Ilustrasi Oleh Reza Maulana untuk SARBI
-Oleh Diekey
LaliJiwo-
Kuantitas forum diskusi malam itu memang agak renggang, beda
halnya dengan kalkulasi antusias forum diskusi lainnya. Walaupun memang
terkesan lebih sunyi, akan tetapi ada kegaduhan tersendiri dalam masing-masing
alam pikiran kami. Awalnya memang agak lucu, ketika kami mengundang beberapa
kawan. Mereka menyangka pembahasan tentang Pythagoras beserta refleksinya,
hanya akan sharing seputar serangkaian pelajaran masa lampau tentang rumus
matematika. Pada akhirnya kami hanya bisa saling memaklumi bila filsafat yang
akan kita pelajari dalam “ngupil” malam ini hanyalah renik terkecil dari
kebesaran ilmu itu.
Suasana di luar ruangan dingin, aroma tanah basah berpelukan mesra dengan
musikalisasi gerimis yang selalu setia mengiringi ngerumpi perihal filsuf alam malam
itu. Di awal suasana forum terkesan beku, kemudian kita menyepakati untuk
meraba abad sebelum masehi itu dari sisi sejarah ruang hidup Pythagoras.
Ngerumpi diawali percikan tentang Samos yang merupakan suatu
negara saingan dagang Miletus .
Samos di pimpin oleh Polycrates, seorang
bandit tua penguasa lautan. Bajak laut tersebut sedikit merasa beruntung,
ketika pada akhirnya Miletus berhasil ditaklukan
oleh Persia .
Namun, karena ketakutannya akan serangan dari Persia . Polycrates mencoba
bersekutu dengan Amasis raja mesir. Ternyata si Cambysses raja Persia
itu malah mengirim seluruh kekuatan bala tentaranya untuk menghancurkan Mesir.
Maka, munculah siasat dari Polycrates untuk berpindah kubu. Akhirnya Polycrates
ikut-ikutan mengirim bala tentaranya untuk menyerang Mesir. Pascakejadian
penyerangan itu, seorang penguasa Persia di Sardes mengatakan pada Polycrates
bahwa ia akan memberontak pada maharaja dan akan memberi imbalan seandainya Polycrates
ikut membantunya. Karena kerakusan Polycrates pada harta, dia akhirnya pergi ke
Persia
untuk merundingkan hal itu yang ternyata justru mengakibatkan Polycrates
ditangkap dan disalib.
Menurut Betrand Russel, Pythagoras sudah hidup di samos
kira-kira pada tahun 532 SM. Ada dua versi tentang asal-usul Pythagoras. Ada yang mengatakan jika
dia adalah anak seorang terkemuka bernama Mnesarchos dan ada pula kalangan lain
yang mengatakan bahwa dia adalah anak Dewa Apollo yaitu seorang dewa tertampan.
Pythagoras tidak menyukai sistem pemerintahan Polycrates.
Hingga Pythagoras berupaya pindah ke Mesir. Tapi entah bagaimana caranya pada
akhirnya dia melakukan perpindahan lagi ke Croton. Nah, di Croton itulah dia
mendirikan suatu perkumpulan agama. Perkumpulan tersebut dengan cepat dapat
mempengaruhi Croton. Namun, pada akhirnya malah warga Croton lebih banyak yang
tidak menyukainya. Kemudian Pythagoras berpindah lagi ke Metapontion, tempat di
mana kelak dia akan mati. Ajarannya berkembang pesat di sana. Awal mula
Pythagoras menyebarkan ajaran tentang perpindahan jiwa. Bagi Pythagoras, tak
ada kematian bagi setiap jiwa, ketika kematian tubuh tiba maka yang terjadi
ialah mekanisme kelahiran kembali lewat jenis makhluk hidup lain, maka tak ada
yang dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya baru. Maka, selain mendengungkan
ajaran pada kaumnya, ia kerap kali ikut mengkutbahi hewan. Mengenai ajarannya
ini Xenophanes seorang filsuf setelahnya mengejeknya. Ketika Pythagoras bertemu
dengan seseorang yang akan membunuh anjing, Pythagoras menghampirinya dan menyatakan
jangan membunuh anjing itu. Dia adalah temanku. Aku mengetahui dari
lolongannya. Bisa dikatakan ajaran Pythagoras adalah pembaharuan dari agama Orphis
yang sudah ada sejak zaman Thales.
Orphisme sendiri hadir ketika masyarakat mengagungkan Bacchus.
Ada dua versi
mengenai kelahiran kembali Bacchus. Setelah Bacchus di bunuh oleh brigade Titan
hanya menyisakan jantungnya saja. Beberapa kalangan menyatakan bila jantung itu
dimakan oleh Semele yang kemudian melahirkan Bacchus kembali. Ada pula kalangan lain yang menyatakan bila
akhirnya Zeus yang memakan jantung itu, kemudian Zeus melahirkan kembali Bacchus.
Disinilah awal ajaran tentang perpindahan jiwa. Dalam ritual
untuk memuja Bacchus, kaum Orphis membantai hewan kemudian menyisakan
jantungnya saja, lalu memakan hewan itu dalam keadaan mentah secara kolektif.
Hal itu dilakukan semata untuk memperingati kisah pembantaian Bacchus oleh Titan.
Dalam ajaran lain Orphis, sekte Asketis yang dianut oleh Pythagoras, karya yang
menjadi milik bersama dan terdapat penyetaraan kedudukan wanita. Sementara
makna anggur pada massa
itu ialah suatu wujud penyatuaan diri dengan Bacchus berupa antusiasme. Bisa
dikatakan Pythagoras adalah pemantik unsur Orphisme bagi Plato dan beberapa
filsuf selanjutnya.
Pythagoras adalah orang pertama yang mengaitkan matematika
dengan sesuatu yang bersifat mistis. Banyak orang sering menyebutnya sebagai
seorang intelektual yang ganjil. Bagi zaman itu, matematika dianggap sebagai
argumen kontemplasi. Kemudian, ketika bilangan itu sudah jelas tanpa sanggahan,
sesuatu yang mistis itu pun bisa dianggap selesai. Metafisika dari argumen Pythagoras,
yaitu ketika dia menyatakan bahwa segala sesuatu ialah bilangan-bilangan. Teorema Phytagoras
berasal dari aksioma-aksioma yang jelas dengan sendirinya. Epistemnya ketika
dia mencoba mengorelasikan argumen aritmatika dengan sesuatu yang mistis
sebagai bentuk kontemplasi, maka pengetahuan tentang angka-angka menjadi
sesuatu yang utama. Dapat dikatakan bahwa matematika merupakan sumber
pengetahuan yang eksak dan abadi. Sementara aksiologinya ketika angka dianggap
sebagai nilai paling dasar dan paling penting. Oleh sebab itu, tidak heran bila
epistemologi Pythagoras dijadikan sebagai ilmu pengetahuan sampai saat
ini.
Salah satu teman sharing ngupil malam itu, Dedi, mencoba
menganalogikan bentuk pengaitan aritmatika dengan sesuatu yang mistis. Misalnya
lewat perhitungan pengadu ayam, dengan melakukan perhitungan arah mata angin
atau pun hari yang melalui serentetan hitungan matematis. Hingga pada akhirnya
para pengadu ayam itu menyepakatinya. Tentunya dengan pola patuh terhadap
hitungan itu, akibatnya dia harus mengikuti pola menghadap kemana hari apa
ketika beradu ayam. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, sama halnya dengan BMG
yang meramalkan keadaan cuaca lewat perhitungan matematis. Atau hal lainya
seperti bentuk pengkodean hasil studi lewat IPK, memang terlihat sedikit aneh
bagi manusia modern seperti kami. Berbagai macam bentuk keaktifan kita dalam
bangku kuliah hanya dihitung sebatas ukuran matematis. Maka dari itu, Pythagoras
disebut Russel sebagai intelektual yang ganjil atas upayanya mengkombinasikan
matematika dengan teologi. Hingga memiliki persamaan dengan Einstein dan Ny. Eddy
sekaligus berada ditengah-tengah keduanya.
Selanjutnya pembahasan ngupil malam minggu tersebut beralih
dalam ranah pelacakan makna realita. Dalam artian bagaimana Pythagoras
memandang semesta. Seperti salah satu argumen metafisiknya ketika dia
beranggapan segala sesuatu adalah bilangan-bilangan. Pelacakan tentang Pythagoras
pun tak berhenti sampai di situ, bahkan forum malam itu mencoba menggali
tentang pemaknaan kebenaran bagi Parmenides dan Heraklitus. Dimana Parmenides
menganggap sesuatu yang dapat dipercaya itu harus bersifat tetap. Heraklitus sendiri
berusaha memunggunginya dengan mengatakan justru yang selalu berubah menjadi
itu, adalah kebenaran. Di sana
dapat dikatakan si Pythagoras masih beranggapan tentang sesuatu yang dapat
dipercaya seperti halnya Parmenides. Ilmu pengetahuan yang didapat dari
pemikiran yang dianggap dapat dipercaya. Maka, Pythagoras menganggap sesuatu
yang diperoleh oleh indra tak lebih dari ilusi semata. Hingga bila pun yang ada
dalam pikiran tak sesuai dengan kenyataan, maka haruslah yang dalam pikiran itu
dipaksakan agar dipercaya dalam alam nyata.
Pengaitan matematika dengan sesuatu yang mistis itu memang
agak sulit dimengerti oleh manusia modern seperti kami. Sampai pada akhirnya Dedi,
mencoba untuk berjalan-jalan di dunia kontemporer dengan harapan menemukan
kesamaan sifat dengan ruang manusia modern. Misalnya dengan analoginya tentang
kepercayaan versi Heraklitus.
Dedi mencoba mengambil contoh terdekat. Misalnya ada
mahasiswa yang terlibat dalam organisasi ekstrakampus namun mahasiswa tersebut
menyatakan dirinya ada dalam lingkaran itu dengan alasan ingin berproses. Nah,
disana akhirnya muncul konsepsi kebenaran ala Heraklitus. Sesuatu yang selalu
berubah menjadi. Sedangkan menurut Dedi, tiap organ ekstra mempunyai ideologi
yang mana itu dipandangnya sebagai sesuatu yang tetap. Biasanya salah satu
alasan personal yang tergabung dalam organ ekstra, tidak lain karena ingin
berproses. Maka seketika jawaban instan para penganut organ ekstra tersebut
akan runtuh ketika mereka membeku para sesuatu kebenaran yang bersifat tetap.
Sama halnya terlibat dengan organ tersebut malah membunuh prosesnya.
Akan tetapi analogi tersebut hanyalah contoh semata untuk
meneropong gagasan Heraklitus dan Parmenides. Sedangkan bentuk pembenturan
kedua versi metode pencarian kebenaran yang dapat dipercaya tersebut mustahil
adanya. Analogi lainnya dari Dedi, seperti misalnya ketika kita mengenal tuhan
hanya lewat bahasa yang diwujudkan dalam bentuk satu. Hal tersebut merupakan pengepulan
tentang pandangan terhadap sesuatu yang ada dalam bentuk bilangan.
Namun sejauh apapun meraba-raba pemikiran beberapa
filsuf alam malam itu. Tentu saja masih dirasa forum hanya mampu menjangkau
serpihan terkecil dari kebesaran filsafat. Sebagaimana mestinya jika segala hal
tentang kebenaran tak lebih dari sekerdar asumsi sesaat saja.[]
· DiekeyLalijiwo, lahir di Surabaya, 3 November 1989. Mahasiswa Sastra Sejarah Universitas
Jember. Bergiat pada LPM Ideas.
* Tulisan ini hanyalah review sederhana dari diskusi ngupil yang dihadiri oleh beberapa jenis elemen mahasiswa Jember, diskusi seputar filsafat ini biasa disebut “ngupil” (ngerumpi pilsafat). Kebetulan ngupil malam itu bertempat di sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Prima Fisip Univ. Jember tepat malam minggu (12/3/11). Sekitar jam delapan malam sampai sekitar setengah dua belas malam. Entahlah berapa kuantitas kuota forum yang hadir di malam yang basah itu.
* review sederhana ini disarikan dari diskusi ngupil (ngerumpi pilsafat) yang kebetulan bertempat di secretariat Lembaga Pers Mahasiswa Prima Fisip Univ Jember tepat malam minggu (12/3/11)
Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #4, Agustus 2011
0 comments:
Post a Comment