Blogroll

Monday, May 27, 2013

Sekilas Mengenai Interlude

 photo 166423_16475703_lz_zps124f98db.jpg
White People karya Doug Smock

Pengantar
Tulisan saya ini sebenarnya hanya pengantar singkat menuju esai Mas Mochammad Asrori, salah satu senior saya pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Saat itu, Mas Asrori adalah angkatan 2001 dan saya angkatan 2004. Harus diakui bahwa Komunitas Interlude adalah salah satu cikal-bakal berdirinya SARBI. Di komunitas itulah, saya berjumpa dengan Arfan Fathoni dan Umar Fauzi Ballah, dua kawan akrab saya sejak kuliah.
Di sana saya pertama kali mengasah kemampuan menulis. Adalah Mas Yusuf Ariel Hakim yang juga banyak memberi masukan, terutama setelah beliau kembali ke kampus sehabis menunaikan tugas sucinya. Akhirnya, saya dan Umar Fauzi Ballah mengembangkan proses dengan belajar di Komunitas Rabo Sore. Sementara Arfan Fathoni belajar berorganisasi. Inilah sekilas mengenai Interlude.


Howdy : Komunitas Menulis Interlude

Esai Mochammad Asrori

Ide membentuk sebuah komunitas memang bisa jadi bermula dari suatu obrolan ringan di warung kopi disertai senda gurau tentang berbagai hal. Beberapa kesamaan mengenai minat dan kegemaran biasanya menjadi faktor pertama yang melatarbelakangi. Katakanlah seperti saya dan teman-teman semasa di bangku kuliah. Dipertengahan masa kuliah, beberapa orang yang punya intensitas dan mimpi di lahan sastra, terutama pada penulisan esei, cerpen, dan puisi, mulai menggagas berdirinya Interlude, suatu komunitas menulis di lingkungan kampus Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa. Namun tidak semudah obrolan di warung kopi, merintis suatu komunitas, apalagi komunitas sastra, memang butuh lebih dari sebuah kesamaan minat.
Kampus adalah sarang bagi menjamurnya ragam aktifitas, banyak komunitas yang terbentuk di sudut-sudut fakultas atau jurusan. Beberapa bernaung di jalur resmi di bawah payung Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), tapi banyak pula yang berdiri sendiri. Awalnya, Komunitas Menulis Interlude berada di jalur yang kedua. Tapi karena di jalur ini ada beberapa hal yang tidak bisa kami penuhi, apalagi kalau bukan masalah dana, jadilah Interlude diusahakan agar fit and proper di jalur pertama.
Interlude adalah produk kegelisahan saya dan beberapa rekan mengenai wadah yang pas bagi kami. Di kampus memang banyak sekali wadah kreatifitas, tapi yang menonjol bergerak di bidang sastra dan banyak melakukan kegiatan hanyalah panggung teater, sementara apresiasi di jalur tulisan sangat kurang. Yang banyak bertebaran adalah komunitas menulis non-sastra, atau wadah langsungnya, media-media kampus yang banyak menjadi jujugan para penulis.

Founding Interlude
Mari saya perkenalkan Anda dengan Interlude dan orang-orang yang pertama turut andil membangun Interlude. Komunitas Menulis Interlude hadir menjelang reses masa kuliah tahun 2004, hasil gremang-gremeng panjang lima orang angkatan 2001 yang bermimpi eksis di jalur menulis: Yusuf Ariel Hakim (Probolinggo), Bungkos (Pamekasan), Hari Nurdi (Sumenep), Tri Cahyadi (Ponorogo), dan saya sendiri, Moch. Asrori (Surabaya). Nama Interlude sendiri berarti jeda. Awalnya kami memang menginginkan wadah inilah yang mengisi waktu-waktu jeda perkuliahan kami. Tapi asal Interlude sendiri kami peroleh dari judul puisi Gunawan Mohamad, Interlude Pada Sebuah Pantai.
Motivasi utama jelas menjadi wadah bagi kami untuk saling berbagi ilmu menulis, dan ujung-ujungnya memuaskan karakter narsis kami untuk bisa menjadi besar sebagai penulis. Kami berlima cukup bersemangat dalam hal ini. Beberapa hal mengenai visi dan misi kami perbincangkan. Berbagai kegiatan kami rencanakan. Rupa-rupa strategi untuk menarik minat mahasiswa yang lain pun kami lakukan. Kami terlalu bernafsu untuk cepat mengangkat Interlude ke komunitas level atas, setidaknya di lingkungan Universitas.
Ada sisi-sisi unik mengenai pribadi kelima orang ini. Pertama, diantara kami pada tahun itu, orang yang pertama getol mengupas permasalahan kepenulisan adalah Yusuf Ariel Hakim. Bisa dibilang dialah yang paling pertama memiliki kesadaran untuk menjadi penulis. Dia juga banyak memberikan masukan bagi karya-karya anak-anak semester awal di kampus. Berbeda dari yang lain, dialah satu-satunya mahasiswa Sastra Indonesia diantara kami, sementara yang lain berada di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dia menghilang di semester akhir kuliah untuk merawat Bundanya tercinta yang sakit. Jadwal kuliahnya terbengkalai, demikian juga nafsu menulisnya. Baru di tahun ini dia comeback di kampus saat semua rekan-rekanya telah menyelesaikan kuliah.
Kedua, Bungkos, adalah orang yang rajin berorganisasi. Minat utamanya adalah penyair, bisa dibilang tampangnya dan gayanya Rendra sekali. Tapi soal idola tetap tidak berpaling dari Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron. Jadi bisa dibilang, bila berpoetry reading dia segagah Rendra, namun berkarya seelok Zawawi, menggali habis akar Madura. Dialah yang aktif membawa Interlude masuk dinaungan jajaran organisasi BEM. Dialah yang membuat loby-loby dengan dosen, paling sibuk membuat proposal-proposal kegiatan, dan aktif memburu tanda tangan birokrat kampus.
Ketiga, Hari Nurdi, saya kenal sebagai orang yang bermulut manis. Mudah sekali akrab dengan siapapun. Saya rasa tradisi lisannya jauh melebihi tradisi tulisnya. Sebagai penulis bisa dibilang produktifitasnya rendah sekali. Tapi saya sering mengumpat bila ada karyanya yang jadi dan dimuat di media kampus. Cara mengolah cerita dan bahasanya terlalu bagus untuk orang yang malas menulis.
Keempat, Tri Cahyadi, adalah tipe orang yang manut-manut saja. Dalam aktifitasnya di Interlude dia selalu berpartner denga Bungkos melakukan aksi-aksi birokrasi. Tapi dari segi karya, ia tergolong rajin dan produktif. Tiap karyanya memiliki sifat yang unik, temanya selalu menarik, walaupun susunan cerita dan gayanya kadang tergagap-gagap mirip Joni Ariadinata. Permasalahan sosial menjadi garapan cerita dan puisinya. Namun kini rekan-rekan memuji keberuntungannya sebagai orang pertama di kalangan angkatan 2001 yang masuk sebagai PNS di kota asalnya.
Kelima, saya sendiri, adalah tipikal orang dibelakang meja. Saya hanya menambal sulam sana-sini dan menjadi penengah perseteruan yang kadang terjadi. Saya kurang menyukai partisipasi aktif dalam kegiatan masal. Dalam pikiran saya waktu itu, bagaimana saya dapat menambah ilmu menulis jika saya disibukkan oleh hal-hal birokrasi. Hal itu yang akhirnya menjadi awal perdebatan Interlude masuk dalam naungan BEM. Suatu kesadaran untuk mempunyai katalis yang kuat memberikan riak di tengah kegersangan iklim menulis di  kampus. Konsekuensinya tentu harus ikut menikmati imbas intrik-intrik persoalan seputar kampus di luar persoalah menulis.

Second Gen dan Recently
Bisa dibilang kami terlambat merealisasikan Interlude, nyatanya gagasan Interlude hadir jauh sebelum Launching Interlude resmi di ketuk melalui diskusi oleh dosen-dosen dan mahasiswa mengenai karya-karya pilihan anggota Interlude. Setelah diresmikan, Interlude malah merosot dari segi kegiatan. Hal ini tak terlepas dari para founding yang telah menginjak masa akhir perkuliahan. Banyak yang disibukkan oleh persoalan skripsi dll.
Interlude kemudian lama vakum karena para founding telah resmi diwisuda dan hengkang dari dunia kampus. Tapi bisa dibilang Interlude lumayan membuat dunia tulis menulis di kampus bergairah. Apalagi kami bisa memaksa dosen-dosen turun dari singgasana dan cawi-cawi memberikan masukan dan pandangan-pandangan. Dari sini muncul generasi kedua Interlude yang di komando oleh Rodhi Murtadho. Saya sebagai satu-satunya founding asal Surabaya pun turut membantu beberapa masukan dalam membangkitkan kembali Interlude.
Generasi kedua Interlude ditandai dengan second launching Interlude yang menghadirkan diskusi tentang karya juga permasalahan seputar penerbitan. Saya ingat betul waktu itu menghadirkan Budi Pangestu dari Mizan untuk memberikan panduan-panduan tentang sisi-sisi dalam dunia penerbitan. Interlude generasi kedua mencoba membawa ide-ide segar dan kegiatan-kegiatan praktis dan pragmatis dalam dunia tulis menulis. Intensitasnya lumayan. Tiap minggu ada pertemuan yang mengupas tentang karya sastra; menerbitkan buletin tiap dua minggu; mengadakan kunjungan ke rumah-rumah sastrawan yang di agendakan tiap bulan; malam apresiasi puisi dan cerpen tiap bulan penuh; dan arsip karya yang nantinya bakal disusun sebagai antologi karya. Nothing more perfect right?
Persoalan yang sama melanda ketika generasi kedua ini juga mulai hilang dari kampus. Namun karena sadar regenerasi, tongkat estafet jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dan diberikan pada angkatan di bawah. Di tambah masuknya kembali satu orang founding ke kampus dari cuti panjangnya, saudara Yusuf Ariel Hakim. Saya dengar dia turut memberi masukan bagi nama-nama generasi mutakhir Interlude seperti Arfan, Dodik, dan Fauzy. Tapi entahlah sekarang. Saya kurang memantau lagi pergerakan mereka. Kabar yang saya dengar banyak yang kemudian beralih ke komunitas rabu sore yang eksis di jalur penulisan dan wacana puisi. Tulisan ini sekedar nostalgia bagi saya, mengenang rekan-rekan menulis semasa kuliah yang rata-rata sekarang sudah berprofesi sebagai guru. Howdy Sanggar Menulis Interlude?

NB : esai ini diambil dari www.kedaipuisi.wordpress.com, blog pribadi milik Mochammad Asrori.

Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post