Esai Eko Darmoko
Di suatu
kesempatan, seorang kritikus sastra sekaligus prosais Budi Darma pernah
mengatakan; bahwa cerpenis sekarang kebanyakan sudah pada mati. Mengenai
perkataan Budi Darma ini, tentunya saya mempunyai tafsir sendiri—yang “mungkin”
juga sama dengan penafsiran kebanyakan orang.
Sepenuhnya saya setuju dengan perkataan Budi
Darma: Saya memang meyakini, juga menafsirkan, bahwa sekarang ini banyak
cerpenis yang mati—tentunya mati bukan dalam arti yang sebenarnya—karena
tuntutan jumlah kata atau karakter yang ditentukan oleh koran-koran. Biasanya
koran-koran tersebut, paling tidak, memberikan ketentuan (syarat) bahwa cerpen
yang akan diterima dan dimuat, misalnya, adalah cerpen yang berkapasitas 1500
kata. Dan tentu saja, syarat ini, secara tidak langsung, akan menjadi semacam
“pedang eksekusi” yang nantinya akan mengantarkan para cerpenis ke gerbang
“kematian”nya.
Terkait
dengan estetika, rasanya cukup saya umpamakan dengan konsep perempuan cantik.
Tak perlu saya uraikan secara akademik apa “estetika” itu, terlebih lagi
terkait dengan estetika dalam cerpen. Karena, mungkin, akan terkesan
berlarut-larut hanya karena persoalan ektetika saja.
Setiap
koran berangkat dengan estetikanya masing-masing. Ada yang mengusung masalah
sosial yang dikemas dengan wadah realis. Ada yang mengusung masalah-masalah
lain yang dikemas tidak dengan wadah realis (surrealis mungkin, atau absurd
barangkali). Nah, pematokan-pematokan seperti inilah yang nantinya akan menjadi
“pedang eksekusi” bagi si cerpenis. Cerpenis tidak lagi dituntut oleh kapasitas
jumlah kata atau karakter, tapi juga
oleh persoalan lain: estetika. Tak bisa dibayangkan; andaikata tidak ada sebuah
koran pun yang mau memuat cerpen bergenre realisme-magis seperti milik Danarto.
Lantas bagaimana nasib cerpen-cerpen Danarto yang bernafas realisme-magis itu?
Sebetulnya,
persoalan yang sampai saat ini belum terselesaikan terkait dengan cerpen
adalah: (1) Seberapa panjangkah sebuah prosa dapat disebut sebagai cerpen. (2)
Benarkah koran menjadi biang keladi atas kematian seorang cerpenis.
Dua
pertanyaan inilah yang, sebetulnya tanpa sering disadari, menjadi
persoalan-persoalan atas kelanjutan nasib cerpen dan juga cerpenis di
Indonesia. Namun, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, marilah kita tengok sejenak tentang apa, siapa, dan
bagaimana istilah “cerpenis” muncul.
Menurut
Ajip Rosidi (kalau tak salah; dan semoga saja benar) istilah “cerpenis” untuk
pertama kalinya dirumuskan dan diperkenalkan oleh Pramoedya Ananta Toer.
Peristilahan “cerpenis”, pada mulanya, pernah
dibantah atau tidak disetujui oleh insan sastra di Indonesia karena
terdapat bunyi yang mengesankan atau merujuk kepada alat kelamin laki-laki:
“penis”. Namun, walaupun demikian, toh sampai sekarang pun istilah cerpenis
masih digunakan oleh insan sastra di Indonesia.
Kembali
pada dua pertanyaan di atas—dan kita anggap selesai persoalan apa, siapa, dan
bagaimana istilah “cerpenis” muncul untuk pertama kalinya.
(1) Berapa
ukuran panjang sebuah prosa hingga dapat disebut sebagai cerpen tentunya tidak
bakalan mungkin bisa dijawab. Namun yang jelas adalah cerpen (cerita pendek)
lebih pendek ketimbang sebuah novel (tentunya ini bukan jawaban yang cerdas,
tapi kita sudah terlanjur memaknai seperti itu). Cerpen adalah sebuah karya
sastra berbentuk prosa (kalau tidak berlebihan; dituturkan secara lugas) yang
terdiri hanya satu konflik dan satu jalinan plot. Lain halnya dengan novel yang
memiliki konflik lebih dari satu, lebih rumit, juga jalinan plotnya tidak
sesederhana dalam cerpen. (2) Saya menyatakan benar adanya jika keberadaan
koran adalah biang keladi dari matinya seorang cerpenis. Seorang cerpenis, yang
ingin cerpennya dimuat oleh koran tertentu, pasti akan mengikuti syarat-syarat
yang diajukan koran bersangkutan. Dengan daya ciptanya si cerpenis akan
menuruti batasan-batasan itu. Dan, secara tidak langsung, jika saya tidak
berlebihan, idealisme dan pandangan estetika si cerpenis akan terbunuh oleh
“pedang eksekusi”: inilah yang disebut sebagai kematian seorang cerpenis—mati
di kolom cerpen sebuah koran.
Mari kita
tengok cerpen-cerpen yang (pernah) dimuat oleh koran-koran nasional—karena saya
anggap koran nasional sudah menjadi kiblat terkait dengan kepakeman sebuah
cerpen. Yang terutama, tentu saja, adalah koran Kompas (karena di setiap
tahunnya selalu mengeluarkan buku kumpulan cerpen terbaiknya yang diambil dari
cerpen-cerpen yang terbit di hari minggu). Cerpen-cerpen yang termuat di koran
Kompas, tentunya, memiliki kapasitas jumlah kata yang seperti itu (silakan
lihat sendiri di Kompas hari minggu atau buku kumpulan cerpennya yang sudah
diterbitkan). Tentunya ini sudah menjadi pakem koran Kompas mengenai cerpen
yang bagaimana yang pantas dimuat. Selain itu—selain persoalan kapasitas kata
atau karakter dan persoalan estetika, ada persoalan lain, yakni terletak pada
jati diri si cerpenis sendiri. Biasanya, koran-koran besar berskala nasional
agak pilih-pilih dalam menentukan karya cerpenis siapa yang bakalan dimuat.
Mereka (redaktur) selalu silau dan terpukau dengan nama-nama “besar”. Dan saya
memang setuju; bahwa cerpenis dengan nama “besar” adalah cerpenis-cerpenis yang
tidak boleh diragukan lagi kehebatannya—mereka sudah memiliki jam terbang yang
sangat tinggi serta terjamin kualitasnya. Akan tetapi, dan juga harus
direnungkan kembali, kasus seperti inilah yang pada dasarnya akan (semakin)
membunuh cerpenis “pemula”—toh bukan berarti yang pemula adalah yang jelek:
asalkan punya kemauan, tak ada salahnya, kan?
Usaha
koran Kompas untuk mendokumentasikan cerpen-cerpennya ke dalam sebuah buku
kumpulan cerpen adalah, bisa dikatakan, sebagai sebuah jembatan atau bisa juga
dimaknai sebagai sebuah pergeseran selera dan makna.
Buku
kumpulan cerpen terbaik Kompas adalah jembatan penghubung yang menghubungkan
atau mempertemukan antara geliat “sastra koran” dengan khazanah “sastra
serius”. Dan, seolah-olah, sebelum memasuki khazanah “sastra serius”, para
pelaku sastra serta aktivis sastra dituntut terlebih dahulu untuk, mau tidak
mau, bertempur di medan perang yang dinamakan “sastra koran”.
Cerpen-cerpen
yang dulunya pernah muncul di koran kompas edisi minggu, yang jika tidak
berlebihan, masih dipandang remeh karena sifatnya yang sementara (koran),
kemudian yang “bernasib baik” akan dimasukkan kurator ke dalam buku kumpulan
cerpen terbaik. Dari sinilah terjadi pergeseran makna: “sastra koran” yang
sifatnya sementara menjelma menjadi “sastra serius” yang terkemas dalam sebuah
buku. Sedangkan pergeseran selera dapat diartikan: “sastra serius” (dalam
bentuk buku) adalah sebuah model pelarian dari kejenuhan (keengganan) pembaca
dalam membaca “sastra koran” yang sifatnya masih sementara—tak jarang lembaran
koran akan dipakai sebagai pembungkus nasi atau makanan lalu terbuang di tempat
sampah. Dengan kata lain, “sastra serius” lebih berwibawa ketimbang “sastra
koran”. Namun, mengapa “sastra koran” masih diburu dan diminati para cerpenis?
Bukankah hal ini akan menjadi boomerang bagi mereka—mati. Mereka akan (selalu)
mencoba mengikuti pematokan-pematokan yang ditetapkan koran-koran.
Saya
merasa geli jika harus mengingat dan membayangkan: andaikata cerpen-cerpen
Pramoedya Ananta Toer yang terkumpul dalam Cerita dari Blora dan Cerita dari
Jakarta serta cerpen-cerpen Budi Darma dalam kumpulan Orang-orang Bloomington
pernah dimuat di koran dalam sekali pemuatan (tidak bersambung). Tentunya hal ini
akan menghabiskan jatah kolom dan halaman.
Dipublikasikan di Surabaya Post, 28 Juni 2009
dan diambil dari komunitascdr.blogspot.com
NB :
Sewaktu diterbitkan di Surabaya Post, esai ini memang dimaksudkan untuk
memancing wacana. Alhasil, beberapa tanggapan bermunculan atas esai ini. Esai
kawan saya ini terbit secara bersambung di Surabaya Post, tanggal 28 Juni dan 5
Juli 2009. Entah, bagian di atas ini sudah lengkap atau hanya seri pertama
saja.
@ Redaktur
SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment