Blogroll

Tuesday, May 21, 2013

Pembunuh Cerpenis Adalah Koran

 photo writing1_zps1a4ff2be.jpg
Artwork from www.andinostyles.com

Esai Eko Darmoko

Di suatu kesempatan, seorang kritikus sastra sekaligus prosais Budi Darma pernah mengatakan; bahwa cerpenis sekarang kebanyakan sudah pada mati. Mengenai perkataan Budi Darma ini, tentunya saya mempunyai tafsir sendiri—yang “mungkin” juga sama dengan penafsiran kebanyakan orang.

 Sepenuhnya saya setuju dengan perkataan Budi Darma: Saya memang meyakini, juga menafsirkan, bahwa sekarang ini banyak cerpenis yang mati—tentunya mati bukan dalam arti yang sebenarnya—karena tuntutan jumlah kata atau karakter yang ditentukan oleh koran-koran. Biasanya koran-koran tersebut, paling tidak, memberikan ketentuan (syarat) bahwa cerpen yang akan diterima dan dimuat, misalnya, adalah cerpen yang berkapasitas 1500 kata. Dan tentu saja, syarat ini, secara tidak langsung, akan menjadi semacam “pedang eksekusi” yang nantinya akan mengantarkan para cerpenis ke gerbang “kematian”nya.

Terkait dengan estetika, rasanya cukup saya umpamakan dengan konsep perempuan cantik. Tak perlu saya uraikan secara akademik apa “estetika” itu, terlebih lagi terkait dengan estetika dalam cerpen. Karena, mungkin, akan terkesan berlarut-larut hanya karena persoalan ektetika saja.

Setiap koran berangkat dengan estetikanya masing-masing. Ada yang mengusung masalah sosial yang dikemas dengan wadah realis. Ada yang mengusung masalah-masalah lain yang dikemas tidak dengan wadah realis (surrealis mungkin, atau absurd barangkali). Nah, pematokan-pematokan seperti inilah yang nantinya akan menjadi “pedang eksekusi” bagi si cerpenis. Cerpenis tidak lagi dituntut oleh kapasitas jumlah kata atau  karakter, tapi juga oleh persoalan lain: estetika. Tak bisa dibayangkan; andaikata tidak ada sebuah koran pun yang mau memuat cerpen bergenre realisme-magis seperti milik Danarto. Lantas bagaimana nasib cerpen-cerpen Danarto yang bernafas realisme-magis itu?

Sebetulnya, persoalan yang sampai saat ini belum terselesaikan terkait dengan cerpen adalah: (1) Seberapa panjangkah sebuah prosa dapat disebut sebagai cerpen. (2) Benarkah koran menjadi biang keladi atas kematian seorang cerpenis.
Dua pertanyaan inilah yang, sebetulnya tanpa sering disadari, menjadi persoalan-persoalan atas kelanjutan nasib cerpen dan juga cerpenis di Indonesia. Namun, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, marilah  kita tengok sejenak tentang apa, siapa, dan bagaimana istilah “cerpenis” muncul.

Menurut Ajip Rosidi (kalau tak salah; dan semoga saja benar) istilah “cerpenis” untuk pertama kalinya dirumuskan dan diperkenalkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Peristilahan “cerpenis”, pada mulanya, pernah  dibantah atau tidak disetujui oleh insan sastra di Indonesia karena terdapat bunyi yang mengesankan atau merujuk kepada alat kelamin laki-laki: “penis”. Namun, walaupun demikian, toh sampai sekarang pun istilah cerpenis masih digunakan oleh insan sastra di Indonesia.

Kembali pada dua pertanyaan di atas—dan kita anggap selesai persoalan apa, siapa, dan bagaimana istilah “cerpenis” muncul untuk pertama kalinya.

(1) Berapa ukuran panjang sebuah prosa hingga dapat disebut sebagai cerpen tentunya tidak bakalan mungkin bisa dijawab. Namun yang jelas adalah cerpen (cerita pendek) lebih pendek ketimbang sebuah novel (tentunya ini bukan jawaban yang cerdas, tapi kita sudah terlanjur memaknai seperti itu). Cerpen adalah sebuah karya sastra berbentuk prosa (kalau tidak berlebihan; dituturkan secara lugas) yang terdiri hanya satu konflik dan satu jalinan plot. Lain halnya dengan novel yang memiliki konflik lebih dari satu, lebih rumit, juga jalinan plotnya tidak sesederhana dalam cerpen. (2) Saya menyatakan benar adanya jika keberadaan koran adalah biang keladi dari matinya seorang cerpenis. Seorang cerpenis, yang ingin cerpennya dimuat oleh koran tertentu, pasti akan mengikuti syarat-syarat yang diajukan koran bersangkutan. Dengan daya ciptanya si cerpenis akan menuruti batasan-batasan itu. Dan, secara tidak langsung, jika saya tidak berlebihan, idealisme dan pandangan estetika si cerpenis akan terbunuh oleh “pedang eksekusi”: inilah yang disebut sebagai kematian seorang cerpenis—mati di kolom cerpen sebuah koran.

Mari kita tengok cerpen-cerpen yang (pernah) dimuat oleh koran-koran nasional—karena saya anggap koran nasional sudah menjadi kiblat terkait dengan kepakeman sebuah cerpen. Yang terutama, tentu saja, adalah koran Kompas (karena di setiap tahunnya selalu mengeluarkan buku kumpulan cerpen terbaiknya yang diambil dari cerpen-cerpen yang terbit di hari minggu). Cerpen-cerpen yang termuat di koran Kompas, tentunya, memiliki kapasitas jumlah kata yang seperti itu (silakan lihat sendiri di Kompas hari minggu atau buku kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan). Tentunya ini sudah menjadi pakem koran Kompas mengenai cerpen yang bagaimana yang pantas dimuat. Selain itu—selain persoalan kapasitas kata atau karakter dan persoalan estetika, ada persoalan lain, yakni terletak pada jati diri si cerpenis sendiri. Biasanya, koran-koran besar berskala nasional agak pilih-pilih dalam menentukan karya cerpenis siapa yang bakalan dimuat. Mereka (redaktur) selalu silau dan terpukau dengan nama-nama “besar”. Dan saya memang setuju; bahwa cerpenis dengan nama “besar” adalah cerpenis-cerpenis yang tidak boleh diragukan lagi kehebatannya—mereka sudah memiliki jam terbang yang sangat tinggi serta terjamin kualitasnya. Akan tetapi, dan juga harus direnungkan kembali, kasus seperti inilah yang pada dasarnya akan (semakin) membunuh cerpenis “pemula”—toh bukan berarti yang pemula adalah yang jelek: asalkan punya kemauan, tak ada salahnya, kan?

Usaha koran Kompas untuk mendokumentasikan cerpen-cerpennya ke dalam sebuah buku kumpulan cerpen adalah, bisa dikatakan, sebagai sebuah jembatan atau bisa juga dimaknai sebagai sebuah pergeseran selera dan makna.
Buku kumpulan cerpen terbaik Kompas adalah jembatan penghubung yang menghubungkan atau mempertemukan antara geliat “sastra koran” dengan khazanah “sastra serius”. Dan, seolah-olah, sebelum memasuki khazanah “sastra serius”, para pelaku sastra serta aktivis sastra dituntut terlebih dahulu untuk, mau tidak mau, bertempur di medan perang yang dinamakan “sastra koran”.
Cerpen-cerpen yang dulunya pernah muncul di koran kompas edisi minggu, yang jika tidak berlebihan, masih dipandang remeh karena sifatnya yang sementara (koran), kemudian yang “bernasib baik” akan dimasukkan kurator ke dalam buku kumpulan cerpen terbaik. Dari sinilah terjadi pergeseran makna: “sastra koran” yang sifatnya sementara menjelma menjadi “sastra serius” yang terkemas dalam sebuah buku. Sedangkan pergeseran selera dapat diartikan: “sastra serius” (dalam bentuk buku) adalah sebuah model pelarian dari kejenuhan (keengganan) pembaca dalam membaca “sastra koran” yang sifatnya masih sementara—tak jarang lembaran koran akan dipakai sebagai pembungkus nasi atau makanan lalu terbuang di tempat sampah. Dengan kata lain, “sastra serius” lebih berwibawa ketimbang “sastra koran”. Namun, mengapa “sastra koran” masih diburu dan diminati para cerpenis? Bukankah hal ini akan menjadi boomerang bagi mereka—mati. Mereka akan (selalu) mencoba mengikuti pematokan-pematokan yang ditetapkan koran-koran.

Saya merasa geli jika harus mengingat dan membayangkan: andaikata cerpen-cerpen Pramoedya Ananta Toer yang terkumpul dalam Cerita dari Blora dan Cerita dari Jakarta serta cerpen-cerpen Budi Darma dalam kumpulan Orang-orang Bloomington pernah dimuat di koran dalam sekali pemuatan (tidak bersambung). Tentunya hal ini akan menghabiskan jatah kolom dan halaman.

Dipublikasikan di Surabaya Post, 28 Juni 2009 dan diambil dari komunitascdr.blogspot.com

NB : Sewaktu diterbitkan di Surabaya Post, esai ini memang dimaksudkan untuk memancing wacana. Alhasil, beberapa tanggapan bermunculan atas esai ini. Esai kawan saya ini terbit secara bersambung di Surabaya Post, tanggal 28 Juni dan 5 Juli 2009. Entah, bagian di atas ini sudah lengkap atau hanya seri pertama saja.

@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post