siapa Pramoedya Ananta Toer?”, tidak jarang mereka diam atau malah berpikir, “Artis sinetron baru kale!.” Nah, ini bukan semata-mata karena siswa gagap dalam menyerap pengetahuan. Tetapi, siswa tersekap dalam ketakutan masa silam kekuasan.

Bila dicermati, perjuangan Pram dalam membangkitkan jiwa nasionalisme yang dewasa cukup signifikan. Hal itu dapat dilihat ketika Pram memperjuangkan persamaan hak terhadap masyarakat Tionghoa. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959), Soekarno mengesahkan P.P No. 10 yang mengharuskan semua pedagang eceran Tionghoa menutup usaha mereka di daerah pedalaman. Peraturan yang diskriminatif itulah yang menyebabkan keturunan Tionghoa semakin terpinggirkan dan menjadi korban kekerasan. Saat itu, Pram mengkritisi kebijakan tersebut dengan memunculkan tulisan Hoakiou di Indonesia (Hoakiau). Namun, Pram justru dianggap menjual negerinya sendiri karena lebih berpihak pada bangsa Tionghoa dan tulisan itu dibredel. Dia pun ditahan tanpa proses pengadilan. Saat itu, Pramlah salah satu tokoh yang dengan sadar berani mengambil risiko memperjuangkan nasionalisme yang lebih menyeluruh dan memberontak diskriminasi. Tapi, apakah perjuangannya tercantum dalam pembelajaran sejarah di sekolah kita?

Pembelajaran kita memang terkesan nyeleneh. Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Pram juga tidak pernah muncul dalam buku-buku pelajaran. Padahal, Pram merupakan sastrawan besar yang karya-karyanya digandrungi di berbagai negara. Karya-karyanya dipelajari di sana. Seharusnya, kita justru yang awal mengapresiasinya karena merupakan karya anak bangsa. Tetapi, di dalam negara sendiri, dia justru terasingkan hingga sekarang. Karya-karyanya masih dianggap sebagai karya yang tidak patut untuk dipelajari dan dijauhi. Pelajar cenderung disuguhi wacana sastra yang itu itu saja, sebut saja sastrawan angkatan Balaipustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45. Bukan berarti angkatan itu tidak perlu diajarkan tetapi setidaknya pelajar juga harus mengenal maestro Pulau Buru untuk memperluas khasanah pengetahuan intelektual dan kesusastraan kita.

Wawasan terhadap jiwa nasionalisme bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan sebenarnya dapat dipelajari dari novelnya. Hal itu dapat dilihat dalam novel Tetralogi Buru yang mengisahkan perjuangan pribumi memperjuangkan hak-hak yang dirampas oleh bangsa kolonial. Nilai-nilai kebudayaan daerah juga dapat diserap dalam novel tersebut. Bahkan, wacana yang dihadirkan dalam karya Pram masih relevan dalam kondisi sosial-politik saat ini yang masih cenderung memperebutkan kekuasaan semata. Dengan mempelajari karya Pram, pelajar setidaknya mengetahui wacana kritis dan perjuangan pribumi untuk bangsanya. Sekali lagi, pelajaran sastra kita masih dipersempit dengan materi sastra yang itu-itu juga. Pembahasan mengenai karya-karya Pram masih sangat minim, bisa jadi tidak ada sama sekali. Apa ya kira-kira penyebabnya?

Kurikulum pendidikan kita memang diwanti-wanti untuk tidak mengajarkan pemikiran yang menyimpang. Oleh sebab itu, Pram tidak pernah nongol dalam ranah pembelajaran dengan beberapa alasan. Pertama, keyakinan ideologi yang diperjuangkannya dianggap melawan pemerintah. Kedekatannya dengan Lekra yang mendukung politik PKI menyebabkannya dilabeli sebagai komunis yang tidak sesuai dengan dasar negara. Pram dianggap tidak percaya pada Tuhan, sedangkan negara kita adalah negara yang berketuhanan.

Sebenarnya, menganggap Pram sebagai ateis itu perlu dipertanyakan. Pram masih meyakini keberadaan Tuhan. Dalam video dokumenter Mendengar Sibisu Bernyanyi yang dikeluarkan Yayasan Lontar, Pram pernah mengatakan, “Tuhan, kalau saya tidak dipergunakan dalam dunia ini, ambillah nyawa saya!” Itu diucapkan ketika Pram mengalami keputusasaan dan masih menyebut Tuhan sebagai tempat kembalinya segala sesuatu. Walau perkataan itu terlontar sebelum dikaitkan-kaitkan dengan komunis, Pram menunjukkan ekspresi yang memiliki spirit terhadap adanya kekuatan transendental. Pram juga membiarkan dirinya dituduh sebagai komunis dan tetap teguh dalam prinsipnya untuk menentang penindasan. Inilah intrik politik penguasa represif terhadap lawan politik yang dianggap membahayakan terhadap kedudukan nyamannya.

Kedua, karena berganti-ganti bui, antara lain bui masa kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru dan baru bebas sepenuhnya tahun 1999, tampaknya masyarakat menganggap bahwa Pram seorang cacat hukum (penjahat/bandit). Stigma inilah yang menyebabkannya teralienasi dari lingkungan sosial, khususnya pendidikan. Stigma ini dilanggengkan untuk kepentingan kekuasaan semata. Bekas tahanan seakan-akan dianggap sebagai hewan yang belum mencapai tingkat evolusi yang sempurna.

Ketiga, dari kedua alasan tadi, secara tidak langsung, Pram adalah musuh pemerintah. Siapa yang berani melawan pemerintah, berarti dia adalah pengkhianat negara. Oleh sebab itu, memperkenalkan Pram pada dunia pendidikan juga berarti mengajarkan pemikiran musuh negara. Hal itu menyebabkan pendidik juga harus berpikir beberapa kali sebelum mengajarkannya, sebelum mereka pun nantinya juga dianggap sebagai musuh pemerintah. Walaupun wacana ini muncul di masa kekuasaan lama, pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Karenanya, sosok Pram bukan terlupakan, tapi cenderung dilupakan. Kita pasti yakin, bangsa kita bangsa besar yang memiliki pemikir-pemikir besar pula. Mungkinkah kita amnesia di usia yang sangat muda?

Butuh Keberanian

Bagi pengajar yang sudah lama mengabdi di dunia pendidikan, mengabdi di masa kekuasaan Orde Baru menyisakan trauma yang berpengaruh pada proses mengajar. Tidak perlu diragukan, ketakutan tersebut masih membekas di dunia pendidikan. Kenyataan ini mempengaruhi lambatnya pengenalan sosok Pram di dunia pendidikan. Sangat disayangkan bila sosok sastrawan itu dilupakan. Pengajar membutuhkan keberanian untuk meningalkan trauma masa silam.

Tidak perlu pengajar menunggu adanya buku pelajaran yang memuat sosok Pram atau menunggu Diknas untuk mengeluarkan kebijakan. Pembelajaran kita sudah harus mampu menerobos sejarah kelam. Kita bertanggung jawab pada generasi baru untuk mengenalkan masa lalu. Pram adalah salah satu kunci pendidikan demokrasi bangsa ini. Dia sekaligus sumber materi untuk memunculkan keberanian beraspirasi dan penentangan terhadap kepincangan politisi kekuasaan. Semoga kita kian belajar terbuka mulai saat ini. Ataukah kita juga melanjutkan kediaman terhadap sejarah kelam masa silam? Yang perlu diingat, mempelajari tidak harus mengikuti. Bisa jadi, mempelajari justru memberikan simulus pemikiran untuk mengkritisi. Semoga kita kian belajar terbuka mulai saat ini. Ataukah kita juga melanjutkan kediaman terhadap sejarah kelam masa silam? Subhanallah....

* Heru Susanto, Guru pada SMP Al-Azhar 13 Surabaya.
Penulis buku menguak misteri Tanda.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2,  Oktober 2010 

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post