Karya Paul Kuczynskis
Cerpen Wawan Setiawan
Rasanya, udara dingin ini berguna bagi yang hidup, alias tak
berguna bagi yang mati. Memang malam sudah cukup lama datang, dan siang yang
kalah tak lagi menang. Dan, kegelapan bertengger di semua keremangan, beberapa
bocah bersayap melayang-layang di atas makam, berhinggapan di pohon-pohon
kamboja.
“Mau apa? Berisik amat!” kata salah seorang. Bocah di
sampingnya cemberut, kemudian sayapnya melesat ke kamboja lain. Mereka adalah
peri kamboja yang asupan nutrisinya dari cahaya matahari (kalau malam bulan),
harum kamboja, dan uap mayat-mayat tercinta.
Di bawah daunan kamboja, pasangan gaek menguatkan hati
menikmati sisa hidup yang semakin tak jelas. Mereka saling membuka dunianya
dengan terengah-engah. Satu engahan seperti satu abad lewat cepat dan sia-sia.
Sedang di atas nisan ada tikar, di atas tikar ada sarung, dan di atas sarung
gumulan tubuh melampiaskan dendam paling dalam.
“Kamu enak sih! Senang aku ketemu.”
Suara satunya menjawab, “Kamu senang, aku senep.”
“Kok bisa?”
“Kamu pelit! Lelaki kok pelit.”
Namun suara mereka kemudian tertelan bisikan bumi kepada
makam yang sudah sangat lama titip pesan dan selalu titip pesan bahwa mereka,
manusia-manusia tikar itu, adalah manusia baik-baik, bahwa mereka sedang
melakukan pendekatan, harus siap dibantu kapan pun.
Memang di sejumlah nisan yang bertebar, pasangan-pasangan
berembuk secara intens dalam ketubuhannya masing-masing. Mereka saling
merespons seperti zat-zat kimia saat bertemu. Sedang di atas, alangkah indahnya
gerak-gerik kelelawar yang mencoba menutupi bulan dengan sayapnya. Namun mereka
selalu gagal, dan itu adalah kegagalan yang indah. Dan besok malamnya mereka
tetap tak menyerah, sendirian atau berkelompok berusaha menutup bulan dengan
kepak sayap-sayap. Begitulah seterusnya, kegagalan yang indah! Mumpung bulan
masih purnama, bisa dimainkan, meski diam-diam bulan juga asyik memainkan!
Para kelelawar seolah mengerti, suasana demikian harus
dibantu dengan menggelapkan sesekali. Alangkah segarnya bila bulan bundar
tertutup sayap-sayap. Meski kegelapan total hanya muncul sebentar, pengaruhnya
sangat lama. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!” demikian satu contoh jeritan
dari dunia kegelapan.
Setiap sayap kelelawar itu menutup bulan, jantung manusia
berdetak lebih cepat, itulah tanda pengakuan dan penghormatan kepada kegelapan.
***
Saat pagi, kicau prenjak terasa renyah. Suasana makam hanya
sedikit berubah. Matahari tak dapat menembus tanah, daun-daun kamboja
menghalanginya. Kelebatan daun kamboja berdempet ketat, dan keketatannya tanpa
kompromi. Namun kicauan prenjak mampu sedikit mencairkan kebekuan makam. Para
pengunjung di atas nisan-nisan tadi malam sudah hengkang sebelum dini. Mereka
membawa kelelahan yang tanpa sesal.
“Makam kakakku jarang dirawat. Saudara-saudaraku sadar atau
tidak, rasanya telah melupakannya. Mentang-mentang kakakku yang satu ini cacat
fisik,” kata seorang pemuda kepada kekasihnya. Kekasihnya tercenung saja.
Pemuda itu membersihkan nisan dengan khusuk, rumput-rumput dicabuti, kerikil
disirami (airnya diambil dari sumur di pojokan), bunga kemudian ditaburkan di
bagian kepala, perut, dan kaki.
Lalu. pagi cerah itu, di bangku sudut, di bawah pohon ceri
yang tampak satu-satunya, muda-mudi itu berciuman. Sangat seru ciuman itu
melebihi dengus kerbau yang menyimpan amarah. Entah apa yang membuat mereka
jadi begitu. “Honey, dari mana madu berasal?”
“Ya, dari Tuhan.”
“Kalau ngomong kok gitu.”
“Ya semua kenikmatan dari Tuhan; karena itu, sebelum ciuman
harus basmallah, kamu sudah basmallah?”
“Kalau aku sudah basmallah, mana kamu tahu? Masa aku harus
bilang?”
“Buktikan kalau kamu sudah mengucap,” tantang si cewek.
Di bangku pojok itu, pasangan muda itu kemudian mengeluarkan
amarahnya lagi.
***
Siang itu sungguh tak ramah. Pencopet terengah-engah
(seperti kecoak yang baru terpusar air) masuk ke dalam kompleks makam. Wajahnya
berdebu dilengketi keringat hasil langkah seribu. Maklum kalau tak demikian,
ribuan bogem wakil dari masyarakat terhormat akan menjadikannya sansag. Ia
bernapas lega meski sementara. Tangan kanannya merogoh saku celana. Mungkin
kalung berlian yang diembat.
“Kalau tertangkap, berlian pasti pindah ke tangan
penangkap,” pikirnya.
Jaket kulit krem yang sudah kumal dibuang begitu saja ke
salah satu nisan agak ke dalam. Ketika pedagang bakso lewat di jalan setapak ia
memanggilnya pelan takut terdengar orang. Dengan kaos kuning tanpa leher, dan
asyik makan bakso, ia sudah separo menyamarkan diri.
“Cacak asli mana,” tanya pencopet.
“Asli Bangkalan, Mas.”
“Saya dari Lumajang,” jawab pencopet ngawur.
“Saya punya saudara di Lumajang, tinggal di Kapten Ilyas.”
“Oya, saya di Kapten Sarpan,” pencopet ngawur lagi.
Bakso mengepul dimakan lahap. Kalau tak ada sendok mungkin
mangkuk itu sudah diobok-obok kelaparannya. Sambil mengunyah, kepalanya berhitung,
habis ini segera ke toko emas Sidoarjo langganannya. Wajahnya berseri. Tapi ia
lupa yang diduduki adalah nisan yang baru seminggu. Bunga-bunga masih melayu di
atasnya. Ia membokonginya dengan hati penuh. Sedang di bawah, bumi dan makam
menjadi saksi yang taat asas.
“Lihatlah itu, yang baru datang. Dia kerasan jadi tukang
copet,” bisik bumi.
“Aku sudah lama belajar menjadi bagian darimu, diinjak-injak
dan diludahi tetap diam, itulah simbol kasih,” jawab makam.
“Sok filosofi, ingin diistimewakan ya.”
“Aku istimewa atau tidak, tetap bagian dirimu.”
Bumi hanya tersenyum melihat kegigihan makam dalam
berargumen. Dalam hati, bumi menyadari sejarah pembentukannya, yang dirinya
ikut pula membentuknya.
“Pencopet itu sudah sering ya bertandang ke sini.”
“Ya, aku tahu, ia mengambil rasa amanku. Setiap dikejar
massa, cari amannya selalu ke sini. Dan memang demikian.”
“Kita terima dia dengan baik, satu saat kelak.”
“Rasanya tak jauh. Aku sudah nggak sabaran memangkunya
dengan kegemasan beda.” Setelah mendengar ocehan makam, bumi beringsut, terjadi
gempa kecil di sekitar.
***
Di atas tanah seluas dua hektare itu, selain hidung belang,
pasangan ABG, pencopet, penjual bakso, pejabat muda yang gagal korupsi (sering
berdoa ke leluhur), penjual bunga, dokter kandungan, juga kyai yang sudah
sangat tua dan sulit mati. Mereka sering datang sendirian atau berdua.
Rata-rata alasannya nyekar. Kepekaan mereka bertambah sepulang dari makam,
entah dari siapa mereka mendapat wejangan menyejukkan. Ketika pulang, wajah
mereka lebih segar daripada saat datang.
“Tidakkah aku telah berfungsi dengan baik?” tanya makam.
“Peliharalah perananmu yang sudah sepatutnya itu. Banyak
makam yang harus kukunjungi, dan kau adalah salah satu yang sering kukunjungi.
Di kabupaten A, ada makam kurang terawat, padahal aku sering menegurnya.
Soalnya di sekitarnya sering terjadi kelaparan. Bantuan sering datang tapi oleh
pejabat dikorup, banyak yang tak sempat makan. Banyak yang mati mendadak. Makam
di sana sering kewalahan, sangat sibuk.”
Selang beberapa hari, bumi datang lagi ke makam. Wajah bumi
sedih. Wajah makam juga tanpa ekspresi karena bingung cara menyembunyikan yang
satu ini.
“Kemarin ada yang mati bunuh diri, ya,” kata bumi.
“Betul. Gantung diri pakai sarung. Suami pengangguran
menyelingkuhi rentenir. Lalu kepergok. Lalu wajah istrinya memucat seperti
kertas putih belum ditulisi. Anaknya tiga. Aku ikut sedih, seharusnya tidak
sekarang. Masih banyak kerjaan yang harus dilakukan. Meski telah kuhibur-hibur
istri pucat itu tetap tak nyambung. Senyap wajahnya tanpa reaksi.”
Lantas bumi ikut prihatin melihat kesedihan makam dan sang
istri. Masalahnya, almarhum sangat jarang ke makam. Kalau mendengar cerita
makam, bulu kuduknya berdiri. Namun tindakan gantung dirinya adalah tindakan
luar biasa, seperti orang takut macan, tahu-tahu bisa membunuh macan. Makam
sedikit merumit, karena harus ekstra menghibur, memberikan cerita-cerita,
dongeng-dongeng, fantasi-fantasi, bahwa dunia ini indah namun sumber bencana,
bahwa dunia ini enggan disapa, bahwa hutan-hutannya, sungai-sungainya,
gunung-gunungnya, sawah-sawahnya, cenderung menciptakan pengangguran. Padahal
bekerja itu ibadah, kalau tidak bekerja berarti kurang ibadah. Betapa
tertekannya para penganggur, salurannya ke langit tertutup. Padahal masa
depannya di langit!
Surabaya, Agustus 2006
Wawan
Setiawan adalah dosen pengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Surabaya.
NB : cerpen ini dimuat di harian Jawa Pos, 24 September 2006
Redaktur SARBI: @Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment