Blogroll

Tuesday, May 28, 2013

Buku dan Sebatang Cokelat

 photo man-reading-51281_zpsb3c06f5b.jpg
Man Reading karya Georges Lemmen 

Oleh: Fandy Hutari

Di kamar kontrakan berukuran empat kali lima meter, mata saya masih tenggelam di dalam layar netbook yang terpenuhi oleh huruf-huruf. Sebotol minuman soda tumpah membasahi hamparan buku yang menyesaki kamar sempit ini. Saya masih tercenung, mengingat saat-saat perpisahan kita, lebih dari dua bulan yang lalu. Kepala saya yang botak menjadi berkilap karena terpantul sinar bola lampu lima puluh watt yang menerangi setiap sudut kamar ini. Pantulannya membalikkan tabir memori masa lalu yang teramat pedih. Seekor kuda menyeringai dari bawah kasur kapuk yang menghampar tepat di belakang saya. Suara kayu yang dibenturkan di tiang listrik tepat di depan kamar kontrakan saya nyaring berbunyi tiga kali.                                                     Ting! Ting! Tiiiinggg!                                                                                                  Suara-suara itu membawa saya keingatan usang yang sebenarnya sudah saya bakar menjadi arang. Cerita soal buku dan sebatang cokelat.

1
Kita terbiasa jalan-jalan bersama. Menyusuri gunung-gunung yang menjulang ke langit, menelusuri rimbunan pepohonan yang akarnya menyentuh bumi, menyeberangi sungai-sungai yang mengelok dan berarus deras, hingga terbang menuju angkasa yang luasnya segenggaman Tuhan. Kita terbiasa jalan-jalan bersama, namun itu semua cuma dalam pikiran kita berdua.                                                                                                      Kamu terbangun dan menyingkirkan lengan saya yang mendekapmu semalaman ini. Matamu yang belum dilapisi lensa membuat saya terpacu membayangi lagi malam tadi.                                                                                                                                                 Mana bukumu, katamu mengagetkan lamunan jorok saya.                                        Saya seperti sedang tersengat pantat lebah di hidung.                                           Belum. Kata penerbitnya akan terbit akhir bulan ini, jawab saya.                                    Saya juga bangun. Lalu duduk di depan cermin. Memakai lipstik dan parfumnya.

2
Matahari menyeruak menerobos fentilasi yang terdapat di sudut kamar mandi satu-satunya di kontrakan ini. Saya sedang mencuci. Mencuci pakaian. Nah, inilah hobi saya selain menulis di kamar. Dari lubang jamban, terdengar suara gemercik air. Seekor kobra keluar dari sana. Membawa aroma bau kotoran yang tak enak jika engkau menciumnya. Busa-busa dalam ember membentuk gelembung yang terbang ke udara. Pecah, dan menghadirkan memori yang membalikkan ingatan saya ke cerita buku dan sebatang cokelat.

3
Ada seekor kupu-kupu yang keluar dari kelopak matamu, menembus lensa kacamatamu, dan menusuk bola mata saya. Setelah itu, kupu-kupu berubah menjadi cairan yang menembus urat-urat darah saya. Menuju jantung dan menulari hati saya yang sudah lama membeku bagaikan es.                                                                                                   Itu mungkin yang dimaksud orang-orang dengan cinta. Padahal, saya tak pernah menanggapi perasaan itu. Namun, karena kita sering berjalan-jalan dan sering bersama, perasaan itu timbul secara otomatis.                                                                                      Sore itu, kamu mengajak saya ke dataran tinggi tengah kota Bandung. Kita berdua, bersama-sama menyaksikan pemandangan gedung-gedung yang seperti tumpukan balok kayu. Di mata saya cuma ada kamu. Orang-orang yang hilir-mudik saya anggap kapas-kapas yang melayang-layang. Mulut saya yang sejak tadi terkunci, tiba-tiba mengucapkan sesuatu. sesuatu yang selama ini saya pendam dalam-dalam.    Saya sayang kamu, ucap saya.                                                                                 Maaf, aku tidak bisa menerimamu. Ada lelaki lain dalam hidupku, katamu.     Air matamu jatuh. Air itu, menguap di udara saat hampir menyentuh tanah yang sama-sama kita pijak. Saya cium kening kamu. Mengusap air matamu. Memelukmu erat-erat. Enggan saya berpisah darimu setelah ini.                                                                 Tiba-tiba, kaus yang kamu pakai itu bertukar dengan kaus saya. Saya sekarang memakai pakaianmu. Aroma parfum tubuhmu yang khas dapat saya endus dengan tegas. Mata kapas-kapas tadi memerhatikan saya dengan tatapan aneh yang menelanjangi seluruh tubuh saya.

4
Menjemur pakaian sendiri ibarat mengeringkan tubuh saya sendiri. Menyinarinya dengan sengatan matahari yang panas dan terik. Saya suka menjemur pakaian. Menjepit kaus, jaket, jeans, kemeja, dan celana dalam saya supaya angin yang menggoda mereka tak melepaskannya dari tambang yang membentang.                                                                        Seekor laba-laba membuat jaring berantakan di atap rumah tetangga. Laba-laba itu menggelayut di benang yang ia buat sendiri. Saya seperti melihatnya menggantung pakaiannya sendiri. Angin sepoi-sepoi membelai kepala botak saya. Membuat kesejukan yang memacu adrenalin emosi. Irama musik dangdut mengalun dari kamar tetangga. Suara Bang Haji Rhoma Irama yang menyanyikan lagu “Begadang.”                   Begadang jangan begadang…Kalau tiada artinya…Begadang boleh sajaaaa…Kalau ada perlunya, saya spontan menyanyikan reff-nya.                                                Nah, tiba-tiba saya ingat lagi masa-masa itu. Cerita soal buku dan sebatang cokelat.

5
Valentine. Saya sendiri tak tahu mengapa anak-anak muda merayakan hari yang jatuh pada tanggal empat belas Februari setiap tahun ini. Padahal, sejarahnya Valentine identik dengan pesta seks. Nah, sekarang pesta seks dirayakan setiap tahun beramai-ramai, berarti hehehe...                                                                                                         Lelaki lain yang mengungkung hatimu memberikan sebatang cokelat kepadamu.    Aku dapat cokelat dari Rizal semalam dan mengucapkan selamat hari Valentine, katamu kepada saya saat kita berdua berada di lantai dua, tempat menjemur pakaian di kontrakan saya. Duduk di bawah cahaya bulan yang bulat penuh.                                          Saya terdiam.                                                                                                              Kemarin tukang pos ke sini. Dia memberikan sepuluh eksemplar buku saya. Sebelumnya, penerbitnya menelepon saya, dan mengatakan buku saya sudah terbit, ucap saya.                                                                                                                           Serius? Mana? Aku mau lihat, sahutmu.                                                                     Saya masuk ke kamar, setelah menuruni tiga belas anak tangga yang terbuat dari kayu yang telah lapuk karena dilahap rayap. Mengambil buku saya yang berada di meja kecil, samping netbook yang masih menyala.                                                             Ini, kata saya setelah memberikan buku itu kepadanya.                                           Wah, bagus bukumu, pujimu kemudian.                                                                     Saya berikan buku itu untuk kamu. Buku lebih abadi daripada sebatang cokelat. Lihat di lembar pertama. Ada namamu di sana. Dan, namamu akan terus tercatat di buku saya, selama-lamanya, bahkan saat kita berdua mati dan dikerubungi oleh belatung-belatung tanah, Margianna, ujar saya menatap dalam-dalam kedua bola matanya.                                                                                                                             Kamu tertunduk. Mungkin malu. Mungkin pula jijik. Tapi, saya tidak peduli apa yang kamu rasakan setelah ini. Bulan hilang ditelan awan kelabu. Rintik gerimis ambles dari langit, membasahi kita berdua. Kacamatamu saya pakai. Dan, kamu berkepala botak.   

6
Foto kamu saya gilas asbak yang sudah penuh puntung rokok. Saya benci kamu yang sudah memilih lelaki itu menjadi tunanganmu. Bara rokok yang terjatuh membakar pinggiran gambar fotomu. Saya masih terus mengembuskan asap. Menikmati nikotin berbatang-batang sambil membayangi kamu di sini lagi.                                                  Kata orang-orang, saya ini penulis ecek-ecek. Penulis yang masih kerdil karena tidak populer. Kamu juga menganggap saya demikian.                                                       Lalu, buat apa populer bagi seorang penulis?! tanya saya kepadamu di ujung gang menuju kontrakan saya malam itu. Saya mencintai buku, sama seperti saya mencintai kamu! tegas saya kepadamu.                                                                                  Kamu cuma terdiam. Kamu lebih memilih seorang dokter daripada seorang penulis rupanya. Suara anjing menggonggong. Kemudian malam menjadi sepi. Senyi. Senyap. Lampu yang menggelantung di badan tiang listrik di atas kita seakan-akan menutup matanya. Ia redup, lalu mati.                                                                                   Mata saya mengedip, menyapu asap rokok yang menusuk penglihatan. Rokok pun saya lumat di asbak yang, seperti saya katakan tadi, sudah sesak akan puntung rokok. Saya melihat buku saya sendiri, bertumpuk di meja kecil samping netbook. Buku itu sekarang terlihat sangat menjijikan bagi saya karena ada nama kamu. Lebih baik saya membaca koran kemarin sore. Tiba-tiba telepon seluler saya berdering. Rupanya si Anto yang menginginkan saya berdiskusi soal buku saya di perpustakaan miliknya di Jatinangor. Saya membanting telepon di genggaman ke arah buku saya sendiri. Brak! Hancur.                                                                                                                                   Jati! Jati! Jati! teriak Anto yang terdengar pelan setelah tutup baterenya terlepas dari badan telepon itu. Lalu mati.                                                                                         Alunan lagu “Will You Still be There” Daniel Sahuleka mengalun menyayat-nyayat pendengaran saya. Menggarami hati saya yang tergores luka. Jarum jam dinding yang terpaku miring di atas jendela berdetak.                                                         Tak…Tak..Tak…Pukul dua dini hari.                                                             Apakah saya seorang pria yang amatiran mendekati perempuan? Kata hati saya seketika, saat meremas kaleng bir berwarna putih. Perut saya masih kosong. Dari siang belum ada nasi yang merasuk ke perut ini. Cuma berkaleng-kaleng bir dan isapan rokok. Saya ingin muntah. Rasanya ada seekor naga yang ingin keluar dari mulut saya.                   Ah, cinta sejati saya sekarang cuma sepi dan buku. Saya mencintai buku lebih daripada saya mencintai kamu. Saya tutup cerita soal buku dan sebatang cokelat sampai di sini.

7
Tiga ketukan mendarat di pintu kamar saya. Membuat saya terpaksa menarik seluruh mimpi menuju ke alam nyata. Masih pukul lima subuh. Saya bergegas bangkit dari kasur, menuju pintu. Mungkin si Amir yang ingin membayar hutangnya. Kebetulan, uang saya juga sudah menguap beberapa hari belakangan ini. Gagang pintu saya tekan, dan pintu saya buka. Ternyata, yang datang adalah perempuan yang membawa buku saya dan sebatang cokelat. Dia memakai kaus yang tadi saya kenakan sewaktu tidur.           Aih…

Bandung, dini hari, 21 Juni 2011

Fandy Hutari, lahir di Jakarta 17 Agustus 1984, penulis, editor buku, dan jurnalis lepas. Bukunya yang sudah terbit Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktivitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), Ingatan Dodol (IMU, 2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (INSISTPress, 2011). E-book berjudul Menulis di Media Massa, Why Not. Kumpulan cerpennya yang akan terbit berjudul Manusia dalam Gelas Plastik. Tinggal di Bandung.

Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post