Ilustrasi oleh Lixiviandro Indra Harinanda untuk SARBI
Ikan
Jika ada sekoci yang mendarat di pantainya
maka itulah aku
Aku yang telah menjadi bagian dari ingatanmu
Dan malam ini kau layarkan ingatan menuju pantai.
Pantai mimpimu
Ingatan itu tak tersesat
karena berkompas
Tak gelap karena berlentera
Tak tenggelam karena tak berbeban
Ingatan itu hanya cemas setibanya di pantai
Sebab seorang lelaki akan memungut dan mencacahnya
Buat santapan kucing kelaparan
Oh tangan lelaki itu berlumur darah dari cacahan itu
Dan kau akan menciumnya kelak
Bekasi 1 feb 2010
Jika ada sekoci yang mendarat di pantainya
maka itulah aku
Aku yang telah menjadi bagian dari ingatanmu
Dan malam ini kau layarkan ingatan menuju pantai.
Pantai mimpimu
Ingatan itu tak tersesat
karena berkompas
Tak gelap karena berlentera
Tak tenggelam karena tak berbeban
Ingatan itu hanya cemas setibanya di pantai
Sebab seorang lelaki akan memungut dan mencacahnya
Buat santapan kucing kelaparan
Oh tangan lelaki itu berlumur darah dari cacahan itu
Dan kau akan menciumnya kelak
Bekasi 1 feb 2010
Matinya Penyair yang Tak Punya Buku Puisi
Biarkan dia sunyi
memilih kata yang disenangi
di putih kertas
dengan segelas dingin kopi
dan rokok kretek masih berapi
dia menjaga tiap letup kata
dari gelagat pembunuhan
hingga jauh rindu mengalir
untuk mengeja yang telah diperbuat
perlahan sebelum sosok gelap membendung
Betapa jauh dia mengembara
di tempat asing dan nyalang mata
tak sanggup tembus kelam
meski bergegas melangkahkan gerak kata
tapi hening lukisan dinding gemakan hampa
Tak heran
jika dia terbaring di lenggang meja
kursi tak lagi beri keramahan
kemungkinan dia menunggu tamu
ketukan pintu yang terdengar tua
tentu ngeri sendiri bila terucap salam
dan bayang tangan hantu lalu muncul
campakkan kusut mimpi
Ini sepi menakutkan
tak ada saksi atas jejak kematian
sebab airmata penyair tersimpan dalam redup
cahaya rumah, tiada pekik mengiring
kekosongan laksana nyanyi perih menyusut
meraba-raba lembab tanah,
yang tak pernah mau menuliskan namanya
Biarkan dia sunyi
memilih kata yang disenangi
di putih kertas
dengan segelas dingin kopi
dan rokok kretek masih berapi
dia menjaga tiap letup kata
dari gelagat pembunuhan
hingga jauh rindu mengalir
untuk mengeja yang telah diperbuat
perlahan sebelum sosok gelap membendung
Betapa jauh dia mengembara
di tempat asing dan nyalang mata
tak sanggup tembus kelam
meski bergegas melangkahkan gerak kata
tapi hening lukisan dinding gemakan hampa
Tak heran
jika dia terbaring di lenggang meja
kursi tak lagi beri keramahan
kemungkinan dia menunggu tamu
ketukan pintu yang terdengar tua
tentu ngeri sendiri bila terucap salam
dan bayang tangan hantu lalu muncul
campakkan kusut mimpi
Ini sepi menakutkan
tak ada saksi atas jejak kematian
sebab airmata penyair tersimpan dalam redup
cahaya rumah, tiada pekik mengiring
kekosongan laksana nyanyi perih menyusut
meraba-raba lembab tanah,
yang tak pernah mau menuliskan namanya
Bekasi, 25-07-2010
Kereta
Gantung
Bagai selembar kertas
ditiup angin dari lorong seberang
terlempar tanpa perlawanan
dengan hentak getar awal
memanggil ketakutan
pada bayang maut
terbayang jatuh
secara tiba-tiba
dan kehendak kita pasrahkan
pada satu arah lurus terikat tali harapan
melayang tak perlu berbicara tentang waktu
betapa langit terlihat dekat mengajak kita bermain
pada semilir angin
Kita perlahan meninggi
menjauhkan kita pada pulau-pulau asing
yang masih terbaring menunggu kita singgah
tapi runcing menara istana membuat enggan menurun
sebab teringat pada tangan pepohonan yang terpatah
setelah berhasrat menjangkau langkah awan
Dimana lakukan pendaratan ?
Sedang kita masih selesaikan deras luncur nasib
barangkali menggiring kita pada sebuah pesan langit
dan tugas kita hanya menikmati laju angan
dengan bening kaca mengurung tanya
Bekasi, 25-07-2009
Bagai selembar kertas
ditiup angin dari lorong seberang
terlempar tanpa perlawanan
dengan hentak getar awal
memanggil ketakutan
pada bayang maut
terbayang jatuh
secara tiba-tiba
dan kehendak kita pasrahkan
pada satu arah lurus terikat tali harapan
melayang tak perlu berbicara tentang waktu
betapa langit terlihat dekat mengajak kita bermain
pada semilir angin
Kita perlahan meninggi
menjauhkan kita pada pulau-pulau asing
yang masih terbaring menunggu kita singgah
tapi runcing menara istana membuat enggan menurun
sebab teringat pada tangan pepohonan yang terpatah
setelah berhasrat menjangkau langkah awan
Dimana lakukan pendaratan ?
Sedang kita masih selesaikan deras luncur nasib
barangkali menggiring kita pada sebuah pesan langit
dan tugas kita hanya menikmati laju angan
dengan bening kaca mengurung tanya
Bekasi, 25-07-2009
Fitrah Anugerah, lahir
di Surabaya, 28 Oktober 1974. Alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Airlangga. Pernah bergiat pada Teater Gapus Unair dan Bengkel Muda Surabaya
(BMS). Saat ini tinggal di Bekasi dan bergiat pada Komunitas Sastra Kedailalang
Kalimalang. Kumpulan puisinya Jalan Setapak terbit dalam format e-book.
Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment