Blogroll

Tuesday, May 21, 2013

Cerpenis Koran Tak Akan Mati

 photo Typewriter_Ideal_Seidel_und_Naumann_zps2e481744.jpg


Esai Fahrudin Nasrulloh

Persoalan “sastra koran” ternyata masih menjadi cakap-kecap yang debatable (jika bukan kadaluwarsa) bagi sejumlah cerpenis, penulis puisi, atau esais. Kendati hal ini sudah lama dibahas dan menautkan berbagai wacana kesusastraan komtemporer Indonesia. Sebut saja semisal esai Katrin Bandel berjudul “Sastra Koran di Indonesia” (Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 3, 2003), atau esai Saut Situmorang “Politik Cerpen (Koran) KOMPAS” (Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 8, 2007). Saya di sini akan coba menanggapi esai Eko Darmoko “Pembunuh Cerpenis Adalah Koran” (SP: 28/6/09, dan 5/6/09).

Esai Eko sebenarnya tidak menghadirkan problem baru atau paparan yang analitik jika memang ia niatkan untuk memancing polemik. Tapi boleh jadi itu bisa terjadi. Tapi ia hanya menghamburkan kenyinyiran yang genit dan dangkal, pembacaan yang sempit, dan impen-impen pesimistik seputar nasib cerpen dan cerpenis koran. Lebih-lebih, esainya terlalu berpanjang-panjang, yang sebenarnya bisa dibikin ringkas, fokus, dan tajam. Muatan sudut pandangnya masih berkutat soal koran nasional sebagai kiblat cerpenis, cerpenis terkenal yang menggusur bahkan membunuh cerpenis pemula, sastra Koran vis a vis sastra serius, dan lain sebagainya. Saya kira asumsi-asumsi demikian tak perlu dipikir ngotot dengan dahi berkerut, sebab memang begitulah fenomena sastra koran sekarang. Ada beberapa hal yang bagi saya penting dicatat di sini.

Pertama, pertarungan berkarya. Keberadaan koran nasional yang menyediakan rubrik budaya atau seni semisal Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, Surya, Surabaya Post, dan lain-lain, sekarang ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditampik dan dicibir. Puluhan bahkan ratusan penulis muda terus bertumbuhan, baik yang nulis cerpen, puisi, atau esai. Namun, susahnya, kenyataan tersebut samar-samar nyaris mustahil terdeteksi. Memang ada di beberapa kota di Jatim misalnya, yang bertebaran semacam komunitas sastra, tapi tak pernah ada suatu jaringan interaksi yang intens yang terjalin untuk saling berdialog dan dijadikan tolok-imbang akan sejauh mana gerak kreativitas dan produktivitas antar mereka. Lalu bagaimana dengan sejumlah penulis yang nyata-nyata tidak memiliki komunitas? Berapa jumlah mereka? Sejauh mana perkembangan karya-karya mereka. Karena itu, bagi penulis-penulis yang menggodok karyanya di jalan “sunyi nan gelap” itu, jika mereka ingin mengaktualisasikan karya mereka, maka media koranlah barangkali salah satu yang mereka lirik untuk berkirim karya. Jadi, adalah sah bagi siapa pun cerpenis untuk bertarung masuk ke koran-koran yang dikehendakinya. Tanpa harus merasa diserbu kalut, bahwa cerpen-cerpen mereka akan digusur cerpenis-cerpenis kelas mapan. Toh, semisal di Koran Tempo dan Surabaya Post, redaktur koran ini juga kadangkala menurunkan cerpenis-cerpenis muda. Mari, kita lihat hal ini dari perspektif yang positif. Sekedar cerita, cerpenis Joni Ariadinata, di awal-awal tahun 1990-an ia menggeluti cerpen, pernah sampai puluhan kali cerpen-cerpennya ditolak dan ia tak jemu-kelu juga untuk terus berkirim cerpen ke koran, hingga cerpennya Lampor dimuat di Kompas.

Kedua, menakar produktivitas. Semangat pertarungan yang tergodok di batin cerpenis tampaknya menjadi hal penting. Ia akan terus memacu sekaligus mematangkan kerja kreatifnya untuk terus dan terus berkarya. Produktivitas ini bisa dipantik oleh banyak hal, semisal diskusi rutin antar kawan cerpenis atau upaya pembacaan dan penjelian dalam mengamati perkembangan cerpen-cerpen koran dari yang lawas sampai yang teranyar. Namun saya menangkap satu sisi negatif bahwa sebuah koran memang memiliki karakter dan selera tertentu (dari redaktur misalnya). Maka si cerpenis, paling tidak, jika ingin karyanya lolos di koran ia akan mempertimbangkannya berdasarkan selera si koran, yang akibatnya ia akan membikin semacam keserupaan baik dari segi gaya bercerita, alur, corak penokohan, dan muatan aktualitas, dengan yang cerpen-cerpen yang lazim dimuat di dalamnya. Dari sini, mungkin ia akan terus melecut produktivitasnya, tanpa memikirkan segi kebaruan cerpennya, namun ia pada akhirnya akan jatuh tanpa sadar bahwa cerpennya ternyata mirip dengan si cerpenis “ini atau itu”, meski tujuan utamanya tercapai: cerpennya dilirik dan dimuat si redaktur. Di sinilah produktivitas dipertaruhkan, dan kebangkrutan kreativitas jadi bayang-bayang yang mencekam.

Ketiga, surutnya citra majalah sastra. Tak disangkal satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang bercokol dari tahun 1960-an sampai sekarang adalah majalah sastra Horison. Majalah ini tetap terbit tiap bulan, namun sudah tidak lagi menjadi perbincangan dan dialektika sastra yang terus bergerak. Mungkin karena honornya yang masih berkisar 200-an ribu, atau selektivitas pemuatannya yang sulit. Meski demikian majalah ini tetap menjadi borometer bagi sebagian penulis. Ada beberapa majalah atau jurnal lain yang juga menyediakan rubrikasi cerpen, seperti majalah GONG (Yogyakarta), majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur), Jurnal Cipta (Dewan Kesenian Jakarta, tapi sudah tidak terbit sejak pertengahan 2008), atau Jurnal Cerpen Indonesia (Yayasan Akar Indonesia, Yogyakarta), dan lain-lain. Maka, sekali lagi, cerpen koran (atau sastra koran), dalam konteksnya kini, bisa dipandang turut serta menentukan perkembangan arus kesusastraan kita, jika bukan “mengambil-alih”nya. Bagi yang tidak ikut merayakannya, silakan ambil jalan lain!

Keempat, koneksitas, aktualitas, dan selera redaktur. Tiga hal pokok ini mau tidak mau akan menjadi pertimbangan penting bagi cerpenis dan sangatlah menentukan akan dimuat tidaknya cerpen-cerpennya itu. Kendati tidak sepenuhnya demikian, namun hal ini tetap jadi sorotan utama. Ada juga sejumlah cerpenis yang cerpen-cerpennya dipandang layak muat di beberapa koran (semisal di Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo) seperti cerpen-cerpen Mardi Luhung, Sunlie Thomas Alexander, Raudal Tanjung Banua, atau Gunawan Maryanto. Ada juga yang tidak, yang cuma diapresiasi satu koran saja.

Kelima, honorarium. Siapa pun cerpenis akan mempertimbangkan soal honor ini. Dari pertimbangan mengirim cerpen di Koran yang honornya 200-an ribu sampai yang 1 juta-an, tetap jadi topik konsentrasi mereka.

Keenam, mental narsis dan ingin cepat terkenal. Terkadang segala cara yang tidak terpuji dilakukan demi hal itu agar karyanya lekas dimuat. Lepas dari karyanya memang jelek atau agak bagus. Di sini saya tidak ingin memberi contoh, tapi dari sejauh pengalaman saya dengan kawan-kawan tertentu, peristiwa demikian pernah saya dengar dan ketahui, dan jadi kembang lambe, cas-cis-cus dari mulut ke mulut.

Dengan sengkarut problematik di atas, mungkinkah cerpenis koran akan surut berkarya oleh dan atas sebab yang cuma diandai-andaikan dengan perspektif yang tidak utuh? Sementara fenomena sastra koran telah menjadi bagian inheren dari perkembangan arus kesusastraan kita kini. Tapi saya masih yakin, ada banyak cerpenis yang akan tetap bertaruh-karya di koran apa pun.

Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang

NB : Ini adalah salah satu esai tanggapan atas esai Eko Darmoko "Pembunuh Cerpenis Adalah Koran" yang termuat di Surabaya Post.

@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post