The artist and his two dogs visit the hypermarket, from the series The rake's progress (1989) Medium: etching and aquatint karya Ron McBurnie (Australia 1957– )
Cerpen
Wawan Setiawan
Bulan
tetap bundar seperti jaman purba. Tapi serigala sudah diganti anjing. Harimau
diganti kucing. Keduanya berkejaran di bawah bulan. Cemara-cemara berjajar.
Mobil-mobil diparkir di bawahnya. Napas orang mabuk menembus angin.
"Aku
sudah meramal bahwa aku kelak sampai di sini. Namun waktu tetap menatapku kelu.
Dan lalu waktu bukan giliranku. Demikian penyair Amir Hamzah."
"Kamu
bicara seperti orang mau dieksekusi. Rapuh benar jiwamu. Fasilitas yang
kuberikan dulu tak kau gunakan?"
"Fasilitasmu
sudah berubah menjadi minimarket. Lalu supermarket. Kemudian hypermarket.
Jangan pura-pura tidak tahu."
"Tapi
justru karena itu kamu kehilangan sejarah. Kronologi hidupmu tak menciptakan
sejarah."
"Sejarah?
Sejarah untuk siapa?"
"Sejarah
tidak untuk siapa-siapa bukan? Itu maksudmu?"
"Sejarah
untuk bulan, serigala, dan kucing, ya kan?"
Malam tak
dapat mepertahankan diri untuk menjadi siang. Pada waktunya kelak siang akan
dirampas malam. "Diriku akan digeser anakku. Anakku akan diganti cucuku.
Dan cucuku akan menciptakan dinasti. Dinasti pemberani, serigala pemberani yang
tahu dominasi manusia dalam dirinya. Tak ada jalan lain kecuali kompromi."
***
Demikian
anganku mengejar bayangannya. Kutarik resliting celana ke atas setelah
kunikmati kencing selega udara malam. Kuhirup aroma daun cemara gugur, bau
kematian yang indah. Dan mataku ketagihan menyesap bulan.
Bulan
sudah lama ditaklukkan, tapi diriku belum. Tak apa, selama serigala masih
berkeliaran di tengah kota, penemuan diri tetap tak semudah memanjat wanita.
"Kamu
telah mengkhianatiku!"
Aku kaget.
Seorang pemabuk begitu saja membentakku dari mobilnya yang pintunya terbuka.
"Bagaimana
mungkin itu. Kapan kamu kenal aku?"
"Kamu
dibesarkan bahasa. Lihai kata-katamu."
"Kamu
dibesarkan minuman. Pedih suaramu."
Pemabuk
itu terbahak-bahak. Mulutnya menganga seakan mau menelan semua sejarah bintang
ke dalam tenggorokannya.
"Aku
tak mabuk. Aku tahu, betul-betul tahu, bahwa kamu pengkhianat, bahwa kamu tak
lebih dari sampah. Sumpah!"
"Kamu
insomnia. Kamu mencaplok dunia malam semua wanita kota ini. Inkarnasimu
sia-sia. Isi perutmu baiknya disedot mesin kuras tinja," ia berkata-kata
begitu sambil berteriak-teriak. Kutarik tangan si pemabuk itu, kumasukkan
tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintu depannya keras-keras. Biar tahu rasa
dia. Saat ekonomi sesulit sekarang, pemabuk makin tambah saja.
Kumasuki
segera hypermarket itu dengan amarah. Kuturuti semua yang diminta.
"Kuturuti
apa yang kamu mau, aku telah menjadi konsumen sejati, biar puas dirimu."
Dengan gaya pesta agung kucomoti bermacam botol berbagai merk. Sampai kereta
dorongku berjubel. Kulihat setiap botol itu dengan gagah menampilkan satu
bayangan sundel, seikat uang, dan setumpuk kehinaan.
"Mas
beli sebanyak ini apa ada pesta penting. Pesta ultah ya?"
Kassanya
bertanya kalem. Matanya genit, berkedip-kedip, mengundang masuk. Kini
hypermarket menyediakan kassawati 24 jam.
"Ya,
untuk kecerdasan, untuk kesantaian. Tapi, Mbak Lia," begitu nama yang
kulihat di dadanya yang montok, "Mbak harus lapor ke manager bahwa aku
konsumen sejati, kalau bisa lapor ke Muri, sebagai konsumen minuman yang
memecahkan rekor."
"Muri?"
Matanya yang berkedip berubah mendolong.
"Ya,
saudaranya burung nuri!" Mbak Lia tanda tanya tapi setelah itu
senyum-senyum
penuh harap agar aku datang lagi selarut begini suatu malam kelak. Kudorong
kereta keranjang itu. Bertumpuk botol menuju mobil dan akan siap mendongkrak mereka
ke dunia entah berantah.
Mataku
tergoda cewek berkaos merah bercelana pendek ketat gelap berjalan melenggok
menuju sebuah Corona. Sialan, si banci itu begitu berduit.
Pelayan
hypermarket tergopoh-gopoh mendorong kereta menuju mobil dan kemudian
memasukkan seluruh belanjaannya ke bagasi. Si banci memberi sejumlah tip.
Pelayan membungkuk sempurna.
Segera
kugelontor botol-botol itu ke sejumlah mobil yang tertidur di bawah cemara.
Mereka tertidur karena nikmat. Bau napas mereka menyaingi bau daunan cemara
yang berguguran. Kalau nanti mereka bangun, pasti botol-botol itu akan
didekapnya begitu saja. Sambil membayangkan keberhasilan para konglomerat,
mereka akan terus menenggak botol-botol itu tanpa tanya dari mana.
Setelah
menggelontor botol ke para pemabuk buduk, aku kembali ke mobil. Tapi belum
sempat masuk ke jok depan, suara pisuhan panjang menggempur kupingku lagi.
"Kamu
gadaikan hidupmu demi barang-barang basi!"
Aku segera
berlari ke arahnya.
"Apa
katamu?" Kebenturkan mataku ke matanya yang merah-kosong.
"Kau
gadaikan hidupmu demi barang-barang basi."
"Sok
tahu lu. Barang basimu kali."
"Kamu
jilati barang-barang basi itu. Takut kehilangan, ya. Kamu gopok."
"Sejak
tadi barang basi melulu mulutmu itu."
"Kamu
menyembah popularitas."
"Tapi
kamu menyembah botol."
"Ya,
kamu menyembah teori."
"Tapi,
kamu jilati botol sampai kau temu malaikat."
"Kamu
jilati teori sampai kau temu juru selamat."
"Sudah,
sudah. Minum saja biar pencerahanmu tak terkalahkan. Kamu memang gigolo sejati.
Nikmatilah dirimu dengan penuh keriangan."
Kudesak
tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintunya lebih keras dari yang tadi.
Masing-masing lima botol kutaruh ke jok samping. Lima tutupnya kubuang
jauh-jauh.
***
Aku
terengah-engah. Mengapa aku tadi ikut parkir di bawah cemara. Kupikir aku bisa
santai sambil membayangkan peradaban baru yang bakal tiba, suatu peradaban yang
tak terkalahkan oleh akal licik manusia. Padahal, sambil berandai-andai
demikian aku berharap peroleh terapi setelah jenuhku tak tertolong di tempat
kerja. Puluhan tahun dan hampir setiap hari aku harus memandikan mayat di RS
Teruna di sebelah timur Rutan Tulangresik.
Banyak
orang menjauhi pekerjaan itu. Menurut mereka, pekerjaan ini membuat orang
sering menemui banyak peristiwa aneh seperti malam ini. Bayangkan ada lima
mobil berderet, semuanya dihuni para pemabuk. Saking kerasnya bau mulut mereka,
bau daunan cemara yang berguguran dapat dikalahkan.
Kalau
siang, lokasi di bawah cemara ini sering dipakai parkir mobil-mobil anak remaja
yang bolos sekolah. Mereka berpacaran sambil menenggak minuman ringan, dan
sering menyuntikkan cairan seribudewi ke nadi. Nah, kalau malam para pemabuk
yang sudah parah mangkal di sini. Halaman hypermarket memang luas, lima kali
luas bangunannya. Padahal bangunan hypermarket itu dua kali luas lapangan bola,
dan berlantai tujuh persis tujuh lapis semesta yang ada di sorga.
Lokasi
kelompok cemara seribu meter jaraknya ke tepian gedung. Bisa leluasa di sini
karena jalan besar juga masih seribu meter ke arah berlawanan, suara deru lalin
hanya sayup. Jarak-jarak itu disatukan oleh jalan paving, rumput-rumput halus,
dan bunga-bunga kecil. Di jalan besar banyak polisi patroli malam tapi mereka
tak akan berani menyentuh wilayah ini. Bukan kaplingannya. Ini adalah wilayah
para satpam penembak jitu yang sudah disogok dengan gaji ketiga belas disertai
satu truk bingkisan yang isinya pasti perempuan garukan, puluhan kaleng
biskuit, baju-baju factory outlet, buah-buah negeri dingin, dan juga minuman
keras merk-merk ternama.
Padahal
aku jenuh di tempat kerjaku. Pikiran, hati, dan tubuhku, sibuk memandikan
mayat. Jangan-jangan, aku nanti akan memandikan salah satu dari mereka. Sebab
mereka telah memenuhi tahap awal yang sangat memungkinkan: menjadi pemabuk,
menyetir mobil sendiri, menabrak mobil sipil atau polisi, tiang listrik, atau
kereta api. Masya Allah, secara tak sadar aku telah menggiring kematian mereka.
Selain
itu, banyak perempuan kudekati, setelah menikmati madu dan racun, mereka
menolak. Alasan mereka sederhana: kerjaku pemandi mayat. Padahal aku butuh
mereka seperti halnya mereka butuh aku. Hidupku akhirnya dari short time ke
short time. Kadang-kadang cairan seribudewi berpatroli ke urat-urat nadi.
Seribudewi ini sarat janji-janji perihal peradaban baru yang tak ada di realita
karena hyperrealita.
"Masum,"
demikian pengakuan seorang perempuan. "Meski kauberi aku seluruh
hypermarketmu, takkan kugadaikan hidupku pada hidup seorang pemandi
mayat."
Dengan
sepatu hak tingginya dan kakinya yang lencir, ia kemudian ngacir meninggalkanku
menuju lelaki lain, dunia lain. Aku hanya berdeham-dehem melihat laku lajaknya.
Tapi aku
tadi sudah dihantam mulut mereka. Aku katanya takut kehilangan barang-barang
basi yang diperjualbelikan hypermarket: negara, agama, wanita, popularitas, dan
juga keabadian. Mereka telah menghantamku bergantian dan habis-habisan. Dan aku
tak tak tinggal diam. Kugelogok mulut mereka yang terus menganga dengan
berbotol-botol minuman berbagai "atas nama". Mereka kemudian
berkejat-kejat, berkhayal-khayal, membangun negeri yang tak pernah ada, sampai
akhirnya mereka diam dalam gerak yang sempurna. ***
Surabaya,
24 Juni 2004
NB :
cerpen ini termuat pada harian Jawa Pos, tanggal dan tahun tidak terlacak.
Wawan Setiawan Adalah Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya
Redaktur
SARBI: @Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment