Typewriter Ideal from Seidel & Naumann, Germany. Author Waelder
Esai Fahrudin Nasrulloh
Persoalan “sastra koran” ternyata masih menjadi
cakap-kecap yang debatable (jika bukan kadaluwarsa) bagi sejumlah cerpenis,
penulis puisi, atau esais. Kendati hal ini sudah lama dibahas dan menautkan
berbagai wacana kesusastraan komtemporer Indonesia. Sebut saja semisal esai
Katrin Bandel berjudul “Sastra Koran di Indonesia” (Jurnal Cerpen Indonesia,
edisi 3, 2003), atau esai Saut Situmorang “Politik Cerpen (Koran) KOMPAS”
(Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 8, 2007). Saya di sini akan coba menanggapi
esai Eko Darmoko “Pembunuh Cerpenis Adalah Koran” (SP: 28/6/09, dan 5/6/09).
Esai Eko sebenarnya tidak menghadirkan problem baru
atau paparan yang analitik jika memang ia niatkan untuk memancing polemik. Tapi
boleh jadi itu bisa terjadi. Tapi ia hanya menghamburkan kenyinyiran yang genit
dan dangkal, pembacaan yang sempit, dan impen-impen pesimistik seputar nasib
cerpen dan cerpenis koran. Lebih-lebih, esainya terlalu berpanjang-panjang,
yang sebenarnya bisa dibikin ringkas, fokus, dan tajam. Muatan sudut pandangnya
masih berkutat soal koran nasional sebagai kiblat cerpenis, cerpenis terkenal
yang menggusur bahkan membunuh cerpenis pemula, sastra Koran vis a vis sastra
serius, dan lain sebagainya. Saya kira asumsi-asumsi demikian tak perlu dipikir
ngotot dengan dahi berkerut, sebab memang begitulah fenomena sastra koran
sekarang. Ada beberapa hal yang bagi saya penting dicatat di sini.
Pertama, pertarungan berkarya. Keberadaan koran
nasional yang menyediakan rubrik budaya atau seni semisal Kompas, Jawa Pos,
Koran Tempo, Republika, Surya, Surabaya Post, dan lain-lain, sekarang ini
adalah sesuatu yang tidak bisa ditampik dan dicibir. Puluhan bahkan ratusan
penulis muda terus bertumbuhan, baik yang nulis cerpen, puisi, atau esai.
Namun, susahnya, kenyataan tersebut samar-samar nyaris mustahil terdeteksi.
Memang ada di beberapa kota di Jatim misalnya, yang bertebaran semacam
komunitas sastra, tapi tak pernah ada suatu jaringan interaksi yang intens yang
terjalin untuk saling berdialog dan dijadikan tolok-imbang akan sejauh mana
gerak kreativitas dan produktivitas antar mereka. Lalu bagaimana dengan
sejumlah penulis yang nyata-nyata tidak memiliki komunitas? Berapa jumlah
mereka? Sejauh mana perkembangan karya-karya mereka. Karena itu, bagi
penulis-penulis yang menggodok karyanya di jalan “sunyi nan gelap” itu, jika
mereka ingin mengaktualisasikan karya mereka, maka media koranlah barangkali
salah satu yang mereka lirik untuk berkirim karya. Jadi, adalah sah bagi siapa
pun cerpenis untuk bertarung masuk ke koran-koran yang dikehendakinya. Tanpa
harus merasa diserbu kalut, bahwa cerpen-cerpen mereka akan digusur cerpenis-cerpenis
kelas mapan. Toh, semisal di Koran Tempo dan Surabaya Post, redaktur koran ini
juga kadangkala menurunkan cerpenis-cerpenis muda. Mari, kita lihat hal ini
dari perspektif yang positif. Sekedar cerita, cerpenis Joni Ariadinata, di
awal-awal tahun 1990-an ia menggeluti cerpen, pernah sampai puluhan kali
cerpen-cerpennya ditolak dan ia tak jemu-kelu juga untuk terus berkirim cerpen
ke koran, hingga cerpennya Lampor dimuat di Kompas.
Kedua, menakar produktivitas. Semangat pertarungan
yang tergodok di batin cerpenis tampaknya menjadi hal penting. Ia akan terus
memacu sekaligus mematangkan kerja kreatifnya untuk terus dan terus berkarya.
Produktivitas ini bisa dipantik oleh banyak hal, semisal diskusi rutin antar
kawan cerpenis atau upaya pembacaan dan penjelian dalam mengamati perkembangan
cerpen-cerpen koran dari yang lawas sampai yang teranyar. Namun saya menangkap
satu sisi negatif bahwa sebuah koran memang memiliki karakter dan selera
tertentu (dari redaktur misalnya). Maka si cerpenis, paling tidak, jika ingin
karyanya lolos di koran ia akan mempertimbangkannya berdasarkan selera si
koran, yang akibatnya ia akan membikin semacam keserupaan baik dari segi gaya
bercerita, alur, corak penokohan, dan muatan aktualitas, dengan yang
cerpen-cerpen yang lazim dimuat di dalamnya. Dari sini, mungkin ia akan terus
melecut produktivitasnya, tanpa memikirkan segi kebaruan cerpennya, namun ia
pada akhirnya akan jatuh tanpa sadar bahwa cerpennya ternyata mirip dengan si
cerpenis “ini atau itu”, meski tujuan utamanya tercapai: cerpennya dilirik dan
dimuat si redaktur. Di sinilah produktivitas dipertaruhkan, dan kebangkrutan
kreativitas jadi bayang-bayang yang mencekam.
Ketiga, surutnya citra majalah sastra. Tak
disangkal satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang bercokol dari tahun
1960-an sampai sekarang adalah majalah sastra Horison. Majalah ini tetap terbit
tiap bulan, namun sudah tidak lagi menjadi perbincangan dan dialektika sastra
yang terus bergerak. Mungkin karena honornya yang masih berkisar 200-an ribu,
atau selektivitas pemuatannya yang sulit. Meski demikian majalah ini tetap
menjadi borometer bagi sebagian penulis. Ada beberapa majalah atau jurnal lain
yang juga menyediakan rubrikasi cerpen, seperti majalah GONG (Yogyakarta),
majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur), Jurnal Cipta (Dewan Kesenian
Jakarta, tapi sudah tidak terbit sejak pertengahan 2008), atau Jurnal Cerpen
Indonesia (Yayasan Akar Indonesia, Yogyakarta), dan lain-lain. Maka, sekali
lagi, cerpen koran (atau sastra koran), dalam konteksnya kini, bisa dipandang
turut serta menentukan perkembangan arus kesusastraan kita, jika bukan
“mengambil-alih”nya. Bagi yang tidak ikut merayakannya, silakan ambil jalan
lain!
Keempat, koneksitas, aktualitas, dan selera
redaktur. Tiga hal pokok ini mau tidak mau akan menjadi pertimbangan penting
bagi cerpenis dan sangatlah menentukan akan dimuat tidaknya cerpen-cerpennya
itu. Kendati tidak sepenuhnya demikian, namun hal ini tetap jadi sorotan utama.
Ada juga sejumlah cerpenis yang cerpen-cerpennya dipandang layak muat di
beberapa koran (semisal di Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo) seperti cerpen-cerpen
Mardi Luhung, Sunlie Thomas Alexander, Raudal Tanjung Banua, atau Gunawan Maryanto.
Ada juga yang tidak, yang cuma diapresiasi satu koran saja.
Kelima, honorarium. Siapa pun cerpenis akan
mempertimbangkan soal honor ini. Dari pertimbangan mengirim cerpen di Koran
yang honornya 200-an ribu sampai yang 1 juta-an, tetap jadi topik konsentrasi
mereka.
Keenam, mental narsis dan ingin cepat terkenal.
Terkadang segala cara yang tidak terpuji dilakukan demi hal itu agar karyanya
lekas dimuat. Lepas dari karyanya memang jelek atau agak bagus. Di sini saya
tidak ingin memberi contoh, tapi dari sejauh pengalaman saya dengan kawan-kawan
tertentu, peristiwa demikian pernah saya dengar dan ketahui, dan jadi kembang
lambe, cas-cis-cus dari mulut ke mulut.
Dengan sengkarut problematik di atas, mungkinkah
cerpenis koran akan surut berkarya oleh dan atas sebab yang cuma
diandai-andaikan dengan perspektif yang tidak utuh? Sementara fenomena sastra
koran telah menjadi bagian inheren dari perkembangan arus kesusastraan kita
kini. Tapi saya masih yakin, ada banyak cerpenis yang akan tetap bertaruh-karya
di koran apa pun.
Fahrudin
Nasrulloh, cerpenis dan penggiat Komunitas
Lembah Pring Jombang
NB : Ini adalah salah satu esai tanggapan atas esai
Eko Darmoko "Pembunuh Cerpenis Adalah Koran" yang termuat di Surabaya
Post.
@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment