Blogroll

Friday, May 3, 2013

What Is Sastra?

 photo Browne_Henriette_-_A_Girl_Writing_The_Pet_Goldfinch_-_Google_Art_Project_zps50a2a8a8.jpg
A Girl Writing; The Pet Goldfinch by Browne, Henriette (1829 - 1901) oil on canvas


Oleh Krido Waluyomukti*

Kita tentu tak memungkiri jika sastra terus mengalami perluasan medium. Sastra koran, yang selama beberapa tahun belakangan menjadi medium pembaptisan bagi mereka yang ingin dipredikati “sastrawan”, seolah sedang mengalami periode jenuh. Tidak ada perkembangan dan sumbangan signifikan bagi lahirnya karya-karya kontemporer yang menyuguhkan eksplorasi estetika secara lebih ekstrem.
Perluasan medium bersastra itu, pernah dibahas dalam artikel Kompas 11 Januari 2009, Sastra pun Berdiaspora. Perkembangan teknologi informasi, terus diperluasnya arus informasi melalui internet, serta makin beranekanya medium untuk menyampaikan pendapat semacam blog, forum, sampai jejaring sosial memperluas sekaligus mengaburkan predikat apakah sastrawan itu.
Ia yang menulis karya sastra, kini bisa jadi seorang ibu rumah tangga, para pekerja kelas menengah, sampai anak-anak sekolah kelas menengah. Dunia cyber menjadi sebuah komunitas sastra raksasa. Diskusi kini tak harus berada di warung kopi pinggir jalan sebuah kampus di tengah kota. Saya bisa berbincang tentang Borges ketika sedang berada di dalam angkutan umum.
Kita bisa mengambil contoh situs jejaring sosial paling ngetren saat ini, facebook. Sepanjang tahun 2010 bertungkus-lumus menjelajah ranah liar ini, perbincangan mengenai karya sastra sangat marak. Informasi mengenai kegiatan bersastra lebih mudah diakses. Bahkan diskusi sampai debat kusir menjadi hal yang sangat biasa. Liar dan banal. Lebih cepat berlari daripada polemik sastra yang menghuni lembar budaya koran. 
Saking demokratisnya, dalam bahasa Ribut Wijoto, komentar-komentar yang dilontarkan seringkali berupa pujian sebagai penghormatan atas pertemanan, tidak metodis, dan seringkali memakai pendekatan standar. Akan tetapi harus diingat, semua pendekatan apapun metodenya sah dipakai dalam facebook. Lebih dinamis daripada lembar budaya koran minggu kita. Saya pernah membaca esai akademis Abdul Hadi WM, Cunong Nunuk Suraja, atau Dimas Arika Miharja.
Tiba-tiba dalam kepala saya berkelindan pertanyaan : (kini) Sastra itu apa? Siapakah sastrawan (kini)? Bagaimana standar karya yang (kini) layak disebut sebagai sastra? Facebook juga melahirkan suatu fenomena baru : kemudahan menerbitkan buku. Banyak buku sastra yang terbit dari rahim situs ini. Penerbit-penerbit independen bertumbuhan. Mereka memiliki keberanian menerbitkan karya yang bahkan ditulis oleh pemula sekalipun. Penerbitan buku dengan format e-book juga menjadi alternatif bagi yang tak memiliki cukup dana. Tahun 2010 kemarin bisa disebut sebagai tahun membanjirnya buku-buku sastra. Sesuatu yang ironis mengingat beberapa tahun sebelumnya kita sering mendengar bahwa penerbitan buku puisi merupakan proyek bunuh diri.
Namun dari beberapa buku yang pernah saya baca, sejujurnya, banyak yang kurang menggigit dalam hal pencapaian estetika atau setidaknya menyumbangkan perbedaan dari khazanah sastra terdahulu. Sampai di sini saya harus mengambil pemikiran gegabah bila demokratisasi sastra juga menggerus mutu dan kualitas karya sastra. Akan tetapi, seorang kawan pernah mengungkapkan bila di medium massal seperti facebook, kita tidak dapat menilai dan mengharapkan kualitas estetik yang memuaskan. Yang harus disyukuri adalah orang awam mulai menikmati kata dan mencoba bermain mengolahnya.
Akhirnya, di tengah hujan karya sastra ini, saya ingin menemu nama dengan daya ucap mengejutkan semacam Afrizal Malna, Kriapur, atau Joni Ariadinata. Syukurlah, di tengah hiruk pikuk karya sastra di belantara cyber, masih ada nama semacam Sungging Raga, Bernard Batubara, Pringadi Abdi Surya, Steven Kurniawan, atau Arther Panther Olii yang memberi secercah harapan.

Krido Waluyomukti, penikmat sastra facebook. Tinggal di Surabaya Selatan.

Dalam Lembar Sastra SARBI edisi #3, Februari 2011

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post