Blogroll

Monday, May 27, 2013

Pacar Makam

 photo surrealism-painting-grandfather-clock-grave-digger-irony-humor-art_zps780e9a81.jpg

Cerpen Wawan Setiawan

Rasanya, udara dingin ini berguna bagi yang hidup, alias tak berguna bagi yang mati. Memang malam sudah cukup lama datang, dan siang yang kalah tak lagi menang. Dan, kegelapan bertengger di semua keremangan, beberapa bocah bersayap melayang-layang di atas makam, berhinggapan di pohon-pohon kamboja.
“Mau apa? Berisik amat!” kata salah seorang. Bocah di sampingnya cemberut, kemudian sayapnya melesat ke kamboja lain. Mereka adalah peri kamboja yang asupan nutrisinya dari cahaya matahari (kalau malam bulan), harum kamboja, dan uap mayat-mayat tercinta.
Di bawah daunan kamboja, pasangan gaek menguatkan hati menikmati sisa hidup yang semakin tak jelas. Mereka saling membuka dunianya dengan terengah-engah. Satu engahan seperti satu abad lewat cepat dan sia-sia. Sedang di atas nisan ada tikar, di atas tikar ada sarung, dan di atas sarung gumulan tubuh melampiaskan dendam paling dalam.
“Kamu enak sih! Senang aku ketemu.”
Suara satunya menjawab, “Kamu senang, aku senep.”
“Kok bisa?”
“Kamu pelit! Lelaki kok pelit.”
Namun suara mereka kemudian tertelan bisikan bumi kepada makam yang sudah sangat lama titip pesan dan selalu titip pesan bahwa mereka, manusia-manusia tikar itu, adalah manusia baik-baik, bahwa mereka sedang melakukan pendekatan, harus siap dibantu kapan pun.
Memang di sejumlah nisan yang bertebar, pasangan-pasangan berembuk secara intens dalam ketubuhannya masing-masing. Mereka saling merespons seperti zat-zat kimia saat bertemu. Sedang di atas, alangkah indahnya gerak-gerik kelelawar yang mencoba menutupi bulan dengan sayapnya. Namun mereka selalu gagal, dan itu adalah kegagalan yang indah. Dan besok malamnya mereka tetap tak menyerah, sendirian atau berkelompok berusaha menutup bulan dengan kepak sayap-sayap. Begitulah seterusnya, kegagalan yang indah! Mumpung bulan masih purnama, bisa dimainkan, meski diam-diam bulan juga asyik memainkan!
Para kelelawar seolah mengerti, suasana demikian harus dibantu dengan menggelapkan sesekali. Alangkah segarnya bila bulan bundar tertutup sayap-sayap. Meski kegelapan total hanya muncul sebentar, pengaruhnya sangat lama. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!” demikian satu contoh jeritan dari dunia kegelapan.
Setiap sayap kelelawar itu menutup bulan, jantung manusia berdetak lebih cepat, itulah tanda pengakuan dan penghormatan kepada kegelapan.
***
Saat pagi, kicau prenjak terasa renyah. Suasana makam hanya sedikit berubah. Matahari tak dapat menembus tanah, daun-daun kamboja menghalanginya. Kelebatan daun kamboja berdempet ketat, dan keketatannya tanpa kompromi. Namun kicauan prenjak mampu sedikit mencairkan kebekuan makam. Para pengunjung di atas nisan-nisan tadi malam sudah hengkang sebelum dini. Mereka membawa kelelahan yang tanpa sesal.
“Makam kakakku jarang dirawat. Saudara-saudaraku sadar atau tidak, rasanya telah melupakannya. Mentang-mentang kakakku yang satu ini cacat fisik,” kata seorang pemuda kepada kekasihnya. Kekasihnya tercenung saja. Pemuda itu membersihkan nisan dengan khusuk, rumput-rumput dicabuti, kerikil disirami (airnya diambil dari sumur di pojokan), bunga kemudian ditaburkan di bagian kepala, perut, dan kaki.
Lalu. pagi cerah itu, di bangku sudut, di bawah pohon ceri yang tampak satu-satunya, muda-mudi itu berciuman. Sangat seru ciuman itu melebihi dengus kerbau yang menyimpan amarah. Entah apa yang membuat mereka jadi begitu. “Honey, dari mana madu berasal?”
“Ya, dari Tuhan.”
“Kalau ngomong kok gitu.”
“Ya semua kenikmatan dari Tuhan; karena itu, sebelum ciuman harus basmallah, kamu sudah basmallah?”
“Kalau aku sudah basmallah, mana kamu tahu? Masa aku harus bilang?”
“Buktikan kalau kamu sudah mengucap,” tantang si cewek.
Di bangku pojok itu, pasangan muda itu kemudian mengeluarkan amarahnya lagi.
***
Siang itu sungguh tak ramah. Pencopet terengah-engah (seperti kecoak yang baru terpusar air) masuk ke dalam kompleks makam. Wajahnya berdebu dilengketi keringat hasil langkah seribu. Maklum kalau tak demikian, ribuan bogem wakil dari masyarakat terhormat akan menjadikannya sansag. Ia bernapas lega meski sementara. Tangan kanannya merogoh saku celana. Mungkin kalung berlian yang diembat.
“Kalau tertangkap, berlian pasti pindah ke tangan penangkap,” pikirnya.
Jaket kulit krem yang sudah kumal dibuang begitu saja ke salah satu nisan agak ke dalam. Ketika pedagang bakso lewat di jalan setapak ia memanggilnya pelan takut terdengar orang. Dengan kaos kuning tanpa leher, dan asyik makan bakso, ia sudah separo menyamarkan diri.
“Cacak asli mana,” tanya pencopet.
“Asli Bangkalan, Mas.”
“Saya dari Lumajang,” jawab pencopet ngawur.
“Saya punya saudara di Lumajang, tinggal di Kapten Ilyas.”
“Oya, saya di Kapten Sarpan,” pencopet ngawur lagi.
Bakso mengepul dimakan lahap. Kalau tak ada sendok mungkin mangkuk itu sudah diobok-obok kelaparannya. Sambil mengunyah, kepalanya berhitung, habis ini segera ke toko emas Sidoarjo langganannya. Wajahnya berseri. Tapi ia lupa yang diduduki adalah nisan yang baru seminggu. Bunga-bunga masih melayu di atasnya. Ia membokonginya dengan hati penuh. Sedang di bawah, bumi dan makam menjadi saksi yang taat asas.
“Lihatlah itu, yang baru datang. Dia kerasan jadi tukang copet,” bisik bumi.
“Aku sudah lama belajar menjadi bagian darimu, diinjak-injak dan diludahi tetap diam, itulah simbol kasih,” jawab makam.
“Sok filosofi, ingin diistimewakan ya.”
“Aku istimewa atau tidak, tetap bagian dirimu.”
Bumi hanya tersenyum melihat kegigihan makam dalam berargumen. Dalam hati, bumi menyadari sejarah pembentukannya, yang dirinya ikut pula membentuknya.
“Pencopet itu sudah sering ya bertandang ke sini.”
“Ya, aku tahu, ia mengambil rasa amanku. Setiap dikejar massa, cari amannya selalu ke sini. Dan memang demikian.”
“Kita terima dia dengan baik, satu saat kelak.”
“Rasanya tak jauh. Aku sudah nggak sabaran memangkunya dengan kegemasan beda.” Setelah mendengar ocehan makam, bumi beringsut, terjadi gempa kecil di sekitar.
***
Di atas tanah seluas dua hektare itu, selain hidung belang, pasangan ABG, pencopet, penjual bakso, pejabat muda yang gagal korupsi (sering berdoa ke leluhur), penjual bunga, dokter kandungan, juga kyai yang sudah sangat tua dan sulit mati. Mereka sering datang sendirian atau berdua. Rata-rata alasannya nyekar. Kepekaan mereka bertambah sepulang dari makam, entah dari siapa mereka mendapat wejangan menyejukkan. Ketika pulang, wajah mereka lebih segar daripada saat datang.
“Tidakkah aku telah berfungsi dengan baik?” tanya makam.
“Peliharalah perananmu yang sudah sepatutnya itu. Banyak makam yang harus kukunjungi, dan kau adalah salah satu yang sering kukunjungi. Di kabupaten A, ada makam kurang terawat, padahal aku sering menegurnya. Soalnya di sekitarnya sering terjadi kelaparan. Bantuan sering datang tapi oleh pejabat dikorup, banyak yang tak sempat makan. Banyak yang mati mendadak. Makam di sana sering kewalahan, sangat sibuk.”
Selang beberapa hari, bumi datang lagi ke makam. Wajah bumi sedih. Wajah makam juga tanpa ekspresi karena bingung cara menyembunyikan yang satu ini.
“Kemarin ada yang mati bunuh diri, ya,” kata bumi.
“Betul. Gantung diri pakai sarung. Suami pengangguran menyelingkuhi rentenir. Lalu kepergok. Lalu wajah istrinya memucat seperti kertas putih belum ditulisi. Anaknya tiga. Aku ikut sedih, seharusnya tidak sekarang. Masih banyak kerjaan yang harus dilakukan. Meski telah kuhibur-hibur istri pucat itu tetap tak nyambung. Senyap wajahnya tanpa reaksi.”
Lantas bumi ikut prihatin melihat kesedihan makam dan sang istri. Masalahnya, almarhum sangat jarang ke makam. Kalau mendengar cerita makam, bulu kuduknya berdiri. Namun tindakan gantung dirinya adalah tindakan luar biasa, seperti orang takut macan, tahu-tahu bisa membunuh macan. Makam sedikit merumit, karena harus ekstra menghibur, memberikan cerita-cerita, dongeng-dongeng, fantasi-fantasi, bahwa dunia ini indah namun sumber bencana, bahwa dunia ini enggan disapa, bahwa hutan-hutannya, sungai-sungainya, gunung-gunungnya, sawah-sawahnya, cenderung menciptakan pengangguran. Padahal bekerja itu ibadah, kalau tidak bekerja berarti kurang ibadah. Betapa tertekannya para penganggur, salurannya ke langit tertutup. Padahal masa depannya di langit!

Surabaya, Agustus 2006

Wawan Setiawan adalah dosen pengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya.

NB : cerpen ini dimuat di harian Jawa Pos, 24 September 2006


Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post