Ilustrasi oleh Ayib Mahmun untuk SARBI
Balada Negeriku
Negeriku bermata pencaharian angin
hilir mudik berebut hembus terkencang
Jika malam telah tiba
ingin kubunuh itu angin
Biar negeriku kembali bercocok tanam
di dalam rumahnya sendiri
Negeriku lebih suka berbedak
pada sekujur tubuhnya
Agar di depan cermin
sim salabim, yakin beraroma sedap
di mata
Jika malam telah tiba
ingin kutanak masak itu bedak-bedak
lalu kujadikan menu pagi sehari-hari
Biar negeriku kembali bergizi tinggi
bebas pengawet makanan
Anak-anak negeriku menyusu induk semang
berduyun-duyun ke televisi
ke iklan, dipenjara dengan bangga
Sebab orangtua-orangtua juga sudah hilang
di ketiak, para induk semang
Jika malam telah tiba
ingin kuberangus itu induk-induk semang
biar mereka tak jumawa berkuasa
tak bernyali menyusup-nyusup
Hingga negeriku bisa kembali pulang
tak ada lagi anak-anak hilang
di pelukan ibunya sendiri
Dan jika malam benar-benar datang
akan kuporandakan tatanan siang
kuleburkan sepenuh malam
biar menyala, itu api dalam sekam
(Keputih, Maret 2010)
Negeriku bermata pencaharian angin
hilir mudik berebut hembus terkencang
Jika malam telah tiba
ingin kubunuh itu angin
Biar negeriku kembali bercocok tanam
di dalam rumahnya sendiri
Negeriku lebih suka berbedak
pada sekujur tubuhnya
Agar di depan cermin
sim salabim, yakin beraroma sedap
di mata
Jika malam telah tiba
ingin kutanak masak itu bedak-bedak
lalu kujadikan menu pagi sehari-hari
Biar negeriku kembali bergizi tinggi
bebas pengawet makanan
Anak-anak negeriku menyusu induk semang
berduyun-duyun ke televisi
ke iklan, dipenjara dengan bangga
Sebab orangtua-orangtua juga sudah hilang
di ketiak, para induk semang
Jika malam telah tiba
ingin kuberangus itu induk-induk semang
biar mereka tak jumawa berkuasa
tak bernyali menyusup-nyusup
Hingga negeriku bisa kembali pulang
tak ada lagi anak-anak hilang
di pelukan ibunya sendiri
Dan jika malam benar-benar datang
akan kuporandakan tatanan siang
kuleburkan sepenuh malam
biar menyala, itu api dalam sekam
(Keputih, Maret 2010)
Rumahku Tentangmu
Yang kurasa
pintu-pintu telah digenapkan
Gaduh peta mulai terukur
di jantung rumah
Mata angin tak lagi gerah
berpijak pada nafas rumah
Hingga setiap pintu pun berayun
disapa semilir yang menerobos
Ruang-ruang pena jadi penuh
serentak lepas berkejaran
Yang kumau
lorong-lorong kian pasang
membanjir seisi rumah
bandang ke pintu-pintumu
(Keputih, Nopember'09)
Mata Padang
Di setiap senyum pada mata
kurangkai pagi hingga senja
Seolah berlari pada kurusetra
di setiap jengkalnya menyala
Pada jeda waktu ingin kurebah
di semburatmu yang menyemai remah
Mengeja sari yang enggan bernyanyi
dari pertapaan kabut yang ditebah
Lalu di ujung hari
kutemu mata yang terpaku
di padang tetap menyala
di umbul-umbul kian nyalang
(Keputih, Okt '09)
Peluh Ku Jauh
Dirimu selukis wajah halilintar
meliuk di baris-baris belukar
Diriku berkas-berkas mural pelayar
menyelusup di bilik-bilik bandar
Laju yang bersentuh gerimismu
selelap ombak menuai riak
berlarian di jauh pintu anganku
Jalan pulang kini kutuju
Di simpang akhir sesayup gema
Ke ujung waktu direndam haru
(17 Juli 2009, sby)
Bayi Peminta-Minta
Bayi-bayi tamasya kota
dalam gendongan jalan-jalan
Menyapa lubuk hati rumahmu
Meratapi nasib anak-anakmu
Memesan seujung kering selimut
sehangat kamar tidur
Menawarkan padamu
gigil basah langit hujan
Merengeki sengatan matahari
selepas lelap menyusu pangkuan
Hembuskan celoteh kanaknya
rindu teduh canda serambi depan
Bayi-bayi polos tersenyum
dalam seringai gendongan
salami dada penderma kasihan
Bayi-bayi terus berjalan
terhanyut hari-hari gendongan
di tidurnya yang culas
Kerdip hatinya sendirian
tatapan yang menyongsong ke depan
Kapan pulang aku kelak?
Rumahku tak semestinya!
(5 Juli 2009, sby)
Bayi-bayi tamasya kota
dalam gendongan jalan-jalan
Menyapa lubuk hati rumahmu
Meratapi nasib anak-anakmu
Memesan seujung kering selimut
sehangat kamar tidur
Menawarkan padamu
gigil basah langit hujan
Merengeki sengatan matahari
selepas lelap menyusu pangkuan
Hembuskan celoteh kanaknya
rindu teduh canda serambi depan
Bayi-bayi polos tersenyum
dalam seringai gendongan
salami dada penderma kasihan
Bayi-bayi terus berjalan
terhanyut hari-hari gendongan
di tidurnya yang culas
Kerdip hatinya sendirian
tatapan yang menyongsong ke depan
Kapan pulang aku kelak?
Rumahku tak semestinya!
(5 Juli 2009, sby)
*) Yuswan Taufiq, pegiat Komunitas ESOK. Saat ini tinggal di Surabaya.
Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010
0 comments:
Post a Comment