Blogroll

Wednesday, August 1, 2012

Cerpen Angga Priandi, Majalah Story November 2010





Try out

“Ayo anak-anak, waktunya kurang sepuluh menit lagi!” kata penjaga try out yang dari tadi dengan sabar menunggui Haris dan kawan-kawannya.
Sontak hampir semua siswa gelagapan kebingungan lantaran masih ada banyak nomor jawaban mereka yang masih kosong. Oto tiba-tiba menggaruk kepalanya karena pusing dengan rumus-rumus matematika yang membingungkan. Kali ini adalah try out dari Diknas tiga mata pelajaran: Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Kemudian dilanjutkan besok juga tiga mata pelajaran: Fisika, Kimia, dan Biologi.
Haris masih ingat ketika awal mula soal-soal menjengkelkan itu dibagikan. Semua teman-temannya cukup PD dengan kemampuan mereka masing-masing. Atau mungkin, mereka telah berdoa agar si penjaga cukup sabar menjaga dan melayani keinginan siswa untuk saling menyontek. Haris pun demikian. Dia telah siap dengan beberapa kertas berisi rumus-rumus Matematika yang tidak dihapalnya. Dia pun telah berdoa agar penjaganya sabar.
Pukul 07.00.
“Tteeetttttt……!!!” suara bel meraung-raung.
Semua siswa telah siap di tempat duduknya masing-masing. Beberapa menit kemudian, penjaga try out datang membawa soal dan lembar jawaban yang masih kosong. Para siswa telah memberi kode kepada teman yang lain untuk saling membantu. Satu per satu soal dan lembar jawaban kosong telah dibagikan. Semua siswa yang telah siap dengan pensil 2B-nya langsung mengisi data diri mereka masing-masing.
“Waktunya 120 menit dimulai dari sekarang.” kata pengawas try out yang juga guru Matematika mereka.
“Mati aku, Pak ini kan killer.” gerutu Haris.
Haris membuka lembar soal pertama. Dilihatnya soal Matematika yang menantang untuk ditaklukkan. Satu nomor selesai, dua nomor selesai. Nomor tiga dilewati karena susah. Pun demikian dengan nomor-nomor selanjutnya sampai pada nomor sepuluh. Sebelas dilalui dengan selamat meski sedikit gak yakin. Pada nomor ke dua belas, Haris mulai malas.
“Ah, langsung saja ke soal Bahasa Inggris.” Pikirnya.
Dibukalah soal nomor ke-21. Jumlah soal try out ini 60: 20 Matematika, 20 Bahasa Inggris, dan 20 soal Bahasa Indonesia. Haris cukup lancar dalam mengerjakan soal Bahasa Inggris tersebut. Hanya beberapa nomor yang gagal diselesaikannya. Cukup membutuhkan waktu 30 menit, dia menyelesaikan soal Bahasa Inggris dengan meninggalkan 5 nomor saja.
Pukul 07.50.
Soal ke-41, Bahasa Indonesia. Karena mengerjakan soal Bahasa Inggris tadi dengan cukup cepat, Haris merasa sangat PD untuk menyelesaikan soal Bahasa Indonesia dengan cepat pula. Tapi, ketika kali pertama membuka soal itu, muncullah bacaan-bacaan yang panjang dan melelahkan. Melihatnya saja sudah merasa kenyang, apalagi harus membacanya.
“Ancrit!” gumamnya.
Dia melihat teman-temannya yang masih serius mengerjakan soal.
“Ancrit, anak-anak ini pada serius semua. Kayaknya pada bisa neh. Ancrit!” umpatan demi umpatan muncul dari pikiran Haris yang tak rela melihat temannya itu bisa mengerjakan soal yang dia sendiri tak mampu menyelesaikannya.
Dia masih memperhatikan teman-temannya itu sambil mencari kekuatan untuk kembali semangat mengerjakan soal-soal menyebalkan itu. Kemudian, dia memperhatikan jam tangan pemberian ibu tercinta: 07.53.
“Ah, masih lama.” Pikirnya.
Tiba-tiba terdengar suara lirih memanggilnya, “Ssstttt….” suara Evin lirih.
Sambil clingak-clinguk dia mencari sumber suara itu.
“Hem?” suara Haris lirih sambil mengangkat kepalanya dengan cepat lalu turun kembali.
“Sudah selesai?” tanya Evin.
“Belum lah.”
“Nomor lima belas apa?”
“Gak tahu. Sebentar, nanti saja.”
“Ok.”
Haris kembali merenung. Dia menaruh kepalanya di atas tangan yang telah disingkap dan berada di atas meja. Sambil terpejam, dia mencoba merangkai kembali semangat-semangatnya yang telah jatuh tercecar berhamburan ke mana-mana. Sempat terpikir untuk izin ke toilet untuk mencuci muka, tapi ragu.
“Ah, izin saja.”
Dia berjalan ke toilet untuk membasahi muka agar rasa malas itu sirna dari pikirannya. Selepas dari toilet, semangatnya kembali meski tak seutuh tadi.
“Saatnya membantai soal-soal brengsek itu.” gumamnya.
Dia teringat kata guru Bahasa Indonesianya di tempat les yang mengatakan bahwa soal Bahasa Indonesia itu jangan dibaca teksnya dulu, tetapi dibaca soalnya dulu. Kalau memang wajib membaca teks, ya dibaca, kalau tidak, ya langsung saja. Ah, metode singkat ini memang cukup digemari siswa dan anak muda zaman sekarang. Membaca adalah momok yang menyeramkan bagi siswa. Padahal, membaca adalah jendela dunia. Setidaknya ini kata para pakar pendidikan. Tapi tidak hanya itu. Bahkan, surat pertama yang turun dari kitab suci agama Islam, yaitu Alquran, adalah surat Al-alaq 1 – 5. Ayat pertama berbunyi iqro’ yang berarti bacalah. Tuhan pun telah menganjurkan umat-Nya untuk membaca. Lalu ada apa dengan anak muda zaman sekarang yang susah untuk disuruh membaca?
Beberapa soal akhirnya terselesaikannya juga walau memakan waktu yang cukup lama. Soal demi soal, materi demi materi, dan tema demi tema terjawab: tentang wacana, tentang tabel, tentang resensi, dan tentang daftar pustaka. Sekarang masuk pada materi sastra.
“Mati aku. Aku kan gak bisa sastra.”
Dia melirik pada penjaga try out yang memasang tampang seram.
“Ancriitt.”
08.30.
Waktu berjalan tanpa perintah. Haris masih berjuang dengan kegalauan pikiran untuk menjawab soal Bahasa Indonesia. Dia melihat reaksi teman-temannya juga mulai gelisah. Ada yang garuk-garuk kepala. Ada yang memegang kepala sambil mendongak ke atas. Ada yang menyandarkan kepalanya di atas meja. Bahkan, ada juga yang tertidur dengan lelapnya.
“Ah, persetan. Kalau tidak bertindak sekarang, bisa-bisa lembar jawabanku bisa kosong terus.” Pikir Haris sambil menghitung jumlah jawaban yang belum diisi: Matematika kurang 15 jawaban, Bahasa Inggris 5 jawaban, dan Bahasa Indonesia 10 jawaban.
“Yud….” suaranya berbisik memanggil Yudi, teman yang duduk di depannya tepat.
“hem….”
“Aku lihat jawabanmu donk?” sambil melihat ke arah penjaga. Aman.
“Aku belum selesai.”
“Iya, ndak papa. Aku cuma pengen lihat saja.”
“Belum koq, ntar aja ya?”
“Ancrit, cuma lihat saja nggak boleh. Dasar pelit!” pikir Haris.
Perburuan diganti ke arah samping kanan.
“Ssstttt, Fa…”
Ifa menoleh sambil menaikkan alisnya lalu dengan cepat turun kembali.
“Sudah selesai?”
Tanpa bersuara, Ifa hanya menggeleng dan menaikkan bahunya dengan ekspresi wajah yang innocent. Mungkin ke arah samping kiri bisa dapat jawaban.
“Jeng,…Ajeng….”
“Apa, Ris?”
“Lihat jawabanmu donk?”
“Neh….” kata Ajeng sambil menunjukkan lembar jawabannya yang ternyata juga masih banyak yang kosong, bahkan lebih banyak. Haris baru sadar kalau ternyata Ajeng punya kemampuan pelajaran yang di bawah rata-rata. Akhirnya dia melirik lembar jawaban Reni yang duduk tepat di belakangnya. Ada beberapa nomor yang bisa disonteknya, terutama pada soal Matematika.
“Syukurlah. Dari pada tidak sama sekali, hehehe.” Senyum kecil Haris muncul dari bibir tebalnya.
08.40.
“Ancrit, dua puluh menit lagi. Masih ada 20 soal lagi yang belum.” gerutunya.
“Oh, iya, aku kan punya beberapa rumus Matematika.” pikirnya tiba-tiba.
Dibukanya pelan-pelan kertas-kertas kecil itu. Dilihatnya rumus-rumus sialan itu. Semakin dilihat, semakin diseriusi, malah semakin puyeng. Sama seperti kepanjangan dari Matematika, Makin Tekun Makin Tidak Karuan.
Mungkin karena keadaan sudah kepepet, tiba-tiba semangatnya meninggi. Kemampuannya meningkat. Daya ingatnya semakin kalap untuk melahap soal-soal itu. Kemampuan seseorang akan menjadi besar tatkala dia berada pada situasi yang sulit, situasi yang terjepit, dan situasi yang mengharuskannya untuk berpikir cepat. Alam bawah sadar lebih berkuasa saat itu. Seandainya kita bisa menaikkan kemampuan kita dalam segala kondisi.
Dengan kemampuannya itu, soal-soal tersebut seolah kerupuk yang dengan mudah dikunyahnya lalu ditelan. Dari 20 soal yang kurang, setengahnya telah terjawab.
Tiba-tiba, “Ayo anak-anak, waktunya kurang sepuluh menit lagi!” kata penjaga try out yang dari tadi dengan sabar menunggui Haris dan kawan-kawannya.
Sontak hampir semua siswa gelagapan kebingungan lantaran masih ada banyak nomor jawaban mereka yang masih kosong. Oto tiba-tiba menggaruk kepalanya karena pusing dengan rumus-rumus matematika yang membingungkan. Rico dan Andre saling memandang. Susan tetap tenang dengan lembar jawaban dan soal di hadapannya. Sepertinya dia sudah tinggal beberapa nomor lagi atau bahkan dia sudah selesai. Yeni kaget karena tiba-tiba pensilnya terjatuh dan patah. Dia harus menyerutnya kembali. Kartika dan Melati yang dari tadi kerja sama tenang-tenang saja.
Semakin panik, maka pikiran semakin ruwet memikirkan jawaban yang tepat. Semakin tidak tenang, pun tidak tenang hasilnya.
“Apa boleh buat, pasti sudah tak sempat lagi kalau harus mengerjakannya dengan cara manual. Harus dengan cara yang lebih instan, yaitu menyontek. Hehehe.” kreativitas Haris muncul bersamaan dengan munculnya strategi setan untuk membantunya mendapat jawaban.
Diambillah lembar jawaban Reni tanpa ragu. Dilihatinya satu per satu, nomor demi nomor. Ada jawaban berkeliaran, langsung tangkap. Dikembalikan lembar jawaban itu. Dua nomor telah terisi.
Kelas semakin gaduh. Penjaga ternyata juga menghalalkan sontek-menyontek itu meskipun dia terkenal sebagai guru yang killer. Mungkin dia tak tega melihat siswanya mendapat nilai jelek. Atau mungkin, dia tak ingin citra sekolah tempatnya mengajar menjadi jatuh karena hasil try out Diknas siswa-siswanya jelek.
Melihat penjaganya bergeming, siswa semakin tak sungkan untuk saling bertukar pikiran langsung melalui lembar jawaban. Haris pun memanfaatkan moment spesial itu untuk memenuhi kuota jawaban yang harus terisi dari nomor 1 sampai dengan 60.
“Tteeetttt….!!” bel akhir masa pertempuran telah berbunyi. Semua puas, semua ikhlas terhadap hasil jawaban mereka meskipun belum tentu semua benar.
Haris tersenyum puas karena jawaban telah terisi meski sedikit tak yakin. Dilihatnya Yudi dan Ifa yang tadi tak mengacuhkannya. Dia hanya bergumam, “Try out ini sesungguhnya tak sepenuhnya menguji kepandaian, tetapi juga menguji kesetiaan.”


Surabaya, 22-23 Februari 2010

3 comments:

udah sering ngirim cerpen ke majalah story?
koq belum dimuat2 ya?

udah sering ngirim cerpen ke majalah story?
koq belum dimuat2 ya?

keren banget ceritanya, aku suka

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post