Fotografi karya Maxie Ellia Kalangi untuk SARBI
Yang
Kuman, Yang Lautan
Kau koloni kuman, Lautan yang
kuseberangi seorang diri
dengan mata terpejam. Bukan
lantaran kau begitu menakutkan,
tetapi menaklukkanmu adalah
beragam kemungkinan.
Aku, perahu kebimbangan. Cadik
patah, layar terbelah.
Ombak setinggi lutut, menekukku
sepenuh kalut.
Pulau dan pepohonan seperti
kenangan membayang.
Menghiba-menghimbau agar aku
cepat pulang.
Kita: lambang perjuangan di
dinding candi,
di gambar selembar uang. Kisah
nenek moyang
yang tersengal - terpenggal pada
lirik lagu.
Seperti punggung ikan paus
tertikam harpun.
Menyelam! Tenggelam!
Sebelum pukat, sebelum jerat.
Sebelum pantun bernada laknat.
2010
Sejak
Lebak Dituliskan Dalam Sajak
Lembut lekuk tubuhmu, Adinda,
lumat
dalam warna karat senja di hutan
karet.
Aku, Saija, mata sawah yang
terlalu sarat
oleh tangis para peladang yang
berderet.
Apakah yang tersisa dari sajian
kisah cinta
yang digubah Tuan Multatuli ini?
Kecuali
fakta sejarah telah begitu
berdarah karena
duka tak kunjung sirna dari kami,
Pribumi.
Sejak Lebak dituliskan dalam
sajak Rendra,
tak semua bisa sepakat bahwa
cinta begitu
dekat dengan kematian, Adinda,
maka
kubiarkan saja di langit yang tak
lagi biru
kubayangkan kau bagai Shinta
direngkuh
Rahwana, dikejar Garudeya, dan
aku,
Laksmana, rela mati untuk Rama,
Sang Raja.
2010
Sajak
Laron
1.
Suatu malam, di depan cahaya,
ada yang berdoa. Sederhana saja:
"Tuan Icarus, pakailah tubuh
saya!"
Dan sepasang sayap lilin,
lurus lagi halus tumbuh sempurna.
2.
Dengan rasa percaya, dia
berkelana
dari cahaya kepada cahaya.
Karena ada banyak cahaya yang tak
pernah
dilihatnya sejak dia diperam
dalam tanah.
Sebagai rindu, dialah Ibrahim.
Berangkat tanpa syarat, selain
sarat cintanya.
Maka, setiap berjumpa cahaya,
dipersembahkannya sejumput sisik
sayap,
sambil berharap,"Terbakarlah
sebagai sukacita!"
Dan dia terus berkelana, dari
cahaya ke cahaya,
dengan rasa percaya.
Sebagai rindu, dia tak pernah
jemu
menjumput dan membakar sisik
sayap
setiap bertemu cahaya hingga
seluruhnya
tercabut dari pundak, dan jatuh.
3.
Suatu malam, di depan cahaya,
ada yang berkata begini rupa:
"Tuan Gibran, tugasmu
paripurna."
Sayap-sayap lilin telah punah,
dan cinta pada cahaya mengantar
rindu,
dalam lubang-lubang baru.
2010
Yang
Himar, Yang Hingar
Janganlah Kau sangka aku:
Dermawan
Di luar tembok, tertambat hanya 2
ekor himar
Pakailah mereka sesukamu, Tuan
Padanya tak bergembok, segalanya
telah terlukar
Dan mari kuantar Tuan ke Pasar
Di sana, yang hinggar dan sesak
itu kesabaran
Segobang, secupak kuberikan juga,
kuanggap hilang, kuanggap tak
berharga.
Tanpa payung dan panji, pasti
kupenuhi janji,
seperti daun palma berbentang
jejari.
Duhai Tuan, perjalanan panjang
ini;
Kau atau Aku yang harus memulai?
2010
DedyTri Riyadi,
lahir di Tegal Jawa Tengah. Kini tinggal di Jakarta. Puisinya diterbitkan
(Bersama Inez Dikara dan Maulana Achmad) dalam buku “Sepasang Sepatu Sendiri
dalam Hujan.” Blognya www.toko-sepatu.blogspot.com
Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment