Ilustrasi oleh Andhika Nugraha a.k.a Dika Toolkit
Oleh Pringadi Abdi Surya
#1
Ada setan di kepala ibu.
Mungkin setan. Aku sendiri tak yakin.
Sama tak yakinnya dengan kenapa aku harus memanggilnya ibu. Tapi, aku kemudian
menggambarnya dengan sosok bertanduk dan lidah yang menjulur panjang, seperti
hendak memakan aku. Memakan kami.
Aku menyebut ‘kami’ karena tak cuma aku
yang berada di kelas ini. Sebuah kelas melukis yang baru pertama kali kuikuti
atas desakan ayahku yang juga seorang pelukis. “Mulai besok, kamu ikut les
lukis,” katanya tiba-tiba sepulang ia menghadiri pembukaan galeri lukisan
miliknya sendiri, sebuah galeri tunggal dari pelukis handal. Ia tidak bertanya
tentang jawabanku, ya atau tidak. Tidak. Setelah berkata seperti itu, ia
langsung masuk ke kamar. Menutup pintu, dan meninggalkan aku di ruang tengah
sambil bertanya-tanya, apakah memang buah tak boleh jatuh jauh dari pohonnya?
Tapi saat ini aku lebih tertarik pada
setan di kepala ibu ketimbang memikirkan hal itu. Dia terkikik-kikik dan
mengacungkan jari tengahnya kepadaku. Kontan saja kubalas dengan perlakuan yang
sama. Aku acungkan jari tengahku padanya. Dan ibu mendekat. Dengan ekspresi
kesumat.
“Kau tak suka pada ibu?”
Aku diam saja. Pasti ibu tak akan
percaya jika kukatakan ada setan di kepalanya. Dan setan itu sekarang sedang
menjulurkan lidahnya, menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan ---
meledekku. Tapi, aku sabar kali ini. Aku memilih menundukkan kepalaku. Seperti
merasa bersalah.
Aku tahu tindakan seperti ini akan
menyelamatkanku. Terbukti, sesaat kemudian ibu melenggang pergi dari mejaku dan
melihat meja anak-anak lainnya. Dan setan itu, kembali tampak menggoyangkan
pantatnya ke kiri dan ke kanan, mengejekku karena tak mampu berbuat apapun.
#2
Sebenarnya aku tak pernah melihat
setan. Tak pernah melihat penampakan, sebelum ini. Kata orang, setan itu
menakutkan. Tapi nyatanya, tadi, setan itu begitu menjengkelkan. Ingin sekali
aku memukul kepalanya. Mematahkan tanduknya. Dan melemparnya keluar dari
jendela. Tapi, satu yang kemudian aku tahu, setan itu licik. Dia begitu licik
dengan berlindung di atas kepala ibu.
Aku sering ditinggal di rumah
sendirian. Rumah yang dipenuhi berbagai lukisan dan kanvas-kanvas berisi
coretan cat yang belum jadi. Kadang aku heran, aku tak pernah melihat ayah
melukis di rumah ini. Yang aku tahu, begitu aku bangun akan bertambah satu
lukisan dengan campuran warna-warna yang menurutku begitu sempurna. Begitu
menggoda.
Pernah aku berpikir, pasti setan yang
melukis ini semua. Tak ada bunyi-bunyi di malam hari. Tak ada suara-suara yang
membangunkan aku dari tidurku. Begitu senyap. Tapi ayah tak mungkin setan. Meski
kami jarang bertemu dan bahkan tak pernah berpelukan.
#3
Setan itu masih di kepala ibu. Aku
melihat buku gambarku yang berisi coretan sosok setan. Membanding-bandingkannya
dengan setan di kepala ibu. Tapi ibu tidak tahu. Sebab aku tidak menunjukkan ekspresi
berlebihan.
Semua orang sedang asik melukis. Tapi
aku masih menggambar garis-garis.
“Ibu penggemar lukisan ayahmu,”
“Oh ya?”
“Dulu ia tak begitu hebat.”
Aku mulai tertarik mendengarkan
ceritanya. Tanganku masih terpaut di kanvas. Sambil membayangkan kucing. Sebab
aku suka kucing walau aku tak pernah memegangnya secara langsung. Tak boleh ada
kucing di rumah. Ayahku tak suka kucing. Atau lebih tepatnya, ia tak suka
memelihara kucing.
“Yah, tapi mungkin dewa lukis sedang
memiihnya satu dekade ini. Ayahmu begitu luar biasa sekarang. Lukisannya memang
luar biasa.”
“Jadi, sejak kapan ibu mulai kenal
ayahku?”
Dan untuk itulah, kali pertama aku
mendengarkan cerita tentang ayahku. Cerita dari teman semasa kuliahnya dulu.
Ayah memang seorang yang tertutup. Ia tak pernah bercerita apa-apa kepadaku.
Pernah suatu kali aku menanyakan dimana ibu, ibu yang melahirkanku. Tapi ia
diam saja. Aku tak lagi berani bertanya setelah itu. Tak lagi
menginggung-nyinggung ibu. Anggap saja aku tak punya ibu. Aku cuma punya ayah.
#4
Aku membawa kanvas itu pulang tanpa
sepengetahuan ayah. Aku letakkan di kamar, di bawah tempat tidur. Takut jika
tiba-tiba ayah pulang dan masuk ke kamarku tanpa sepengetahuanku. Ia pasti
marah. Selama ini memang aku dilarang melukis di rumah ini oleh ayah. Toh, aku
memang tak berminat melukis sebelum ini. Tapi gara-gara setan di kepala ibu
itu, aku jadi jadi ingin melukis. Aku ingin meluki sosoknya yang tak bisa
kutangkap. Yang begitu menjengkelkan.
Kalau kurasa ayahku sudah tak ada, aku
pindahkan kanvas itu di pinggir jendela. Biar terkena cahaya. Dan aku akan
mulai melukis. Tidak peduli disebut apa lukisanku, kubisme kah? Impressionis
kah? Ah, aku cuma mau melukis setan itu. Setan yang begitu suka menggoyangkan
pantatnya ke kiri dan ke kanan. Dan tanganku pun bergerak ke kiri dan ke kanan.
Bergoyang-goyang. Warna. Warna. Aku campur warna sesukaku. Aku pun menari
seperti digerakkan oleh kuasku. Ah, aku tak butuh kuas. Aku membuangnya. Dan
mulai kucelupkan tanganku sendiri ke dalam kaleng-kaleng cat. Menggoreskannya
ke kanvas.
Aku mulai heran, ini bukan seperti
pertama kali aku melukis. Seperti sudah berulang kali kulakukan. Satu, dua,
sepuluh, atau sudah beribu-ribu kali kulakukan ini. Kerasukan setankah aku?
Setan yang sejak pertama kali kulihat bertengger di kepala ibu itu?
Tidak, tidak. Aku mulai melihat setan
itu di kanvas. Tertawa-tawa. Mencibir. Menjulurkan lidah. Dan menggoyangkan
pantatnya ke kiri dan ke kanan.
Aku mulai tertawa-tawa. Balas mencibir.
Balas menjulurkan lidah. Dan balas menggoyangkan pantatku ke kiri dan ke kanan.
Hei setan, rasakan! Kini aku mampu
balaskan dendamku setiap saat aku mau!
#5
Lukisanku hilang. Padahal aku yakin
beberapa hari lalu aku meletakkannya kembali di bawah tempat tidur. Aku
mencarinya sekali lagi. Mungkin saja setan sedang menjahiliku. Kabarnya setan
sering ‘meminjam’ barang yang kita punya. Mereka akan tertawa-tawa menyaksikan
kita kebingungan, kalap, dan menyerah Dan di pandangan selanjutnya, barang yang
kita cari itu akan berada di tempatnya semula. Padahal kita yakin, sebelumnya
tak ada. Tapi aku tak percaya. Sebab aku tak pernah mengalami hal seperti itu.
Tapi sekarang, aku berpikir mungkin saja seperti itu.
Dan kesekian kalinya aku melongok ke
kolong tempat tidur, lukisan itu tetap tak ada. Bodohnya aku yang percaya pada
kabar burung macam itu.
Lantas siapa? Dan kemana? Tidak mungkin
kan kalau lukisanku bisa hilang tiba-tiba? Tidak mungkin pula kalau setan di kepala
ibu yang mencurinya?
Aku mencari ayah. Tapi aku ingat, ayah
mungkin marah jika tahu aku mulai melukis di kamarku. Toh, saat aku
memanggilnya, ia memang sudah tak ada. Rumah ini sudah senyap seperti biasanya.
Cuma ada aku. Sendiri.
#6
“Bagaimana lukisanmu?” ibu bertanya
kepadaku dengan rasa ingin tahu. Ibu pasti meremehkanku sebab di kelas ini aku
cuma biasa mencorat-coret kertas dan kanvas, membuat garis-garis yang tak ada
satu pun mereka pahami. Aku seringkali merasa segerombolan anak-anak
menertawakanku diam-diam saat aku merasa sudah selesai membuat sebuah gambar.
Aku merasa telah menggambar banyak kucing. Tapi mereka bilang itu cuma garis.
Saat kutatap ibu, dirinya malah diam saja. Seperti membela segerombolan
anak-anak, yang menurutku, bodoh yang hobinya menggambar fragmen senja, daun
gugur, dan hal-hal yang remeh. Aku pikir kucing lebih indah. Dan setan di
kepala ibu ini, yang bergerak-gerak, akan jauh lebih indah.
Aku menggelengkan kepala. “Hilang, Bu.”
“Hilang?”
Ah, aku makin gemas pada setan di
kepalanya. Sama halnya kegemasanku pada ketidakpercayaan ibu bahwa lukisanku
benar-benar hilang. Aku tahu, ibu pun pasti meremehkanku. Ibu pasti memandang
hanya karena aku anak pelukis handal dan terkenal. Tidak lebih. Di matanya,
mungkin aku cuma seorang anak yang patut dikasihani karena terpaksa mengikuti
kelas melukis yang tidak aku sukai. Tapi itu tidak benar. Aku benar-benar ingin
melukis sejak kulihat setan di kepala ibu. Setan yang membuatku merasa gemas
setiap dia menjulurkan lidahnya, mencibir, dan menggoyangkan pantatnya ke kiri
dan ke kanan.”
“Ya sudah, kamu coba lukis ulang saja.
Nanti ambil saja peralatannya di ruang sebelah.”
Aku menganggukkan kepala.
“O, iya, beberapa hari yang lalu ibu
bilang pada ayahmu tentang kanvas yang kaubawa pulang. Ayahmu sepertinya senang
akhirnya kamu tertarik pada kanvas.”
Aku terperangah. Ayah tahu aku membawa
kanvas ke rumah? Bisa habis aku dimarahinya. Kakiku mulai gemetar. Tanganku
mulai gemetar. Dan sekujur tubuhku juga ikut-ikutan gemetar. Ayah memang belum
pernah marah. Tapi aku mulai membayangkan kemarahan ayah. Ia akan menamparku di
pipi kiri dan kanan. Ia akan mengikatku dan menggantung tubuhku di bawah
langit-langit. Memasukkan semut dan serangga ke tubuhku. Biar menggeranyangi
kesakitanku.
“Hei, kamu tidak apa-apa?”
Aku menoleh ke ibu. Ke kepalanya. Dan
aku lebih kaget, setan di kepala ibu sudah tak ada. Setan itu benar-benar tak
ada. Aku berdiri dan berjalan ke belakang ibu. Mungkin saja setan itu sedang
bersembunyi di punggung ibu. Tapi ternyata setan itu memang tak ada. Kulihat
sekeliling. Aku tak peduli pada pandangan ibu yang kebingungan menyaksikan
gerakku yang berpindah-pindah dari kolong meja, ke belakang lemari, melongok ke
atasnya, lalu berpindah ke jendela. Tapi memang setan itu sudah benar-benar tak
ada. Baik di kepala ibu, maupun di ruangan ini.
“Kamu kenapa, Nak?”
“Ke mana?”
“Apanya yang ke mana?”
“Setan itu.”
“Setan apa?”
“Setan yang selama ini kulihat di
kepala ibu?”
“Apa maksudmu?!”
“Aku menggambar setan itu. Setan yang
kulihat saat pertama kali bertemu dengan ibu. Setan yang punya tanduk. Bermuka
buruk. Dan acapkali meledekku, Bu. Dia suka sekali menjulurkan lidahnya,
mencibir, dan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan.”
“Kamu gila, Nak!”
“Aku tidak gila.”
“Pasti cuma halusinasimu.”
“Tidak. Halusinasi tak mungkin muncul
setiap hari.”
“Sebaiknya, kamu pulang sekarang. Kamu
butuh istirahat. Ibu akan menelpon ayahmu.”
“Tidak, tidak. Jangan telepon ayahku,
Bu?”
“Oh iya, kamu ternyata anak yang baik.
Hari ini pasti ia sedang berada di dalam konferensi penting. Ibu tak boleh
mengganggunya.”
“Konferensi apa?”
“Lho? Kamu nggak tahu?”
Aku menggeleng. Kepanikanku akan
kehilangan setan di kepalanya teralihkan dengan rasa penasaranku terhadap ayah.
Aku memang tak pernah tahu apa-apa tentang ayah selain sosoknya di rumah dan
keberadaannya sebagai pelukis handal dan terkenal. Aku tak pernah diajaknya
mengikuti pameran lukisannya. Mencari tahu pun aku tak diperbolehkan. Aku
menurut karena aku takut ayah akan marah. Karena aku takut ayah akan
meninggalkanku jika ia marah. Dan aku tak punya siapapun selain ayah.
“Lukisan terbarunya memecahkan rekor
penjualan termahal se-Asia.”
“Lukisan?”
“Memangnya kamu tidak pernah melihat
lukisannya? Lukisan yang ajaib!”
“Tidak. Ayahku bahkan melarangku
melukis di rumah. Aku cuma melihat beberapa lukisannya yang digantung di rumah,
dan beberapa coretan kanvas yang tak selesai.”
Ibu tampak kaget. “Nanti sore lukisan
itu dipamerkan, kamu mau ikut?”
“Tapi nanti ayah marah?”
“Tidak, ada ibu yang akan melindungimu.
Ibu merasa sudah saatnya kamu melihat lukisan ayahmu. Kamu harus melihat betapa
mengagumkannya dia.”
Aku pun mengangguk. Setuju.
#7
Surga. Aku pikir aku sedang berada di
surga. Galeri ternyata adalah tempat yang sangat indah. Aku pun jadi
bertanya-tanya kenapa ayahku tak pernah mengajakku kemari.
Suasana begitu ramai. Aku yakin mereka
semua adalah penggemar lukisan ayahku. Sesekali kucuri dengar pembicaraan
mereka yang memuji lukisan-lukisan ayah.
“Mereka cuma orang awam,” ibu memulai
pembicaraan, “kamu lihat lukisan ini?” ia tampak memandang sebuah lukisan
berwarna mayor coklat keemasan. Pemandangan senja. Di kiri jalannya terlihat
sebuah gereja, dan seorang anak laki-laki tergeletak memegang sapu lidi. “Lukisan
ini tidak istimewa,” lanjutnya lagi.
Aku memandangi lukisan itu sekali lagi.
Mencoba memahami apa yang ibu katakan.
“Keistimewaan ayahmu akan kamu lihat di
ruangan setelah ini,” ucapnya sambil tersenyum. Aku makin penasaran. Jika
lukisan sebagus ini dibilang ‘biasa’ saja. Bagaiamana dengan yang luar biasa?
Dan memang aku menganga setelahnya. Aku
melihat berjajar lukisan yang seperti bergerak. Aku
melihat awan-awan menggumpal yang
membentuk rupanya. Aku melihat debu-debu yang melingkar menjadi asap. Aku melihat
genangan air yang tumpah ke atas. Tidak. Tidak. Ini bukan kali pertama aku
melihat lukisan-lukisan ini. Langkahku makin cepat. Melihat satu per satu
lukisan yang dipajang dan semakin akrablah aku dengan suasana yang tergambar
dalam lukisan.
“Hei, Nak…” aku tak lagi hirau pada
ibu. Aku mulai menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tergesa. Melihat sejuta daun
gugur dan merambas menjadi air. Dan tanganku. Dan tanganku yang kulihat
mengusap kanvas. Mencelupkannya di kaleng-kaleng cat. Aku melihat aku menari di
malam hari, sambil menggerakkan-gerakkan tangan, kaki, badan, semuanya. Aku
melihat aku, diriku lah, yang melukis semua lukisan ini.
Tidak. Tidak. Aku mulai mencari ayah.
Aku ingin bertanya kenapa aku bisa merasa seperti ini. Kenapa aku bisa merasa
akulah yang melukis semua ini. Aku susuri jalan galeri sambil setengah berlari.
Dan di ujungnya, aku lihat ayahku. Aku lihat ayahku di balik kerumunan orang.
Dan sebuah lukisan lain yang tampak begitu akrab bagiku. Lukisan setan di
kepala ibu!
“Minggiiir!!!” Aku berteriak saja.
Ayah mulai melangkah mendekat.
Aku mulai kesumat.
Aku menatapnya. Menatap kepalanya.
Dan kulihat sosok itu. Dia mencibir.
Menjulurkan lidahnya. Dan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan.
Ada setan di kepala ayah!*
(Bintaro, 2009)
Pringadi Abdi Surya dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Terpilih menjadi
Duta Bahasa Provinsi Sum-Sel. Buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul Alusi
(Pustaka Pujangga, 2009). Karya-karyanya juga terpublikasi pada beberapa media
dan antologi bersama. Blognya www.reinvandiritto.blogspot.com.
Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment