Blogroll

Wednesday, August 1, 2012

Cerpen Angga Priandi, Majalah Story Januari 2012



Di Balik Senyum Itu
Bus itu tampak dari luar penuh sesak oleh penumpang. Tapi, hal itu tak menyurutkan niat kami untuk menaikinya. Bulan bersinar cukup terang meskipun kadang tertutup oleh awan dan abu karena semburan abu vulkanik dari gunung di dekat daerah itu. Ketika tanganku memberi sinyal kepada supir agar berhenti, bus tetap saja melaju.
“Ah, penuh lagi,” kataku, “gimana nih? Ntar kita sampai Bayasura pukul berapa? Brengsek!”
“Sabar Ngga, ntar juga pasti dapat bus kok,” kata Indah menenangkanku.
“Iya nih, sekarang sudah pukul sepuluh, ah..!!” Beni sependapat denganku.
“Padahal, besok siang laporan ini harus sudah terkumpul di meja Bu Niar, mana orangnya galak, lagi..” Melati menambahkan.
“Gangga, tuh ada lagi, coba aja dulu! Kayaknya sepi tuh,” kata Indah.
Bus memang terlihat sepi. Tapi, justru ini yang aneh, masak dari tadi ramai, eh yang ini sepi.
“Ah, sudahlah,” pikirku.
Teman-teman sudah bersiap mengangkat barang mereka masing-masing. Setelah mendapat sinyal dariku, bus pun berhenti. Saat kami naik, tak seorang pun penumpangnya berdiri. Itu berarti masih ada tempat duduk untuk kami berenam. Kursi kosong terpisah dari yang lain. Hanya dua kursi kosong yang berdampingan. Itu berada di bagian depan. Aku yang naik terakhir disisakan kursi depan itu. Di sebelahnya sudah ada Indah. Aku pun duduk bersebelahan dengan Indah. Sebelum duduk, kupandangi teman-teman yang lain. Kuhapalkan tempat duduk mereka, “Siapa tahu aku nanti butuh mereka,” pikirku.
Penumpang terdengar tenang. Mereka banyak yang tidur. Sambil pura-pura mengambil barang di tas, aku menengok mereka satu per satu. Beberapa ada yang tidur. Beberapa juga ada yang terjaga. Hampir semua penumpang terlihat pucat. Mungkin mereka kecapean. Beni, Melati, Citra, dan Ulfah sangat kelelahan. Mereka duduk terpisah deret dan baris. Melati yang sempat melihatku melemparkan senyum manisnya untukku. Dari dulu dia memang naksir aku, tapi aku belum memberi sikap kepadanya.
“Ngga, aku tidur ya,” kata Indah yang duduk di sebelahku.
“Iya, tidur saja. Biar aku yang jaga. Lagian perjalanan kan masih lama,” kataku. Perjalanan dari Kota Jembar ke Bayasura memang lama. Jarak keduanya lebih kurang 197 Km. Kalaupun supir memacunya dengan kecepatan rata-rata 60 Km/jam, dibutuhkan lebih dari tiga jam untuk sampai. Sambil memikirkan langkah apa saja yang harus kulakukan setelah sampai di Bayasura nanti, kulihat wajah Indah yang tak kalah manis dengan Melati. Ah, keduanya membuatku bimbang.
Kulihat jalan raya dengan jelas. Pak Supir memacu bus dengan sangat cepat. Kulihat di speedometer, jarum menunjukkan angka 70, tapi Pak Supir begitu sangat tenang. Tak lama, kondektur bus menghampiriku untuk menagih ongkos perjalanan.
“Bayasura Pak, enam orang: saya, yang ini, itu, itu, itu, dan yang itu,” sambil kutunjuk teman-teman yang lain dan kusodorkan uang 200 ribu rupiah.
Tanpa bicara, kondektur itu memberikan enam lembar karcis dan uang 50 ribu sebagai kembaliannya. Kulihat ada dua lembar 20 ribuan dan selembar 10 ribuan. Tanpa pikir panjang, kumasukkan uang itu ke dalam kantong sebelah kanan depan. Kondektur pun berlalu dengan cepat. Dia menghilang.
Kulihat gapura tertulis Selamat Jalan dari Kabupaten Jembar berlalu dengan cepat. Kupandangi supir dan kenek yang tak acuh. Mereka hanya diam dan memandang ke depan. Tak bicara satu sama lain. Ada apa dengan mereka? Apa mereka sedang bermasalah sampai-sampai tak bertegur sapa? Ah, itu bukan masalahku.
Dengan cepat supir membanting setir ke arah kanan. Aku terjerembap ke kiri, ke arah Indah yang sedang tidur mendengkur, “Ah, ternyata cewek cantik juga bisa mendengkur, hehehe.”
Pak Supir melirikku sesaat. Matanya gelap. Bibirnya tebal tertutup rapat. Dengan cepat mukanya kembali memandang ke depan, ke arah jalan yang sedang kami lalui. Lirikan itu seolah melontarkan pesan, “Jangan berpikir apa-apa tentang kami!”
Tiba-tiba dia melirik lagi. Kali ini dengan senyum tipis yang bengis. Matanya tetap gelap. Sangat menyeramkan. Firasatku mengatakan akan terjadi apa-apa.
Kulihat Indah yang masih tertidur lengkap dengan kecantikan dan dengkurnya yang menggebu, haha. Aku tersenyum manis. Tiba-tiba, keinginan untuk melihat kondisi kawan-kawan menyeruak. Aku masih bisa melihat Melati yang juga tertidur, tapi tidak mendengkur. Mungkin tidak terdengar olehku. Beni masih terjaga, tapi berwajah lelah. Citra yang aslinya cerewet juga menjadi sangat pendiam. Dia sedang tidur ditemani earphone yang menempel di telinganya.
Aku tidak menemukan Ulfah. Sebelumnya kulihat Ulfah duduk di kursi nomor tiga dari belakang.
“Ah, mungkin saja dia berpindah tempat.”
Di belakang kursi Ulfah tampak seorang penumpang dengan wajah pucat sedang mengunyah sesuatu. Matanya gelap serupa mata Pak Supir tadi. Kulihat sebelahnya juga sedang mengunyah. Sebelahnya juga. Sebelahnya juga. Apa mereka sedang makan bersama ya? Aku belum menemukan jawabannya.
Kupandangi jalan raya. Kunikmati suasana gelap yang hanya ada lampu dari bus yang kunaiki. Sebelah kanan dan kiri tak ada rumah. Hanya sungai panjang bersebelahan dengan jalan itu. Sungai itu sangat panjang seolah tak berujung.
Badanku sangat capek. Sedangkan, mata tak kunjung memejam. Tapi aku telah berjanji pada Indah untuk menjagannya. Aku harus menepati janji. Seorang laki-laki harus melakukan apa yang dia katakan.
Penumpang sebelah kanan juga menunjukkan kepucatan wajahnya. Mata mereka juga gelap serupa mata Pak Supir dan penumpang yang duduk di sekitar tempat duduk Ulfah.
Kulihat kursi Ulfah lagi. Dia masih tidak terlihat. Orang di sekitar tempat duduk Ulfah masih saja mengunyah. Tapi,…
Citra sekarang juga tak terlihat di tempat duduknya tadi. Ada apa ini? Gadis yang duduk dua kursi di depan Ulfah itu menghilang. Orang yang duduk di sekitar Citra juga sedang mengunyah sesuatu. Persis seperti orang-orang di sekitar Ulfah tadi. Hah? Apa ini hanya imajinasiku saja. Kulihat jalan raya dengan penuh pertanyaan. Kulihat Indah, ingin kubangunkan, tapi tak tega setelah mendengar dengkurannya yang semakin keras. Dia terlihat begitu kelelahan.
Kupandangi lagi kursi milik Ulfah dan Citra. Mereka benar-benar tidak ada. Beni dan Melati masih pulas. Mungkin lengkap dengan impian-impiannya. Kulihat lagi orang-orang yang sedang mengunyah itu. Wajahnya pucat. Matanya juga gelap. Persis seperti mata Pak Supir dan orang-orang yang duduk di sekitar Ulfah. Dari bibir mereka tampak keluar liur. Tapi, samar-samar berwarna merah, serupa warna darah. Salah satu dari mereka memandangku. Dengan senyum sinisnya dia menggerakkan bibir sambil mengunyah. Ada apa ini?
Aku berdiri. Memastikan apa yang terjadi. Kondektur yang ternyata duduk tepat di belakangku juga berdiri seolah berniat menghadang langkahku ke belakang.
“Permisi Pak, saya mau ke belakang. Mau bicara sama teman saya,” kataku. Tapi, dia tetap bergeming. Wajahnya menunduk ke bawah. Matanya juga gelap seperti mata Pak Supir, orang-orang di sekitar Ulfah, dan Citra
Bulu kudukku mulai berdiri. Mereka serempak kompak beranjak dari tempat dan ingin berlarian. Mungkin berkeliling leherku. Atau bahkan melompat keluar dari bagian tubuhku. Darahku menyeruak ke kepala. Jantungku bergenderang.
“Pak, tolong Pak, saya mau ke belakang. Memastikan keadaan teman saya,” nadaku mulai meninggi.
Tiba-tiba beberapa orang berdiri. Mata mereka juga gelap. Orang-orang yang duduk di sekitar Ulfah dan Citra juga berdiri. Mereka berliur merah serupa darah. Atau tepatnya memang darah. Ya, darah. Apa itu darah Citra dan Ulfah? Mereka melontarkan senyum sinis. Dari bibir mereka mulai tampak taring. Mereka pun pamer kuku-kuku yang panjang. Mulutnya menganga. Gigi-giginya terlihat tajam serupa gergaji. Tapi matanya tetap saja gelap seperti mata Pak Supir dan lainnya.
Sekarang mulutnya terbuka lebar. Melontarkan huruf A tanpa suara. Lima jarinya membuka dan siap menerkam.
“Beni, Mela, bangun!!!” teriakku.
Aku langsung mencoba menerobos kondektur itu. Pergumulan pun terjadi. Kupukul wajahnya, tapi dia malah tersenyum sinis. Dia mencekik leherku. Memukuliku dan membantingku ke depan bus, tepat di antara Pak Supir dan Indah yang ternyata masih tidur dan mendengkur. “Apa harus kubangunkan Indah?” pikirku, “ah, biarkan saja. Dia masih aman.”
Kuambil sepatu yang terpasang di kaki. Kulemparkan pada Melati agar dia bangun. Eh, sepatu itu tepat mengenai wajahnya. Dengan sedikit sadar, dia membuka mata dan mengusap liurnya. “Ah, ternyata dia berliur ketika tidur. Ah, tidak ada waktu membahas itu,” pikirku.
Kuambil sepatu yang satu lagi. Kulemparkan pada Beni. Ketika tersadar, Beni telah didekap oleh beberapa orang itu. Beni digigit, dicakar, digumuli, diremas, dibanting, dirobek bajunya, dan akhirnya dia tewas tak berdaya. Badannya digigiti dan dukuliti. Sangat kejam.
Makhluk apa ini? Apa ini makhluk dari film Resident evil? Ah, itu hanya film, tapi ini nyata.
“Indah, bangun, Ndah!!” Indah mulai tersadar.
“Mela, lariii!!!” teriakku. Mela langsung menaiki kursi-kursi untuk berlari ke arahku. Tiba-tiba Pak Supir mengerem bus. Mela terjerembap ke arahku. Tepatnya dipelukanku. Tapi, Pak Supir dengan cepat berdiri dan memegangi Mela. Digigitnya leher Mela. Mela melawan dengan menonjok muka Pak Supir hingga terpental keluar bus melewati kaca yang pecah karena tubuhnya. Mela yang jebolan karate sabuk coklat itu dengan sigap memukul dan menendang makhluk-makhluk itu yang mencoba mendekat.
“Indah, Gangga, pergi!! Aku akan melawan mereka,” kata Mela. “Ah, aku ini laki-laki, aku harus membantunya sekuat tenagaku,” pikirku.
“Indah, pergilah dulu! Nanti kami susul. Aku akan membantu Mela dulu,” kataku mayakinkan Indah. Indah langsung bergegas keluar bus. Tapi, pintu bus terkunci. Dia makin panik. “Ngga, gimana ini?”
Kutendang pintu itu, tapi justru aku yang jatuh terpental. Aku bangun lagi dan menendangnya beberapa kali, tapi tetap saja tak kunjung terbuka. Indah mencari cara lain untuk keluar bus itu. Dia mencoba membuka pintu Pak Supir.
Ternyata, pintu Pak Supir tak terkunci. “Ngga, lewat sini saja!” katanya.
Mela yang sedari tadi masih sigap menghalau makhluk-makhluk itu tampak kecapean. Beberapa makhluk itu masih menikmati daging Beni yang baru saja tewas. Sedangkan, di belakang bus, orang-orang yang telah menghabiskan daging Ulfah dan Citra mulai mencari mangsa baru. Mereka merangsek ke depan.
Mela kutarik agar cepat keluar. Setelah menyelesaikan satu tendangan mautnya ke kepala salah satu makhluk itu hingga terjatuh dan menindihi kawan-kawannya, Mela mengikutiku keluar bus. Selepas kami keluar, pintu bus kuganjal dengan kayu yang kutemukan di luar bus agar mereka tak bisa keluar.
Setelah di luar, kami langsung berlari menuju rumah penduduk setempat. Belum sempat aku berlari, tiba-tiba kakiku dipegang oleh Pak Supir tadi. Dia mencoba menggigit kakiku. Aku teriak, “Aaaach….!!! Toloooongngnggggg!!!”
Mela kembali dan menendang kepala Pak Supir beberapa kali. Aku pun mencoba melepaskan kakiku dari genggamannya. Berhasil.
Kami berlari dengan cepat menuju satu arah, yaitu lampu-lampu yang tampak dari jauh. Itu pasti rumah penduduk. Kulihat makhluk-makhluk itu pantang menyerah. Mereka keluar bus melalui kaca depan yang pecah tadi.
“Terus lari! Jangan berhenti!!” kataku kepada Indah dan Mela.
Setelah puluhan menit kami berlari, Indah berhenti. Dia kecapean. Aku dan Mela pun ikut berhenti. Lampu yang tampak dari kejauhan itu tak kunjung mendekat. Sepertinya sudah agak aman. Kami beristirahat sejenak. Kami duduk menjongkok. Kurogoh uang kembalian kondektur tadi, “Ah, ternyata hanya tiga lembar daun kering. Brengsek!” pikirku.
Mela duduk di dekatku. Napasnya terdengar keras sekali. Sama dengan napasku. Beberapa detik kemudian dia tampak tenang. Tak terdengar lagi napas yang tersengal-sengal itu. Wajahnya memucat. Matanya terlihat gelap. Dia memelukku. Dia pingsan di pelukanku.
“Mela kenapa?” kata Indah.
“Pingsan.”
“Terus gimana?”
“Ya sudah, biar aku yang gendong.”
“Kita harus cepat minta pertolongan, Ngga!”
“Iya, ayo kita jalan. Mela biar kugendong.”
Kugendong Mela dengan posisi seperti seorang suami yang menggendong istrinya dengan mesra. Dia kubopong dengan kedua tanganku. Rambutnya beruraian di sela-sela tanganku.
Saat kubopong Mela, sambil berjalan, kupandangi wajahnya: manis sekali. Di balik wajah yang imut ini tersimpan kekuatan yang luar biasa. Dia bisa mengalahkan makhluk-makhluk itu. Kalau tidak ada dia, pasti kami tidak akan selamat.
Tak lama kemudian, dia mulai tersadar. Dia tersenyum, agak sinis. Dia memelukku dalam gendonganku. Tiba-tiba dia menggigitku. “Aaaach!!! Melaaaaa….!!!”
Indah menoleh, “Kenapa Ngga?”
“Lari Ndah!!! Mela telah berubah menjadi makhluk itu. Lariiii!!!!!”
Tiba-tiba makhluk-makhluk yang mengejar kami datang dengan cepat. Mereka menggigitku, mencakarku, menarikku, dan memakanku. Indah yang melihatku tak kuasa menolong. Dia hanya bisa berlari menuju tempat yang belum tentu membuatnya selamat.

Surabaya, 31 Januari 2011

10 comments:

Kereennn bangeeettt..
Pjdi ikutan panik nii,,

Kereennn bangeeettt..
Pjdi ikutan panik nii,,

terima kasih atas apresiasinya

Apakah Boleh, sudut pandang pertama mati

Ngeri banget deh. Akhirnya juga gak melegakan, masih tetep panik bacanya. Huaaaahhhh

terima kasih atas partisipasinya. ada yang nuntut seri berikutnya gak ya? hehehe

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post