White People karya Doug Smock
Pengantar
Tulisan saya ini sebenarnya hanya pengantar
singkat menuju esai Mas Mochammad Asrori, salah satu senior saya pada Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Saat itu, Mas Asrori
adalah angkatan 2001 dan saya angkatan 2004. Harus diakui bahwa Komunitas
Interlude adalah salah satu cikal-bakal berdirinya SARBI. Di komunitas itulah,
saya berjumpa dengan Arfan Fathoni dan Umar Fauzi Ballah, dua kawan akrab saya
sejak kuliah.
Di sana saya pertama kali mengasah kemampuan
menulis. Adalah Mas Yusuf Ariel Hakim yang juga banyak memberi masukan,
terutama setelah beliau kembali ke kampus sehabis menunaikan tugas sucinya.
Akhirnya, saya dan Umar Fauzi Ballah mengembangkan proses dengan belajar di
Komunitas Rabo Sore. Sementara Arfan Fathoni belajar berorganisasi. Inilah
sekilas mengenai Interlude.
Howdy :
Komunitas Menulis Interlude
Esai
Mochammad Asrori
Ide membentuk sebuah komunitas memang bisa jadi
bermula dari suatu obrolan ringan di warung kopi disertai senda gurau tentang
berbagai hal. Beberapa kesamaan mengenai minat dan kegemaran biasanya menjadi
faktor pertama yang melatarbelakangi. Katakanlah seperti saya dan teman-teman
semasa di bangku kuliah. Dipertengahan masa kuliah, beberapa orang yang punya
intensitas dan mimpi di lahan sastra, terutama pada penulisan esei, cerpen, dan
puisi, mulai menggagas berdirinya Interlude, suatu komunitas menulis di
lingkungan kampus Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa. Namun tidak semudah
obrolan di warung kopi, merintis suatu komunitas, apalagi komunitas sastra,
memang butuh lebih dari sebuah kesamaan minat.
Kampus adalah sarang bagi menjamurnya ragam
aktifitas, banyak komunitas yang terbentuk di sudut-sudut fakultas atau
jurusan. Beberapa bernaung di jalur resmi di bawah payung Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM), tapi banyak pula yang berdiri sendiri. Awalnya, Komunitas
Menulis Interlude berada di jalur yang kedua. Tapi karena di jalur ini ada
beberapa hal yang tidak bisa kami penuhi, apalagi kalau bukan masalah dana,
jadilah Interlude diusahakan agar fit and proper di jalur pertama.
Interlude adalah produk kegelisahan saya dan
beberapa rekan mengenai wadah yang pas bagi kami. Di kampus memang banyak
sekali wadah kreatifitas, tapi yang menonjol bergerak di bidang sastra dan
banyak melakukan kegiatan hanyalah panggung teater, sementara apresiasi di
jalur tulisan sangat kurang. Yang banyak bertebaran adalah komunitas menulis
non-sastra, atau wadah langsungnya, media-media kampus yang banyak menjadi
jujugan para penulis.
Founding
Interlude
Mari saya perkenalkan Anda dengan Interlude dan
orang-orang yang pertama turut andil membangun Interlude. Komunitas Menulis
Interlude hadir menjelang reses masa kuliah tahun 2004, hasil gremang-gremeng
panjang lima orang angkatan 2001 yang bermimpi eksis di jalur menulis: Yusuf Ariel
Hakim (Probolinggo), Bungkos (Pamekasan), Hari Nurdi (Sumenep), Tri Cahyadi
(Ponorogo), dan saya sendiri, Moch. Asrori (Surabaya). Nama Interlude sendiri
berarti jeda. Awalnya kami memang menginginkan wadah inilah yang mengisi
waktu-waktu jeda perkuliahan kami. Tapi asal Interlude sendiri kami peroleh
dari judul puisi Gunawan Mohamad, Interlude Pada Sebuah Pantai.
Motivasi utama jelas menjadi wadah bagi kami
untuk saling berbagi ilmu menulis, dan ujung-ujungnya memuaskan karakter narsis
kami untuk bisa menjadi besar sebagai penulis. Kami berlima cukup bersemangat
dalam hal ini. Beberapa hal mengenai visi dan misi kami perbincangkan. Berbagai
kegiatan kami rencanakan. Rupa-rupa strategi untuk menarik minat mahasiswa yang
lain pun kami lakukan. Kami terlalu bernafsu untuk cepat mengangkat Interlude
ke komunitas level atas, setidaknya di lingkungan Universitas.
Ada sisi-sisi unik mengenai pribadi kelima orang
ini. Pertama, diantara kami pada tahun itu, orang yang pertama getol mengupas
permasalahan kepenulisan adalah Yusuf Ariel Hakim. Bisa dibilang dialah yang
paling pertama memiliki kesadaran untuk menjadi penulis. Dia juga banyak
memberikan masukan bagi karya-karya anak-anak semester awal di kampus. Berbeda
dari yang lain, dialah satu-satunya mahasiswa Sastra Indonesia diantara kami,
sementara yang lain berada di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dia
menghilang di semester akhir kuliah untuk merawat Bundanya tercinta yang sakit.
Jadwal kuliahnya terbengkalai, demikian juga nafsu menulisnya. Baru di tahun
ini dia comeback di kampus saat semua rekan-rekanya telah menyelesaikan kuliah.
Kedua, Bungkos, adalah orang yang rajin
berorganisasi. Minat utamanya adalah penyair, bisa dibilang tampangnya dan
gayanya Rendra sekali. Tapi soal idola tetap tidak berpaling dari Si Celurit
Emas, D. Zawawi Imron. Jadi bisa dibilang, bila berpoetry reading dia segagah
Rendra, namun berkarya seelok Zawawi, menggali habis akar Madura. Dialah yang
aktif membawa Interlude masuk dinaungan jajaran organisasi BEM. Dialah yang
membuat loby-loby dengan dosen, paling sibuk membuat proposal-proposal
kegiatan, dan aktif memburu tanda tangan birokrat kampus.
Ketiga, Hari Nurdi, saya kenal sebagai orang
yang bermulut manis. Mudah sekali akrab dengan siapapun. Saya rasa tradisi
lisannya jauh melebihi tradisi tulisnya. Sebagai penulis bisa dibilang
produktifitasnya rendah sekali. Tapi saya sering mengumpat bila ada karyanya
yang jadi dan dimuat di media kampus. Cara mengolah cerita dan bahasanya
terlalu bagus untuk orang yang malas menulis.
Keempat, Tri Cahyadi, adalah tipe orang yang
manut-manut saja. Dalam aktifitasnya di Interlude dia selalu berpartner denga
Bungkos melakukan aksi-aksi birokrasi. Tapi dari segi karya, ia tergolong rajin
dan produktif. Tiap karyanya memiliki sifat yang unik, temanya selalu menarik,
walaupun susunan cerita dan gayanya kadang tergagap-gagap mirip Joni
Ariadinata. Permasalahan sosial menjadi garapan cerita dan puisinya. Namun kini
rekan-rekan memuji keberuntungannya sebagai orang pertama di kalangan angkatan
2001 yang masuk sebagai PNS di kota asalnya.
Kelima, saya sendiri, adalah tipikal orang
dibelakang meja. Saya hanya menambal sulam sana-sini dan menjadi penengah
perseteruan yang kadang terjadi. Saya kurang menyukai partisipasi aktif dalam
kegiatan masal. Dalam pikiran saya waktu itu, bagaimana saya dapat menambah
ilmu menulis jika saya disibukkan oleh hal-hal birokrasi. Hal itu yang akhirnya
menjadi awal perdebatan Interlude masuk dalam naungan BEM. Suatu kesadaran
untuk mempunyai katalis yang kuat memberikan riak di tengah kegersangan iklim
menulis di kampus. Konsekuensinya tentu
harus ikut menikmati imbas intrik-intrik persoalan seputar kampus di luar
persoalah menulis.
Second Gen
dan Recently
Bisa dibilang kami terlambat merealisasikan
Interlude, nyatanya gagasan Interlude hadir jauh sebelum Launching Interlude
resmi di ketuk melalui diskusi oleh dosen-dosen dan mahasiswa mengenai
karya-karya pilihan anggota Interlude. Setelah diresmikan, Interlude malah
merosot dari segi kegiatan. Hal ini tak terlepas dari para founding yang telah
menginjak masa akhir perkuliahan. Banyak yang disibukkan oleh persoalan skripsi
dll.
Interlude kemudian lama vakum karena para
founding telah resmi diwisuda dan hengkang dari dunia kampus. Tapi bisa
dibilang Interlude lumayan membuat dunia tulis menulis di kampus bergairah.
Apalagi kami bisa memaksa dosen-dosen turun dari singgasana dan cawi-cawi
memberikan masukan dan pandangan-pandangan. Dari sini muncul generasi kedua
Interlude yang di komando oleh Rodhi Murtadho. Saya sebagai satu-satunya
founding asal Surabaya pun turut membantu beberapa masukan dalam membangkitkan
kembali Interlude.
Generasi kedua Interlude ditandai dengan second
launching Interlude yang menghadirkan diskusi tentang karya juga permasalahan
seputar penerbitan. Saya ingat betul waktu itu menghadirkan Budi Pangestu dari
Mizan untuk memberikan panduan-panduan tentang sisi-sisi dalam dunia
penerbitan. Interlude generasi kedua mencoba membawa ide-ide segar dan
kegiatan-kegiatan praktis dan pragmatis dalam dunia tulis menulis.
Intensitasnya lumayan. Tiap minggu ada pertemuan yang mengupas tentang karya
sastra; menerbitkan buletin tiap dua minggu; mengadakan kunjungan ke
rumah-rumah sastrawan yang di agendakan tiap bulan; malam apresiasi puisi dan
cerpen tiap bulan penuh; dan arsip karya yang nantinya bakal disusun sebagai
antologi karya. Nothing more perfect right?
Persoalan yang sama melanda ketika generasi
kedua ini juga mulai hilang dari kampus. Namun karena sadar regenerasi, tongkat
estafet jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dan diberikan pada angkatan di bawah.
Di tambah masuknya kembali satu orang founding ke kampus dari cuti panjangnya,
saudara Yusuf Ariel Hakim. Saya dengar dia turut memberi masukan bagi nama-nama
generasi mutakhir Interlude seperti Arfan, Dodik, dan Fauzy. Tapi entahlah
sekarang. Saya kurang memantau lagi pergerakan mereka. Kabar yang saya dengar
banyak yang kemudian beralih ke komunitas rabu sore yang eksis di jalur
penulisan dan wacana puisi. Tulisan ini sekedar nostalgia bagi saya, mengenang
rekan-rekan menulis semasa kuliah yang rata-rata sekarang sudah berprofesi
sebagai guru. Howdy Sanggar Menulis Interlude?
NB : esai ini diambil dari www.kedaipuisi.wordpress.com, blog pribadi milik Mochammad Asrori.
Redaktur SARBI: @Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment