Potret Ira Von Furstenberg
Cerpen Wawan Setiawan
Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana
kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun
bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti
telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa
daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah
sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu,
warnanya kuning, seperti induknya.
Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami.
Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu
secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah
tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga
bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput
hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di
atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi
hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang"
ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.
"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi
jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang
konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan
dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak
memilikinya."
Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi
kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara
dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.
"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu,
setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang
beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh.
Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh
dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta
yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku
sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa
depan yang gambar-gambarnya samar-samar."
Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya
satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap
orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas
menerima, ada yang memberontakinya.
Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung
teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi.
Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan
sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang
akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati.
Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi
kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk
bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena
tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa.
Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu.
Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia
sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro.
Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background
inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.
Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat
diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan
berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah
pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan,
rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan
yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para
malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus
lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta,
kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh
dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga
inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi,
dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir
ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak
boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.
Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah
suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan
drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater
sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar
menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka
disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak
hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya
udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".
Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya
kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari
sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku
dibikin kewalahan.
"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun
tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar,
sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo
suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu
kali.
"Tapi kau pelaku yang baik, man of action.
Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di
atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian
hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat.
Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.
Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam
hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang,
melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih
punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada
keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku
janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.
"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri,
di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan
Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah.
Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga
mengalir."
Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu
dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi
kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke
bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin
memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan
sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku
ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo,
atau yang lain.
Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang
sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku
belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski
tetap angkuh, toh masih mau menyapa.
Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela
berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan
kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak
bertepi, dibanjiri sinar mentari.
Surabaya, 2005
NB : cerpen ini pernah dipublikasikan di harian Jawa
Pos, 31 Juli 2005
@Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment