A Girl Writing; The Pet Goldfinch by Browne, Henriette (1829 - 1901) oil on canvas
Oleh Krido Waluyomukti*
Kita tentu tak memungkiri jika sastra
terus mengalami perluasan medium. Sastra koran, yang selama beberapa tahun
belakangan menjadi medium pembaptisan bagi mereka yang ingin dipredikati
“sastrawan”, seolah sedang mengalami periode jenuh. Tidak ada perkembangan dan
sumbangan signifikan bagi lahirnya karya-karya kontemporer yang menyuguhkan
eksplorasi estetika secara lebih ekstrem.
Perluasan medium bersastra itu, pernah
dibahas dalam artikel Kompas 11 Januari 2009, Sastra pun Berdiaspora.
Perkembangan teknologi informasi, terus diperluasnya arus informasi melalui
internet, serta makin beranekanya medium untuk menyampaikan pendapat semacam
blog, forum, sampai jejaring sosial memperluas sekaligus mengaburkan predikat
apakah sastrawan itu.
Ia yang menulis karya sastra, kini bisa
jadi seorang ibu rumah tangga, para pekerja kelas menengah, sampai anak-anak
sekolah kelas menengah. Dunia cyber menjadi sebuah komunitas sastra raksasa.
Diskusi kini tak harus berada di warung kopi pinggir jalan sebuah kampus di
tengah kota. Saya bisa berbincang tentang Borges ketika sedang berada di dalam
angkutan umum.
Kita bisa mengambil contoh situs jejaring
sosial paling ngetren saat ini, facebook. Sepanjang tahun 2010 bertungkus-lumus
menjelajah ranah liar ini, perbincangan mengenai karya sastra sangat marak.
Informasi mengenai kegiatan bersastra lebih mudah diakses. Bahkan diskusi
sampai debat kusir menjadi hal yang sangat biasa. Liar dan banal. Lebih cepat berlari
daripada polemik sastra yang menghuni lembar budaya koran.
Saking demokratisnya, dalam bahasa Ribut
Wijoto, komentar-komentar yang dilontarkan seringkali berupa pujian sebagai
penghormatan atas pertemanan, tidak metodis, dan seringkali memakai pendekatan
standar. Akan tetapi harus diingat, semua pendekatan apapun metodenya sah
dipakai dalam facebook. Lebih dinamis daripada lembar budaya koran minggu kita.
Saya pernah membaca esai akademis Abdul Hadi WM, Cunong Nunuk Suraja, atau
Dimas Arika Miharja.
Tiba-tiba dalam kepala saya berkelindan
pertanyaan : (kini) Sastra itu apa? Siapakah sastrawan (kini)? Bagaimana
standar karya yang (kini) layak disebut sebagai sastra? Facebook juga
melahirkan suatu fenomena baru : kemudahan menerbitkan buku. Banyak buku sastra
yang terbit dari rahim situs ini. Penerbit-penerbit independen bertumbuhan.
Mereka memiliki keberanian menerbitkan karya yang bahkan ditulis oleh pemula
sekalipun. Penerbitan buku dengan format e-book juga menjadi alternatif
bagi yang tak memiliki cukup dana. Tahun 2010 kemarin bisa disebut sebagai
tahun membanjirnya buku-buku sastra. Sesuatu yang ironis mengingat beberapa
tahun sebelumnya kita sering mendengar bahwa penerbitan buku puisi merupakan
proyek bunuh diri.
Namun dari beberapa buku yang pernah saya
baca, sejujurnya, banyak yang kurang menggigit dalam hal pencapaian estetika atau
setidaknya menyumbangkan perbedaan dari khazanah sastra terdahulu. Sampai di
sini saya harus mengambil pemikiran gegabah bila demokratisasi sastra juga
menggerus mutu dan kualitas karya sastra. Akan tetapi, seorang kawan pernah
mengungkapkan bila di medium massal seperti facebook, kita tidak dapat menilai
dan mengharapkan kualitas estetik yang memuaskan. Yang harus disyukuri adalah
orang awam mulai menikmati kata dan mencoba bermain mengolahnya.
Akhirnya, di tengah hujan karya sastra
ini, saya ingin menemu nama dengan daya ucap mengejutkan semacam Afrizal Malna,
Kriapur, atau Joni Ariadinata. Syukurlah, di tengah hiruk pikuk karya sastra di
belantara cyber, masih ada nama semacam Sungging Raga, Bernard Batubara,
Pringadi Abdi Surya, Steven Kurniawan, atau Arther Panther Olii yang memberi
secercah harapan.
Krido
Waluyomukti, penikmat
sastra facebook. Tinggal di Surabaya Selatan.
Dalam Lembar Sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment