Ilustrasi Oleh Sigit Santosa untuk SARBI
Oleh Dian Prima
AKU adalah karakter "B" di dalam buku From A To B And Back
Again The Philosophy Of Andy Warhol yang bersemayam di kepala seorang penulis
muda yang berada dalam situasi depresi yang parah karena harus menulis di media
massa untuk mendapatkan uang (dan begitu sedikitnya sehingga tidak mampu
menutup riset yang dilakukan), menarik diri dari kehidupan sosial dan tidak
lagi menjumpai jalan keluar, kecuali menulis atau bunuh diri.
Seperti kanker, aku menghisap habis seluruh hidupnya dengan bermega-mega
byte data biografi diriku yang didownload dengan 4 disket murahan dari sebuah
warnet, memenuhi sebagian besar alam bawah sadarnya dengan adegan-adegan yang
tidak koheren, campur-aduk dan menjelma mimpi buruk yang berulang tiap malam
dan di pagi harinya, merasakan sakit kepala karena sesak pikiran yang membanjir
minta tubuh dalam rangkaian kalimat, seperti adegan-adegan yang terjadi berikut
ini.
***
AKU tinggal di kamar bernomor 907, di lantai 2, di sisi luar tembok
kamarku, neon sign hotel: Chelsea Hotel. Tiap senja aku biasa berdiri di depan
jendela, berlama-lama menatap kejap-kejap lampu neon hotel yang menyimpan
kesedihan sendiri yang berlarat-larat, memanggil-manggil jiwa-jiwa kesepian
dari seluruh penjuru dunia untuk datang dan tinggal. Yang berencana hanya seminggu
akhirnya akan terjebak bertahun-tahun dengan ritual tiap senja datang kembali
ke meja resepsionis, memesan kamar yang sama meski menggunakan nama yang
berbeda, menatap sebentar penghuni-penghuni baru, menjumpai situasi nausea yang
sama, merasa semakin sendiri untuk kemudian kembali ke kamar dan menangis
diam-diam di sudut ranjang.
Berdiri tegak bersama ingatan kejayaan masa lalu yang terus berlanjut di
film-film terbaru, diapit oleh toko gitar bekas dan toko peralatan memancing,
hotel ini adalah arus hidup itu sendiri. Chaos yang memanifestasikan diri
melalui para individual yang berkeras hati untuk hidup dengan cara mereka
sendiri, tubuh-tubuh yang menolak untuk patuh dan disiplin, meracuni roh dengan
keindahan, tenggelam dalam kreativitas dan perbedaan, komuni egois yang pernah
ada tidak untuk alasan tertentu kecuali hanya untuk mengejek kerumunan dan
pemimpin-pemimpin politik mereka (demi segala roh, di hadapan wajah Kemanusiaan
telah aku ludahi mereka dengan dahakku yang berwarna hitam).
Aku baru saja terbangun karena mendengar dering
telepon semakin mengeras. "Not again," itu pasti telepon dari Andy
Warhol. Andy adalah seniman jenius yang mampu menciptakan peradaban sendiri,
kemampuan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang di dalam sejarah, tapi
bagiku, dia tak lebih dari seorang teman baik yang hanya aku butuhkan untuk
membunuh waktuku karena tidak lagi yang mengejutkanku di dalam kehidupan ini,
"Sebentar A, aku akan menghidupkan alat perekam."
Beberapa bulan terakhir mesin-mesin berukuran kecil
mulai mengambil alih segalanya, setelah orgasme tak berkesudahan dengan dildo,
aku tergila-gila pada tape recorder dan kamera polaroid. Seperti seorang
maniak, aku merekam apa pun yang terjadi di sekelilingku, percakapan-percakapan
omong kosong dan gerak tubuh-tubuh yang terjebak dalam kekinian, akan menjadi
abadi.
"Ok, Andy, sekarang kau bisa berbicara."
"Brigid, apakah kamu masih menyimpan kaset
rekaman percakapanmu dengan ibumu? Aku akan membelinya 25 dolar sebuah."
"Kenapa kamu menginginkannya, isinya kan cuma
pertengkaran-pertengkaran Freudian tak berujung pangkal..."
"Apakah kamu masih membenci ibumu?" Andy
terus menerus menanyakan hal ini di telepon tiap pagi. Mungkin dia berharap aku
mau sedikit mengubah kelakuanku pada ibuku.
"Ya, tentu saja masih. Aku masih belum
mengerti kenapa dia terus memaksaku menguruskan badan dan menyuruhku untuk
mengenakan gaun dengan renda-renda, hanya untul menjadi socialite yang
elegan?"
"Dan Andy, sekali lagi aku katakan padamu, dia
selalu memakai hairspray, bahkan ketika pergi tidur dan dia tidak peduli kalau
aku selalu sakit kepala kalau berada di dekatnya, karena itu aku
membencinya."
"Anyway, A, aku mau turun ke restoran
sebentar, mulutku sangat kering, aku mau membeli coklat."
Setelah mendengar suara batuknya, Andi berkata,
"Ok. Tolong cubitkan pantat penjaga lift yang mirip James Dean itu
yah."
"Baik, A, aku segera kembali," aku
mematikan tape recorder dan kemudian mencuci mukaku di wastafel.
***
LOBBY ini terlihat seperti galeri seni atau museum.
Pada dindingnya aku temukan lukisan-lukisan dengan ukuran besar dari
pelukis-pelukis yang pernah tinggal di sini. Tepat di bawah 6 jam dinding besar
(penanda waktu dari seluruh dunia, di sini orang-orang hidup dalam waktunya
sendiri-sendiri, sejumlah orang sedang makan malam terserak ke penjuru kota,
yang lain baru saja mengalami mimpi buruk) dengan lingkaran sempurna,
tergantung potret hitam-putih hotel ini pada tahun 1902, di sudut kiri bawahnya
aku temukan, ditulis dengan tinta emas, berjudul The Tower of Babel.
Di sini aku melihat orang-orang dari masa lalu,
hantu-hantu juga sampar berjalan hilir-mudik dengan bahasa-bahasa yang khas
milik mereka sendiri. Pintu lift terbuka, aku melihat tetangga sebelah kamarku
berdiri dengan mata sayu kurang tidur menatapku lurus-lurus, "Nanti
syutingnya jam berapa?"
"Paling setelah makan siang," aku segera
mendekat dan meraih tangannya, "Ayo kita ke restoran, sepertinya kau butuh
ngobrol denganku!" Nico dengan ogah-ogahan menyeret kakinya mengikutimu.
Oh, my God...bahkan pada situasi terburuk, perempuan yang satu ini tetap
menjadi mahkluk terindah yang pernah diciptakan Popular Culture.
Restoran lengang. Kursi-kursi dan meja-meja
berbincang-bincang dengan suara pelan. Dari sebuah jukebox di sebelah pintu
masuk aku mendengar sebuah komposisi klasik dari Johan Sebastian Bach,
"Air". Aku memilih meja di tengah. Aku paling suka menjadi bagian
dari ruang kosong yang besar, perasaan keagungan yang tak terpermanai menjalar
ke semesta yang terjauh.
Aku selalu ingat impresi pertama pertemuanku
dengannya, sebuah kenyataan yang kasat mata bahwa Nico adalah orang yang
menyukai kesendirian, dia selalu menutup diri pada orang-orang baru. Suatu kali
aku pernah bertanya kenapa dia melakukan hal itu, dengan tegas dia menjawab,
"Aku tidak mau dibebani masalah orang lain, aku ingin waktuku habis dengan
bercakap-cakap dengan hantu ayahku yang dibunuh Nazi."
Sejak kecil Nico tidak pernah bertemu dengan
ayahnya dan hidup dalam imajinasi kehadiran hantu ayahnya di manapun dia
berada. Dan dia begitu membenci orang-orang yang memujanya karena wajahnya yang
begitu cantik. Dia lebih suka dikenal sebagai perempuan pemberontak yang sedih,
mabuk di atas panggung dan selalu overdosis, sebuah image yang baru-baru ini
dipopulerkan oleh Janis Joplin.
"So, bagaimana kabar Andy, sudahkah dia
meneleponmu pagi ini?"
Belum sempat aku menjawab, seorang waitress
mendekat kemudian menyerahkan daftar menu. "Mau pesan apa?" sebuah
pikiran menyeruak, betapa aku suka dengan hotel ini, bahkan wajah seorang
waitress pun tak beda jauh dari bintang-bintang film di bioskop. "Kopi dan
dua batang cokelat ukuran terbesar, Nico?"
"Susu cokelat hangat." Waitress mencatat
di buku kecil dan tersenyum kecil sebelum berlalu.
"Ya, dia sudah telepon tadi, sepertinya dia
terkena flu, dan Nico, Andy semakin paranoid, kemarin dia terpanik-panik
sendiri, dia bilang sudah terlalu banyak drugs di gerombolan ini, dia takut
kalau-kalau ada yang over dosis." Restoran lengang, "Air" dari
Bach masih mengapung di udara.
"Aku tidak sabar untuk hari terakhir syuting
ini," aku mengulurkan sebatang cigarette ke tangannya. Dia menolak ketika
aku akan menyalakan, memain-mainkan di antara jari-jarinya yang lentik untuk
kemudian dikulumnya, beberapa detik kemudian pandanganku mengabur, sepertinya
sisa-sisa amphetamine dalam kepalaku aktif bekerja kembali, aku terserang
halusinasi pada dinding restoran, dalam warna hitam putih aku melihat seseorang
menembak seorang pendeta perempuan di dalam gereja, orang-orang berlarian,
menahan jeritan dan bersembunyi di bawah kursi, darah mengalir dari reruntuhan
altar menuju ke jalan.
***
HARI terakhir pengambilan gambar. Kamar 732.
Orang-orang tidak sabar untuk merayakannya. Andy mengintip di balik lensa
kamera, tiang-tiang penyangga lampu dan kabel-kabel berserakan.
"Action!" Nico meraih gunting di sebelah telepon, menatap dirinya
sendiri di depan cermin dan memulai monolognya, "Aku menjadi saksi
kelahiran bintang-bintang dan kematiannya. Ribuan hari-hari yang penuh
kesedihan dan nostalgia terus-menerus menyerangku tiap kali mesin projektor
menembakkan cahaya di dinding Oh, waktu yang bersemayam dalam diri. Oh, waktu
sinematik."
'Cut!" Andy keluar dari kungkungan lensa
kamera, "Film ini akan menjadi dinamit bagi orang-orang tolol di luar sana,
mari berpesta!"
Bintang-bintang baru berpelukan, dari kamera
polaroid aku sempat melihat setetes air mata jatuh ke pipi Nico. Suara gedoran
di pintu dan teriakan-teriakan. Tiba-tiba beberapa polisi merangsek ke dalam
kamar dan langsung menggeledah badan. Semua terdiam. Mereka tidak menemukan
apa-apa, kecuali beberapa pil lexotan. Di tengah serangan rasa panik, pada
dinding aku melihat darah mengalir dari arah reruntuhan altar menuju ke jalan.
(72)
Jogjakarta, Januari-Juli 2008
Dian Prima, alumnus
LPM Indikator Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Penggagas buletin Ut
Omnes Sint.
Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #3, Februari 2011
0 comments:
Post a Comment